ini tugas analisis yang pengerjaannya bikin gue mual. efek sampingnya adalah stress yang berkepanjangan, mata yang berkantung, serta kuota internet yang jebol gegara searching literatur ditambahan. hah, semoga berkah...
BAB I
LANDASAN TEORI
A.
Latar
Belakang
1.
Sastra
Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa
Barat (Eropa) seperti literature
(bahasa Inggris), littérature (bahasa
Prancis), literatur (bahasa Jerman),
dan literatuur (bahasa Belanda).
Semuanya berasal dari kata litteratura
(bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang
berarti huruf (tulisan atau letter).
Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah
belles-lettres tersebut juga
digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam bahasa
Belanda terdapat istilah bellettrie
untuk merujuk makna belles-lettres.
Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta
yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan dan
memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya
digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat
untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga
diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti
buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa
sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur
berupa pikiran, 11 pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan
(keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam
semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang
nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan
pengomentar kehidupan manusia
Menurut Panuti Sudjiman
(1986:68), Sastra ditempatkan sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam
isi, dan ungkapanya.
Menurut
Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra
merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan
dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan
kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena
sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan,
kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut
mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang
semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas
kehidupannya (Saryono, 2009: 20).
Sastra
dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984: 23). Hal itu
dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan
dengan norma-norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan
bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari
masyarakat tersebut.
Secara
rinci jenis-jenis sastra menurut Sumardjo & Saini (1997: 18-19) digambarkan
dalam diagram berikut:
jenis-jenis
sastra
2.
Hakikat
Novel sebagai Suatu Karya Sastra
Hakikat Novel sebagai Suatu Karya Sastra
Menurut Webster’s New Collegiate
Dictionary (via Tarigan, 1991: 120), kata fiksi dalam bahasa Inggris
disebut fiction yang diturunkan dari
bahasa latin fictio, fictum yang berarti membentuk, membuat,
mengadakan, dan menciptakan. Dikatakan oleh Tarigan (1991: 122) bahwa fiksi
juga bersifat realitas, sedangkan nonfiksi bersifat aktualitas. Penulis fiksi
harus dapat menghidupkan tokoh, peristiwa dan cerita agar pembaca menaruh
perhatian serta yakin akan hak yang terjadi itu.
Pembagian fiksi dapat berdasarkan isi maupun
bentuknya. Menurut Lubis (via Tarigan, 1991: 157-162) berdasarkan isinya, fiksi
dapat diklasifikasikan atas romantik, realisme, sosialis realisme, naturalisme,
ekspresionisme dan simbolisme.
Romantik ialah cara mengarang yang
mengidealisasikan penghidupan dan pengalaman manusia yang menekankan pada hal
yang lebih 14 baik. Realisme secara umum menulis apa yang dilihat dalam
kehidupan dalam segi jasmani, sehingga mengesampingkan aspek rohani.
Sosialis-realis dimaksudkan untuk menuliskan penghidupan yang materialisme dan
dangkal berdasarkan dogma Marxisme tentang sejarah dan masyarakat. Realisme
sebenarnya adalah penulisan yang berusaha menggambarkan kehidupan yang mencakup
segala segi kehidupan baik dalam manifestasi jasmani, intelek, maupun rohaninya
secara utuh. Naturalisme merupakan penulisan yang memusastkan pada kehidupan
manusia dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan kemanusiaannya. Ekspresionisme
adalah penulisan yang menonjolkan luapan-luapan dari jiwa si pengarang sendiri.
Jenis terakhir adalah simbolisme yang diartikan bahwa penulisan sastra banyak
menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan suatu kehidupan atau perasaan
manusia.
Dalam khazanah kesusastraan, karya fiksi
berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi roman atau sering di sebut juga
novel, novelette dan cerpen. Namun, pada dasarnya, perbedaan tersebut terletak
pada kadar panjangpendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah
pelaku yang mendukung cerita. Unsur-unsur yang terkandung dalam karya fiksi dan
cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meski dalam unsur-unsur
tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itu, hasil telaah suatu roman,
misalnya pemahaman ataupun ketrampilan melalui telaah tersebut dapat diterapkan
dalam menelaah novel maupun cerpen (Aminuddin, 1987: 66-67).
3.
Teori
Sastra
Teori
sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip,
hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan
sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau
pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara
gejalagejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum
suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu
teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau
dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Unsur
Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi
Sinopsis
Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata bercerita tentang
kehidupannya di Belitong pada masa SMA. Tiga tokoh utama dalam karya ini adalah
Ikal, Arai dan Jimbron. Ikal tidak lain adalah Andrea Hirata sendiri, sedangkan
Arai adalah saudara jauhnya yang menjadi yatim piatu ketika masih kecil. Arai
disebut simpai keramat karena dalam keluarganya ia adalah
orang terakhir yang masih hidup dan ia pun diangkat menjadi anak oleh ayah
Ikal. Jimbron merupakan teman Arai dan Ikal yang sangat terobsesi dengan kuda
dan gagap bila sedang antusias terhadap sesuatu atau ketika gugup. Ketiganya
melewati kisah persahabatan yang terjalin dari kecil hingga mereka bersekolah
di SMA Negeri Manggar, SMA pertama yang berdiri di Belitung bagian timur.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ikal dan Arai harus
bekerja sebagai kuli di pelabuhan ikan pada dini hari dan pergi ke sekolah
setelahnya. Namun begitu, mereka tetap gigih belajar sehingga selalu berada
dalam peringkat lima teratas dari 160 murid di sekolahnya. Sekolah mereka
merupakan SMA negeri pertama yang bergengsi di Belitong, sebelumnya
satu-satunya SMA yang terdekat berada di Tanjung Pandan. Sekolah tersebut
berada 30 kilometer dari rumah Ikal dan Arai sehingga mereka harus menyewa
kamar dan hidup jauh dari orang tua.
Selama masa SMA, banyak kenakalan-kenakalan yang
dilakukan oleh Arai dan Ikal. Mereka pernah mengejek Pak Mustar saat upacara
bendera di pagi hari sehingga Pak Mustar marah dan mengejar mereka. Mereka juga
pernah menyusup ke bioskop yang tidak mengizinkan anak sekolah masuk untuk
menonton film dewasa. Pak Mustar mengetahui hal tersebut sehingga Arai dan Ikal
diberi hukuman keesokan harinya.
Pada akhirnya, Jimbron harus berpisah dengan Ikal dan
Arai yang akan meneruskan kuliah di Jakarta. Selama di Jakarta, mereka
luntang-lantung mencari pekerjaan namun akhirnya Ikal menjadi pegawai pos dan
Arai pergi ke Kalimantan untuk bekerja sambil kuliah. Ikal berhasil membiayai
kuliahnya di Universitas Indonesia hingga menjadi Sarjana Ekonomi, sedangkan
Arai belajar biologi di Kalimantan. Hidup mandiri terpisah dari orang tua
dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sangat terbatas namun punya
cita-cita besar, sebuah cita-cita yang bila dilihat dari latar belakang
kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
1.
Judul
Sang Pemimpi
merupakan novel kedua Andrea dari tetralogi Laskar
Pelangi. Dari judulnya, kita sudah dapat mengetahui bahwa cerita yang
terjuntai di dalam novel ini berkisar di antara mimpi-mimpi para tokohnya.
Mimpi setinggi angkasa untuk melanjutkan studi si luar negeri, menghapus garis
kemiskinan keluarga, serta mimpi untuk membuat seorang pujaan hati untuk
membubuhkan sebuah senyuman.
2.
Penokohan
dan Perwatakan
Andrea
memberikan sentuhan penokohan Ikal, Arai, dan Jimbron melalui penggambaran baik
secara analitik maupun dramatis. Karakter Ikal adalah bocah Belitong yang
lembut hatinya sehingga agak sensitif. Ikal sangat menyayangi kedua orang
tuanya, terlebih bapaknya. Sifat Ikal yang pendiam pun menurun dari sang bapak.
Hal tersebut dapat kita rasakan pada potongan narasi berikut:
Di
perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang
yang menimpa sepupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra,
memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk
berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi. Kami
hanya diam. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
Arai, saudara kandung jauh dari
tokoh Ikal adalah pemuda Belitong yang memiliki semangat tak berkesudahan. Dia
adalah seorang yang penuh inisiatif. Kita pun akan dibuat terpana oleh karisma
seorang Simpai Keramat yang
dimilikinya. Meskipun dirinya sudah mengalami kesengsaraan sejak kecil, hal itu
tidak membuatnya menjadi pribadi yang lemah. Arai justru tumbuh menjadi seorang
bocah yang tegar melebihi batas. Persepsi yang dimilikinya pun sangat sulit
ditebak.
Aku
tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian
berat sebagai Simpai Keramat. Aria
mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal.
Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku
yang mencuri-curi pandang ke arah kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah
buah saga. Melihatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum
dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. Air mukanya
memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. (Sang Pemimpi,
Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 27)
Aku
tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter
purba ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. Ia justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.
(Sang Pemipi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 28)
Sebagai
seseorang yang dikenal memiliki inisiatif gila, Arai kerap menjerumuskan
sahabat-sahabatnya ke dalam kolam imajinasi tingkat dewanya. Tanpa atau
disadari oleh Ikal dan Jimbron, seorang Arai mampu membawa mereka berdua
terhanyut ke dalam ajakan persuasifnya.
Arai menatapku dan Jimbron dengan
kilatan bola mata yang mengandung niat berkonspirasi.
“Saudara-saudaraku tercinta ….
“Anak-anak Melayu bangsa pujangga,
senasib sepenanggungan ….
“Kita harus menemuinya!! Kita harus
nonton film ini!!”
(Sang
Pemimpi, Mozaik 9; Bioskop, Hal. 100)
Tokoh
Arai berbeda dengan Ikal yang terkesan lemah lembut. Karena hatinya yang lembut,
dibandingkan dengan Arai, itulah sebabnya Ikal lebih mudah menitikkan air mata.
Sinar
matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir.
Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan
sedemikian berat sebagai Simpai Keramat.
Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal.
(Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
Di samping itu, Ikal juga mudah
terpengaruh ajakan orang lain. Tak terkecuali bujukan Arai.
Aku
tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana
Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat
pada sang Simpai Keramat ini –
mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia
mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan
kami sudah mendarah daging. (Sang Pemimpi, Mozaik 4; Biola Nurmi, Hal. 41)
Tetapi di balik sifat picik Arai di
mata Ikal, sesungguhnya pahlawan yang kesiangan itu cocok disematkan kepada
Arai. Dia memiliki kebaikan yang tidak pernah kadaluwarsa dalam hatinya.
Sungguh, julukan Simpai Keramat yang
diembannya memang menjadi ikon mutlak mengapa Arai sangat ahli dalam memberikan
kebahagian tak terduga kepada sahabatnya. Itulah sebabnya, Ikal tak mampu
melawan pesona Arai dalam berpikir dan bertindak. Arai adalah sosok yang penuh
dengan kejutan.
Simpai
Keramat yang yatim piatu ini badannya
kumal dan bau. Kuku-kukunya hitam, potongan rambutnya tak keruan, digunting
sendiri di depan cermin dengan gaya asal tidak gondrong. Di lehernya melingkar
daki, tapi masya Allah, hatinya putih bercahaya, hatinya itu selalu hangat. Ia
orang yang selalu merasa bahagia karena dapat membahagiakan orang lain. Lalu
apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapannya padaku: Tanpa mimpi
dan semangat orang seperti kita akan mati. Ya,
tergeletak di atas selembar tikar purun, dengan seragam putih abu-abu yang
dipakai untuk sekolah dan bekerja, bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan,
yang tersisa untuknya memang hanya semangat dan mimpi-mimpi.
Aku ingin membahagiakan Arai. Aku
ingin berbuat sesuatu yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia
lakukan padaku. (Sang Pemimpi, Mozaik 14; When I Fall in Love, Hal. 185)
Tokoh
Arai dan Ikal yang berlawanan justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagai dua
kutub magnet yang saling tarik-menarik, kita tidak dapat memisahkan presensi
Arai dan Ikal. Tetapi, jangan lupakan Jimbron. Pemuda yatim-piatu bertubuh
tambun yang diasuh oleh seorang Pendeta Katolik. Jimbron tak lancar bicara. Ia
gagap, namun tak selalu gagap. Jimbron adalah seorang bocah yang polos dan
sangat terobsesi pada kuda.
Di
kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia
pernah melihatnya langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi
jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak
berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik
mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal
nama kuda Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar
bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis
kelaminnya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron
selain kuda. (Sang Pemimpi, Mozaik 5; Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 62)
Cerita
kuda Jimbron adalah tetesan air yang terus menerus menghunjam batu karang
kesabaranku. Dan setelah sekian tahun, siang ini batu karang itu retak,
beberapa tetes air lagi ia akan terbelah.
“
… Kuda Persia … kuda Afrika … kuda troya … diperkuda … kuda siluman … “
Aku kelelahan dan stres. Aku tak
tahan lagi dengan siksaan hikayat kuda. Semua kisah kuda harus dihentikan hari
ini, hari ini juga!! (Sang Pemimpi, Mozaik 11; Spiderman,
Hal. 130)
Pak
Mustar, banyak yang mengecap wakil kepala sekolah SMA Bukan Main ini sebagai
tokoh antagonis di Sang Pemimpi.
Andrea pun menggambarkan sosok Pak Mustara sebagai seorang guru yang ditakuti
segala lapisan murid dan disegani segala lapisan masyarakat. Metode pengajaran
yang dilakukan pun terkenal keras. Penegak peraturan nomor satu di SMA Bukan
Main.
Tetapi,
di balik semua sikap keras Pak Mustar dan serapah ‘Berandal’-nya kepada para
murid SMA Bukan Main yang membangkang, sesungguhnya beliau merupakan sosok
bapak yang perhatian. Namun caranya saja yang salah diartikan hampir sebagian
orang.
Suaranya berat penuh sesal. Ia
memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian,
hanya caranya saja yang keras.
“Kini kau terdepak jauh dari garda
depan??”
Ia menatapku geram. Marah, tak
habis mengerti, dan ada satu kilatan kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam
hatinya. Ia memandang jauh keluar jendela. Diam. Lalu ia berbalik menatapku,
suaranya tertahan, “Tahukah kau, Bujang?? Sepanjang waktu aku bermimpi anakku
duduk di kurdi garda depan itu … “
Aku terharu melihat mata Pak Mustar
berkaca-kaca. (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai
Lenggang, Hal. 148)
Sementara itu, ada juga beberapa
tokoh pendukung seperti Basman, Taikong Hanim, Capo, Bang
Zaitun, Pendeta Geovanny, Mak Cik Maryamah dan Laksmi.
3.
Tema
Ide
yang mendasari hampir seluruh Mozaik dalam novel Sang Pemimpi adalah mimpi. Anak-anak Belitong menggantungkan mimpi
melalui tali-temali pendidikan. Mereka yang memiliki segudang motivasi
berduyun-duyun pergi ke sekolah untuk mengenyam bangku pendidikan. Segelintir
pemimpi Belitong itu pun tersisa tiga; Ikal, Arai, dan Jimbron.
Mimpi
bukan hanya sekedar pawana yang dibawa kala badai bergemuruh. Mimpi bukan
sekedar kerikil yang biasa kauinjak di atas permukaan tanah yang berbatu. Mimpi
bukan sekedar angan yang terucap melalui bibir melainkan suatu keyakinan yang
bakal menjadi kenyataan. Mimpi yang menggantung di atas awan tak ubahnya umpan
agar dirimu melompat setinggi mungkin, melebihi kemampuanmu, melewati garis
ternyamanmu, untuk menggapainya.
Ikal,
Arai, dan Jimbron yakin bisa melanjutkan studi ke benua biru. Mereka pun
menepis jau-jauh kemustahilan dalam mimpi mereka. Walaupun di Mozaik 12; Sungai
Lenggang, Ikal sempat merasa pesimis namun siapa sangka, dia pun cepat bangkit dari
keterpurukannya.
“Meskipun
kaupenuhi celengan sebesar kuda sungguhan, sahabatku Jimbron, tak ‘kan pernah
uang-uang receh itu mampu membiayaimu sekolah ke Prancis …, demikian kata hatiku. Dan dengarlah itu,
Kawan. Siratan kalimat sinis dari orang yang pesimis. Ia adalah hantu yang
beracun. Sikap itu mengekstrapolasi sebuah kurva yang turun ke bawah dan akan
terus turun ke bawah dan telah membuatku menjadi pribadi yang gelap dan picik.
Seyogyanya sikap buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis,
lalu iri, lalu dengki, lalu mingkin fitnah. … (Sang Pemimpi, Mozaik 12;
Sungai Lenggang, Hal. 147)
Di
novel sebelumnya, Laskar Pelangi,
kita disuguhkan sebuah kronik anak-anak Belitong yang bersekolah di SD
Muhammadiyah. Begitu pun dengan Sang Pemimpi.
Ketiga pemuda Melayu itu memaparkan bagaimana untaian kisah perjuangan menempuh
pendidikan di atas rel kemiskinan yang permanen di Tanah Belitong pada zaman
itu.
Karena di kampung orantuaku tak ada
SMA, setelah tamat SMP, aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah
di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana
sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belangnya, termasuk ayahku,
terancam kolpas. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang
besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain
bekerja untuk membantu orangtua. (Sang Pemimpi, Mozaik
6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 67)
4.
Alur
(Plot)
Alur
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interleasi
fungsional yang menandai urutan bagian-bagian dalam kesatuan. Sehingga alur
merupakan kerangka utama cerita.
Andrea
mampu membawa kita mengikuti alur ceritanya yang maju dan mundur. Pria
kelahiran Belitong ini pun sukses membawa kita menikmati berbagai kerangka
cerita dramatis namun sederhana yang dibuatnya. Hal itu terbukti dengan antara
satu mozaik dengan mozaik lainnya yang menampilkan tahapan peristiwa yang
menarik. Meskipun, alur yang dipakai tidak maju, ajaibnya semua mozaik yang
terdapat pada Sang Pemimpi memiliki magis tersendiri yang menghasilkan kesan
antara mozaik kesatu akan berlanjut di mozaik kedua,dst.
5.
Latar
Suasana
perkampungan Melayu pada tahun 1980-an kental sekali dalam buku kedua dari
tetralogi Laskar Pelangi ini.
Pemaparan keadaan ala Andrea yang lugas dan dramatis pun sukses membawa kita
seperti ikut ke dalam petualangan Ikal, Arai, dan Jimbron. Seperti latar yang
menjadi tempat aksi kejar-kejaran antara ketiga bocah itu dengan Pak Mustar
yang muntab.
Semuanya
memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah
kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih
berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang
pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai.
Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti
sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong,
sampai Maret tahun depan. (Sang Pemimpi, Mozaik 1; What a Wonderful World, Hal. 4)
Keadaan masyarakat Belitong yang
pada masa itu yang dilanda kemisikinan parah tak luput dari sergapan Andrea.
Sang penulis sekaligus ‘Sang Pemimpi’ seakan membuat kita ikut merasakan perih
yang dirasakan anak-anak muda Belitong yang harus mengais rezeki sejak usia
dini. Hal itu pun dapat dilihiat dari kutipan berikut,
Anak-anak
yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam
lumpur, mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah,
mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat
nyalinya bekerja di bagan tengah
laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga.
Mereka yang kuat tenaga dan nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk
mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah garden truk,
melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena
sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah
kuarsa, topas, dan galena itu adalah
harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke
atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat
yang kongkalikong. Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri
Handayani. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum,
Hal. 68)
Latar fisik yang mengacu pada wujud
fisikal dalam Sang Pemimpi
digambarkan sampai pada detil-detilnya. Andrea sekali lagi memerangkap kita
dalam cara penggambarannya yang ajaib. Kita pun seakan ikut berada di tempat
tersebut.
Sore
yang indah. Perkebunan kelapa sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami
seperti garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan
fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya
menyemburkan lazuardi merah menyala. Pada momen yang spektakuler itu aku tengah
membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai. (Sang Pemimpi,
Mozaik 4: Biola Nurmi, Hal. 37)
6.
Amanat
Amanat
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca. Pesan moral yang disebar dari novel Sang Pemimpi sebagian besar
mengungkapkan ide-ide yang terpatri di dalam lobus Andrea dan disebarluaskan
kepada Para Pemimpi di seluruh penjuru dunia. Dengan tegas, pemuda
berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia ini menghimbau bahwa mimpi
yang bersarang di dalam sektor tergelap alam bawah sadarmu tak akan selamanya
mengendap di sana. Laksanakan mimpimu!
Keadaan
yang tidak mendukung untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan
tidak menjadi masalah. Tekadmu akan mengalahkan segala rintangan yang
menghadang. Yakinlah akan hal itu, begitu kira-kiranya hal yang ingin
disampaikan Andrea kepada kita semua. Kemudian, ketika kau mulai menyerah pada
hidup yang tidak adil, jangan pernah melakukan itu, sekalipun tidak. Kelak kau
akan menyerap sesal di akhirnya jika kau tetap menyerah.
Kesusahan
yang mendera di tiap jengkal kehidupan Arai dan Ikal tidak serta merta
melemahkan mereka. Justru, berangkat dari situ keduanya tumbuh menjadi pribadi
yang tak terkalahkan. Kebahagiaan yang seperti setetes kecap pada seutas tali
jemuran bagi mereka seperti seribu truk gandeng yang menumpahkan pasir secara
bersamaan. Di tengah-tengah perihnya hidup, keduanya pun mengajarkan kita agar
selalu bersyukur. Arai, bocah lelaki yatim-piatu yang murni dan suci hatinya, Simpai Keramat nan memesona. Ikal, si
rambut ikal yang lurus pikirannya, mengajarkan kita betapa dia sangat mencintai
sepupu angkat dan orangtua tercinta. Jimbron, si invalid yang polos namun
memiliki benih-benih kebahagian yang tersemat jauh di dalam lubuk hatinya, tak
gentar untuk membuat orang-orang di sampingya bahagia.
Andrea
sungguh berhasil meneguhkan hati para pembaca akan suatu mimpi yang tidak boleh
diimpikan namun harus diwujudkan. Pesan yang disampaikan Andrea secara
eksplisit dan verbal pun laksana camilan sehari-hari yang mudah untuk ditelan
para pembaca bulat-bulat tanpa perlu bersusah-susah untuk mencerna.
7.
Sudut
Pandang (Point of View)
Sudut
pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah
sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya
sendiri.
Sudut
pandang yang dipakai Andrea pada novel ini adalah sudut pandang orang pertama
sentral (First Person Central) di
mana semua kejadian dan peristiwa yang terdapat di dalam ceritanya berasal dari
kacamata tokoh aku sebagai tokoh utama di sini (tipe pencerita intern). Seperti
dalam pengertiaannya, sudut pandang orang pertama sentral ini secara tidak
langsung adalah pengarang sendiri yang masuk ke dalam cerita dan menceritakan
si tokoh utama selayaknya itu adalah dirinya.
Pemakaian sudut pandang orang pertama sentral
ini, dipakai untuk menguatkan karakter tokoh utama aku, sebagai seorang Ikal
yang berusaha merangkak menggapai mimpinya. Jadi, semua konflik yang ada,
karekter-karakter dari tokoh lain, dan jalannya cerita berada dalam pandangan
tokoh aku. Tekanan pada tokoh utama ini sengaja diberikan Andrea untuk
mengungkapkan bagaimana Ikal melihat kehidupan dengan caranya sendiri. Andrea
memosisikan dirinya sebagai ‘Aku’ dalam sebagian besar karyanya, termasuk Sang Pemimpi. Sudut pandang pribadi
pengarang yang menggunakan sudut pandang tokoh utama, mengesankan bahwa si Ikal
maha tahu segalanya.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun
seumpama punchbag yang
dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti
es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti
amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. (Sang
Pemimpi, Mozaik 1: What a Wonderful World,
Hal. 2)
8.
Gaya
Bahasa
Gaya
adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminuddin, 1984:71 dalam
Siswanto, 2007:159)
Andrea
Hirata, out of the blue, tak dikenal
sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung
menulis tetralogi – sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula – dengan
gaya realis bertabur metafora yang
disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia,
sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur, namun amat memikat.
Daya
tarik yang menonjol dari Sang Pemimpi
terletak pada cara Andrea melempar kemungkinan yang amat tak terhingga dari
eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu
mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah
cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi
buku tersendiri. Setiap kalimatnya potensial. Andrea seperti tak pernah
kelangkaan ide dalam melihat fenomena di sekitarnya dari sudut yang tak
terjamah orang lain dan menuangkannya ke dalam tulisan bergaya realis ala si Belitong ini. Ironi diolahnya
menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd
menjadi demkikian memesona, tragedi yang diparodikan, ia menyastrakan fisika,
kimia, biologi, dan astronomi. Benar-benar seorang seniman kata-kata. Andrea
pun mampu menyajikan cerita dari kolam kenangannya menjadi menarik, sangat
menarik, kuat deskripsinya, filmis.
Adapun
dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan
stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Dengan menyertakan
guyonan bernada filosofis, intelejensia yang menjerang namun membumi, serta
sekelumit satirenya yang ringan, kita seperti diajak bernostalgia dan masuk ke
dalam dunia Ikal dan Arai yang fantastis.
Membaca
novel Sang Pemimpi, kita tak hanya
menikmati kumpulan paragraf berkualitas yang epik. Sesungguhnya, kita juga
mendamba sebuah karya dari seorang Andrea Hirata yang menjadi mata rantai tak
terputus menuju ke maha karyanya.
B.
Unsur
Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian Sastra
Unsur
ekstrinsik adalah struktur luar yang terdiri dari segala macam unsur yang
berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya tersebut,
misalnya faktor ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, agama dan
tata nilai yang dianut masyarakat.
Unsur
ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi
penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai
moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa
kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi
kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada
di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami
dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur
ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu menginterpretasikan
karya sastra dengan lebih tepat.
Unsur
tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau
vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.
1.
Unsur
Ekstrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi
Dalam
novel Sang Pemimpi, saya pun menemukan beberapa faktor yang menjadi bagian dari
struktur luar novel ini, yakni di antaranya:
a.
Nilai
Moral
Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengatakan bahwa nilai adalah sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Sesuatu yang menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya juga disebut sebagai nilai. Moral menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila. Moral merupakan ajaran kesusilaan
yangg dapat ditarik dari suatu cerita. Berbicara mengenai nilai moral yang
terkandung dalam Sang Pemimpi tidak
cukup satu halaman saja. Banyak sekali nilai moral yang teruntai di dalam
setiap kisah yang diularkan dengan apik oleh Andrea di dalam novel tersebut.
Ikal
dikisahkan sebagai remaja tanggung yang dipaksa untuk menantang jaman dengan
gagah. Namun di balik semua itu, Ikal hanyalah manusia biasa. Sikapnya memang
santun, kalem, dan penurut meskipun hidupnya sudah ditempa oleh kehidupan yang
keras.
Tidak
melupakan normanya sebagai anak, Ikal pun menaruh rasa hormat dan sayang yang
besar kepada sang ayah. Terbukti dengan sikapnya ketika menghadapi sang ayah
saat pengambilan raport.
Selesai menerima rapor, ayahku
keluar dari aula dengan tenang dan dapat kutangkap keharuan sekaligus kebanggan
yang sangat besar dalam dirinya. Beliau menemui kami, tapi tetap diam. Dan
inilah momen yang paling kutunggu. Momen itu hanya sekilas, yaitu ketika beliau
bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan
baginya. Dan kami ingin, ingin sekali dengan penuh hati menjadi pahlawan bagi
beliau. Lalu ayahku tersenyum bangga, hanya tersenyum, tak ada sepatah pun
kata. Senyumnya itu seperti ucapan terima kasih yang diucapkan melalui senyum.
Beliau menepuk-nepuk pundak kami, mengucapkan “Assalamu’alaikum” dengan pelan sekali, lalu beranjak pulang.
Mengayuh sepedanya lagi, 30 kilometer. Kupandangi punggung ayahku sampai jauh.
Sepedanya berkelak-kelok di atas jalan pasir. Betapa aku mencintai laki-laki
pendiam itu. Setiap dua minggu aku bertemu dengannya, tapi setiap hari aku
merindukannya. (Sang Pemimpi, Mozaik 8: Baju Safari Ayahku, Hal. 93)
Selain
itu, dalam novel ini pun Andrea juga menggambarkan betapa kerasnya hantaman
yang mesti dilalui Ikal ketika mendapatkan godaan untuk menonton bioskop yang
jelas-jelas dilarang oleh Pak Mustar. Jelas saja, Pak Mustar bilang begitu
karena memang adanya seperti itu: mayoritas film yang diputar adalah film
Jakarta yang berisi plot cerita murahan yang gemar mengumbar nafsu birahi.
“Sangat berbahaya …. Sangat berbahaya dan
menjatuhkan martabatmu, anak-anak Melayu bangsa pujangga, jika menonton film
yang dengan melihat nama pemainnya saja kita sudah dapat menduga ceritanya.
“Film tak pakai otak! Akting tak tahu malu!!
Tak ada mutunya sama sekali. Lihatlah posternya itu! Aurat diumbar ke
mana-mana. Film seperti itu akan merusak jiwamu.
“Pakai waktumu untuk belajar!! Awas!! Sempat
tertangkap tangan kau nonton di situ, rasakan akibatnya!!”
Maka tak ada siswa SMA Negeri Bukan
Main yang berani dekat-dekat bioskop itu. (Sang pemimpi,
Mozaik 9: Bioskop, Hal. 96)
Adapun
dari pernyataan Pak Mustar di atas dapat ditangkap bahwa anak sekolahan yang
menonton bioskop sama saja melakukan perbuatan amoral.
b.
Nilai
Sosial
Sosial
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkenaan dengan masyarakat. yang
dimaksud dengan nilai sosial yang menjadi struktur luar dari novel Sang Pemimpi
adalah hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat Belitong itu sendiri.
Seperti
sebuah tatanan masyarakat yang ada di tanah Melayu itu. Nilai-nilai yang
hakikatnya abstrak namun merajalela di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di
Belitong. Andrea pun mencoba mengangkat itu melalui sebuah pencitraan yang
lugas dan membumi. Salah satu contohnya, seperti prosesi pengangkatan kepala
kampung yang terkesan rancu dan tidak masuk akal orang kota.
Jika A Put memakan pulut panggang
itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah prosesi di
kampung kami, sangat fungsional. Jika hujan berkepanjangan, pawang hujan akan
mendapat kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya
dinobatkan sebagai kepala kampung. Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang
paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. (Sang
Pemimpi, Mozaik 5: Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 57)
Andrea
sekali lagi memang pandai dan ajaib. Pria belitong juga menonjolkan sisi
kemiskinan yang saat itu seperti kulit kedua orang Melayu melalui lintas imaji
yang agak melankoli namun tidak sampai mengurangi esensi tersebut. Seperti
bagaimana seorang Arai yang membantu menyisihkan kesusahan barang satu
milimiter dari pundak Mak Cik Maryamah dan Nurmi. Andrea mampu menyajikan
sebuah plot-twist yang sangat manis
pada Mozaik 4: Biola Nurmi.
Aku masih tak mengerti maksud Arai
waktu ia memasuki pekarangan rumah Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah
yang senyap. Dari dalam kamar, sayupterdengar Nurmi sedang menggesek biola.
Arai menyerahkan karung-karung tdi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu
aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik
membuat kue dan kami yang akan menjualnya.
“Mulai sekarang, Mak Cik akan punya
penghasilan!” seru Arai bersemangat. (Sang Pemimpi, Mozaik
4: Biola Nurmi, Hal. 51)
Pekerjaan
adalah strata sosial. Begitulah kiranya apa yang Andrea umumkan melalui
novelnya. Bagaimana sebuah pekerjaan dapat meningkatkan status sosial. Sewaktu
Ikal masih bekerja sebagai kuli ngambat tentu hasil yang didapat ajuh berbeda
ketika dia kuliah dan bekerja di kantor pos di Jakarta.
Selama pengalamanku bekerja, sejak
kelas dua SMP, menjadi pegawai Pos adalah puncak karierku. Meskipun hanya
sebagai tukang sortir, dan ini tak kusukai, tapi aku adalah seorang pegawai
jawatan! Tahukah, Kawan, artinya itu? Itu artinya aku adalah seorang amtenar!
Seorang Komis! Susah kupejamkan mataku malam-malam memikirkan kehebatan
lompatan karierku dari kuli ngambat beberapa bulan yang lalu sekarang jadi
amtenar yang berangkat kerja dengan baju seragam. (Sang
Pemimpi, Mozaik 17: Wewenang Ilmiah, Hal. 243)
Kepedulian
terhadap peperangan yang saat itu terjadi Afghanistan juga diungkit oleh
Andrea. Bagaimana sebuah koinsidensi dapat terjadi tepat di mana ia dan kedua
sahabatnya dikejar oleh Pak Mustar.
Terbunuhnya komandan resimen utara
Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zona utara dari
penaklukan Tentara Merah, sekaligus pemicu hengkangnya Rusia dari Afghanistan
tahun berikutnya. ….
Ketika menonton berita itu tak
terbesit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yang terjadi
pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mustat sampai ke gudang peti es:
15 Agustus 1988, akan menjadi potongan mozaik hidup kami.
(Sang Pemimpi, Mozaik 7: Afghanistan, Hal. 85)
c.
Nilai
Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang
yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Berbicara
tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama
merupakan pegangan hidup bagi manusia. Melalui agama, manusia juga dapat
mempertahankan keutuhan dalam hidup bermasyarakat sekaligus menuntun untuk
meraih masa depan yang lebih baik. Berikut ini salah satu contoh data yang
mengandung nilai pendidikan religius.
Jimbron adalah
seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami
heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya
beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami
memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia
menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit
pun bermaksud mengubah keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika
mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
(Sang Pemimpi, Mozaik 5: Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 61)
Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan
religius. Ini terlihat pada kalimat kami heran karena kalau mengaji, ia selalu
diantar seorang pendeta. Kalimat tersebut mencerminkan tokoh Jimbron yang taat
beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupu Jimbron hidup di lingkungan
agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penanaman nilai religius yang tinggi
dalam dirinya mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh
pada sesama. Manusia menjadi saling mencintai dan menghormati. Dengan demikian,
manusia bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan Tuhan, sesama manusia,
dan makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang
penyayang dan menghormati manusia lain yang berbeda agama. Hal ini terbukti
bahwa Jimbron sebagai anak angkatnya justru setiap harinya diantar mengaji dan
tidak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau bahkan tidak
pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke Masjid.
d.
Nilai Pendidikan Budaya
Nilai Pendidikan Budaya Suatu nilai
budaya dapat dilihat melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata
seperti tingkah laku dan bendabenda material sebagai hasil dari penuangan
konsep-konsep nilai seperti dalam kutipan di bawah ini.
Dia tak
menjawab, hanya menatap kami dari atas ke bawah, lalu menarik lagi tas orang
lain. Bagi orang Melayu, tak menjawab berarti setuju. Kami meloncat ke dalam
bus. Bus meluncur keluar terminal. Klakson sana-sini, berkelak-kelok tanpa
ampun, mengumpat-umpat, dan tancap gas. (Sang
Pemimpi, Mozaik 16: Ciputat, Hal. 216)
Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan budaya.
Ini terlihat dalam kalimat Bagi orang
Melayu, tak menjawab berarti setuju. Kalimat tersebut menggambarkan suatu
perilaku yang telah membudaya di daerah tersebut. Bagi orang Melayu, jika ada orang
yang bertanya dan orang yang ditanyai itu tidak menjawab berarti orang tersebut
setuju dengan apa yang dikatakan. Hal ini merupakan suatu kebudayaan yang
menjadi ciri khas orang Melayu.
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel
Sang Pemimpi adalah nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai
pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya. Nilai pendidikan religius yang
terdapat dalam novel Sang Pemimpi digambarkan melalui sikap-sikap tokoh dalam
taat beragama dan beribadah. Nilai pendidikan moral digambarkan melalui
perilaku baik buruk dari tokoh-tokoh dalam novel.
Selanjutnya, nilai pendidikan sosial dalam novel
Sang Pemimpi disampaikan melalui cerminan kehidupan para tokoh dan nilai
pendidikan budaya dalam novel Sang Pemimpi digambarkan melalui perilaku dan
benda atau produk masyarakat Melayu.
Nilai pendidikan yang paling banyak terkandung dalam
novel Sang Pemimpi adalah nilai pendidikan sosial. Hal ini disebabkan oleh
pengarang ingin pembaca khususnya masyarakat Indonesia sadar akan kepedulian
mereka terhadap sesama khusunya dalam hal pendidikan.
Berdasarkan rumusan masalah kedua dapat disimpulkan
bahwa bentuk penyampaian nilainilai pendidikan dalam novel Sang Pemimpi ada dua
macam, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Bentuk penyampaian nilai
pendidikan yang paling tinggi adalah bentuk penyampaian secara langsung. Dalam
hal ini, nilai-nilai pendidikan lebih banyak disampaikan secara langsung
dikarenakan pengarang ingin mempermudah pembaca dalam memahami magsud dari
cerita yang disampaikan.
Pada dasarnya karya sastra tidak hanya mengandung
nilai hedonik (kesenangan) secara langsung bagi penikmatnya, tetapi karya
sastra juga mengandung nilainilai pendidikan yang perlu dipertahankan. Dengan
demikian, perlu adanya pemertahanan nilainilai pendidikan khususnya nilai
pendiidkan sosial dalam penyusunan karya sastra. Selain itu, disarankan juga
diadakan penelitian lebih lanjut terhadap novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata dengan sudut permasalahan yang berbeda, misalnya dari segi nilai-nilai
kehidupan, sehingga pemahaman pembaca terhadap pesan yang disampaikan pengarang
dalam karyanya semakin dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Hirata, Andrea. Juli,
2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta:
Bentang Belia.
e-Journal
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014
(diunduh pada 6 Juni 2015, 12:30 WIB)
Sudjiman, Panuti. 1992.
Memahami Cerita Rekaan. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Tarigan Guntur H. 1985.
Prinsip -prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Suyitno. Sastra. 1986. Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta:
Hanindita.
Fananie, Zainuddin.
1982. Telaah Sastra. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar