A. Pengertian Kebudayaan Batak
Batak
adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara.
Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi dan ada pula yang
menganut kepercayaan animisme (disebut Parmalim).
Yang
dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku
bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan
lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari
nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu ciri yang khas bagi suku bangsa
Batak yakni: Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan
yang menciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit
dan bumi. Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan
sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya,
Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi sipritualnya, alam lingkungan
sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik. Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai
nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai
dengan kata Unang, Tongka, Sotung, Dang Jadi.
Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum.
Uhum/Hukum
ditandai oleh kata; Aut, Duru, Sala, Baliksa, Hinorhon, Laos, Dando, Tolon, Bura dsb. Di dalam menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama
interaksi antara sesama manusia dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika
maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistem
kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung. Dan mengharamkan segala aturan untuk dilanggar dikatakan
dengan kata Subang.
B. Makna
Kebudayaan Batak
Tata nilai
kehidupan suku Batak di dalam proses pengembangannya merupakan pengolahan
tingkat daya dan perkebangan daya dalam satu sistem komunikasi meliputi:
1.
Sikap
Mental (Hadirion)
a. Sikap
mental ini tercermin dari pepatah: babiat
di harbangan, gompul di alaman.
b. Anak sipajoloon nara tu jolo.
2.
Nilai
Kehidupan (Ruhut-ruhut Ni Parngoluon)
a. Pantun marpangkuling bangko ni anak na
bisuk. Donda marpangalaho bangkoni boru na uli. (pantun hangoluan tois hamagoan).
b. Cara
Berpikir (Paningaon)
1) Raja di jolo sipatudu dalan hangoluan
(di depan kita sebagai panutan).
2) Raja di tonga pangahut pangatua, pangimpal,
pangimbalo (di tengah kita sebagai pemersatu).
3) Raja di pudi siapul natangis sielek na
mardandi (di belakang kita sebagai penopang orang yang jatuh).
c. Cara
Bekerja (Parulan)
1) Mangula sibahen namangan (mengerjakan
apa yang mau dimakan).
2) Maragat bahen siinumon (menampung apa
yang mau diminum).
d. Logika
(Ruhut, Raska, Risa)
1) Aut so ugari boru Napitupulu na tumubuhon
au, dang martulang au tu Napitupulu (jika masih satu keturunan/marga, maka kita
akan lebih menghormatinya).
e. Etika
(Paradaton)
1) Tinintip sanggar bahen huru-huruan.
2)
Nisungkun
marga asa binoto partuturon.
f. Estetika
(panimbangion)
1)
Hatian
sora monggal ninggala sibola tali.
C.
Suku-suku Batak
Suku
Batak terdiri dari beberapa sub suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara,
Kota Subulussalam, Aceh Singkil dan Aceh Tenggara. Sub suku Batak adalah: Suku Alas, Suku Kluet, Suku Karo, Suku Toba, Suku Pakpak, Suku Dairi, Suku Simalungun, Suku Angkola, Suku Mandailing.
Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata
pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan
yang kemudian dirubah menjadi Kabupaten setelah Indonesia merdeka.
Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya
meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta
Sarulla. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah
dimekarkan menjadi beberapa 5 kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota
Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota
Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang
Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul).
Sub
suku Batak Karo mayoritas berdiam di Kabupaten Karo
dengan ibukota Kabanjahe, namun sebagian juga tersebar di Kabupaten Langkat dan
Deli Serdang. Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo kerap disebut
sebagai Karo Gunung, sementara yang di Kab. Langkat dan Deli Serdang kerap
disebut dengan Karo Langkat.
Sub
suku Batak Alas bermukim di wilayah Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Populasi mereka meningkat paska
Perang Aceh dimana pada masa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda,
suku Batak Toba selalu mengirimkan bala bantuan. Setelah perang usai, mereka
banyak yang bermukim di wilayah Aceh Tenggara.
Sub
suku Batak Pakpak terdiri atas 5 sub Pakpak yaitu Pakpak
Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan, bermukim di wilayah
Kabupaten Dairi yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten
yakni: Kabupaten Dairi (ibukota Sidikalang) dan Kabupaten Pakpak Bharat
(ibukota Salak). Suku Batak Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang
masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan
bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.Suku Pakpak yang tinggal diwalayah
tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku
Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Sub
suku Batak Simalungun mayoritas bermukim di wilayah
Kabupaten Simalungun (ibukota Pematang Siantar) namun dalam jumlah yang lebih
kecil juga bermukim di kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Asahan.
Sub
suku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah
Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing
Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten
ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.
Sementara itu, Kabupaten Tapanuli Tengah (ibukota Sibolga) sejak dulu tidak
didominasi oleh salah satu sub suku batak. Populasi Batak Toba cukup banyak
ditemui di daerah ini, demikian juga dengan Batak Angkola dan Mandailing. Dalam
jumlah yang kecil, Batak Pakpak juga bermukim di daerah ini khususnya Kota Barus.
Hal ini dimungkinkan karena Tapanuli Tengah terletak di tepi Samudera Hindia
yang menjadikannya sebagai pintu masuk dan keluar untuk melakukan hubungan
dagang dengan dunia internasional. Salah satu kota terkenal yang menjadi bandar
internasional yang mencapai kegemilangannya sekitar abad 5 SM-7 SM adalah Kota
Barus.
D.
Falsafah Batak
Secara
umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada pihak
keluarga ibu/istri) Elek Marboru
(ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat
Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan
sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
E. Batak Pada era modern
Sejarah
Batak modern dipengaruhi oleh dua agama samawi yakni Islam dan Kristen. Islam
makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang
dilakukan para da'i dari dari negeri Minang. Perluasan penyebaran agama islam
juga pernah memasuki hingga ke daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku
Rao dari Sumatera Barat, namun tidak begitu berhasil. Islam lebih berkembang di
kalangan Batak Mandailing dan sebagian Batak Angkola. Agama Kristen baru
berpengaruh di kalangan Batak Angkola dan Toba setelah beberapa kali misi
Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil
adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama
Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di
sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian
bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi
kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya
berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli.
Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua
rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah
ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Sementara itu, perkembangan pendidikan
formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama
Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi
universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri
dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.
F. Mata Pencaharian
Pada
umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat
dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mendapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki
perseorangan. Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara
lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan
dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga
berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada
kaitanya dengan pariwisata.
G. Sistem Kekerabatan dan kemasyarakatan
1. Kekerabatan
Nilai
kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalian Na Talu, di mana seseorang harus
mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling
menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk
kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru. Kelompok kekerabatan suku bangsa
Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut
istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu
marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok
pariteral keturunan pendiri dari Kuta.
Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen
kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan.
Sebaliknya klen besar yang anggotanya sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak
saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang
selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak
didasarkan pada empat prinsip yaitu: (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan
pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.
2. Hagabeon,
Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan
yang baik-baik.
3. Hamoraan,
Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan
meterial.
4. Uhum
dan ugari, Nilai uhum orang Batak tercermin pada
kesungguhan dalam menegakkan keadilan sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan
akan sebuah janji.
5. Pengayoman,
Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut
diemban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu.
6. Marsisarian,
Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.
H. Marga dan Tarombo
Marga
adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem
kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan
anak laki laki. Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki
anak laki-laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling
mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan
Na Tolu disebut Dongan Tubu.
Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak
416, termasuk marga suku Nias.
Tarombo
adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui
posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya
mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui
apakah mereka saling mardongan sabutuha
(semarga) dengan panggilan ampara
atau marhula-hula dengan panggilan lae/tulang. Dengan tarombo, seseorang
mengetahui apakah ia harus memanggil Namboru
(adik perempuanayah/bibi), Amangboru/Makela,
(suami dariadik-ayah/Om), Bapatua/Amanganggi/Amanguda
(abang/adik ayah), Ito/boto (kakak/adik),
Pariban atau Boru Tulang (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita
jadikan istri, dst.
I. Produk Budaya
1. Adat Istiadat Batak
a. Upacara
Pada
masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa,
berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang
dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut
perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama.
Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama,
potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi,
upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat
Batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut
usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang
umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat
sembuh kembali. Upacara ini disebut sulang-sulang.
Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen,
tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam
upacara-upacara yang dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur ke rumah
keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso
nanti akan kemasukan roh, sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata-kata
leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara ini disebut Sigale-gale.
b. Rumah
Adat
Rumah
adat Siwaluh Jabu, rumah adat Batak
Karo. Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu
keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak
ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di
batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat.
Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan
tersebut, telah ditentukan pula oleh adat.
Rumah adat Batak Toba
yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang
dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah
harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak
tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan
kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu
harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1.75
meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam,
dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun
pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal
tak dipakai lagi.
c.
Alat-alat
Rumah Tangga Yang Dipakai oleh Nenek Moyang Suku Batak
Panutuan
dan Tutu adalah alat untuk menggiling
bumbu dapur. Panutuan dan Tutu terbuat dari batu atau kayu. Panutuan adalah wadah tempat bumbu akan
digiling, sedangkan Tutu adalah batu
atau kayu penggiling bumbu itu. Tutu
ini dinamai juga Papene. Hudon Tano atau Susuban Tano adalah bejana yang terbuat dari tanah liat. Pada zaman
dahulu bejana ini dipakai serba guna, misalnya: tempat penyimpanan air, tempat
memasak makanan dan air minum. Poting
atau gunci terbuat dari tanah liat dan tutupnya terbuar dari kayu. Barang ini
dipakai sebagai tempat tuak.
d.
Musik, Pakaian Adat dan Tarian Batak
Musik tradisi
masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata gondang:
1)
Satu jenis musik tradisi Batak toba;
2)
Komposisi yang ditemukan dalam jenis
musik tsb. (misalnya komposisi berjudul Gondang
Mula-mula, Gondang Haroharo)
3)
Alat musik kendang. Ada 2 ansambel musik gondang,
yaitu Gondang Sabangunan yang
biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.
Sarune Bolon
adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa
ditemukan di Jaw, India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan teknik yang
disebut marsiulak hosa (kembalikan
nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang
panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas.
Ogung
terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama.
Pola irama gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus
gongan yang ditemukan di musik gamelan dari Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Ulos
adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan
kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang
lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong, yang artinya
ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos
pengikat kasih sayang di antara sesama. Berdasarkan raksanya, dikenal beberapa
macam ulos:
1) Ulos ragidup, yang
tertinggi derajatnya, sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bahagian, yaitu dua sisi yang ditenun
sekaligus, dan satu bahagian tengah yang ditenum tersendiri dengan sangat
rumit. Dalam upacara adat perkahwinan, ulos
ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin
lelaki sebagai ulos pargomgom yang
maknanya agar besannya ini atas izin Tuhan YME tetap dapat melalui bersama sang
menantu anak dari sipemberi ulos
tadi.
2) Ulos ragihotang, juga
termasuk berdarjah tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos ragidup.
Dalam upacara kematian, ulos ini
dipakiuntukmembungkus jenazah, sedangkan kepada upacara pengkuburan kedua
kalinya, untuk membungkus tulang-belulangnya.
3) Ulos sibolang, semula
disebut sibolang sebab dibeikan
kepada orang yang berjasa untuk mabulangbulangi
(menghormati) orang tua penggantin perempuan untuk mengulosi ayah pengantin
lelaki sebagai ulos pansaniot.
e.
Tarian
Seni
Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat
magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional:
Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam
upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta
warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan
nenek moyang.
f.
Pembangunan dan Modernisasi
Aspek
pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan timbulnya
kesempatan untuk memperoleh prestise
social. Terjadinya jaringan hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat
dapat berjalan dengan baik. Adat itu sendiri bagi orang Batak adalah suci.
Melupakan adat dianggap sangat berbahaya. Pengakuan hubungan darah dan
perkawinan memperkuat tali hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Saling tolong
menolong antara kerabat dalam dunia dagang dan dalam lapangan ditengah
kehidupan kota modern umum terlihat dikalangan orang Batak. Keketatan jaringan
kekerabatan yang mengelilingi mereka itulah yang memberi mereka keuletan yang
luar biasa dalam menjawab berbagai tantangan dalam abad ini.
Kondisi
Modern (Modernisasi)
Migrasi
batak ke kota mulai di tahun 1910 tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi
tersebut tambah besar di tahun 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi
dengan suku lain di kota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian besar
beragama Islam. Dalam lingkungan multi etnis ini banyak orang batak ketemu rasa
identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain. Tetapi banyak orang
batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia
meninggalkan banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain
ada bagian orang batak kota yang menjadi lebih sadar tentang kepentingan
identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan
memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan lain di desanya.
Ada
orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara.
Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi.
Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan
kemakmuran sering diekspresikan dengan afinitas kepada apa yang dianggap modern.
Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang main poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang
sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yang modern tidak lagi dianggap
lengkap tanpa musik keyboard atau
musik tiup yang main lagu pop batak
atau pop barat, sebaliknya mungkin
ansambel musik gondang dianggap
kampungan oleh orang kota kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas
tidak salah.
Kita
semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan
periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera
setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari
kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan
sejenis musik tradisi yang disebut gondang, yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi
kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun
bidang rohani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar