Jumat, 12 Juni 2015

Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata

ini tugas analisis yang pengerjaannya bikin gue mual. efek sampingnya adalah stress yang berkepanjangan, mata yang berkantung, serta kuota internet yang jebol gegara searching literatur ditambahan. hah, semoga berkah...



 BAB I
LANDASAN TEORI
A.    Latar Belakang
1.      Sastra
Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam bahasa Belanda terdapat istilah bellettrie untuk merujuk makna belles-lettres. Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, 11 pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia
Menurut Panuti Sudjiman (1986:68), Sastra ditempatkan sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.
Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20).
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Secara rinci jenis-jenis sastra menurut Sumardjo & Saini (1997: 18-19) digambarkan dalam diagram berikut:
jenis-jenis sastra
2.      Hakikat Novel sebagai Suatu Karya Sastra
Hakikat Novel sebagai Suatu Karya Sastra Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary (via Tarigan, 1991: 120), kata fiksi dalam bahasa Inggris disebut fiction yang diturunkan dari bahasa latin fictio, fictum yang berarti membentuk, membuat, mengadakan, dan menciptakan. Dikatakan oleh Tarigan (1991: 122) bahwa fiksi juga bersifat realitas, sedangkan nonfiksi bersifat aktualitas. Penulis fiksi harus dapat menghidupkan tokoh, peristiwa dan cerita agar pembaca menaruh perhatian serta yakin akan hak yang terjadi itu.
Pembagian fiksi dapat berdasarkan isi maupun bentuknya. Menurut Lubis (via Tarigan, 1991: 157-162) berdasarkan isinya, fiksi dapat diklasifikasikan atas romantik, realisme, sosialis realisme, naturalisme, ekspresionisme dan simbolisme.
Romantik ialah cara mengarang yang mengidealisasikan penghidupan dan pengalaman manusia yang menekankan pada hal yang lebih 14 baik. Realisme secara umum menulis apa yang dilihat dalam kehidupan dalam segi jasmani, sehingga mengesampingkan aspek rohani. Sosialis-realis dimaksudkan untuk menuliskan penghidupan yang materialisme dan dangkal berdasarkan dogma Marxisme tentang sejarah dan masyarakat. Realisme sebenarnya adalah penulisan yang berusaha menggambarkan kehidupan yang mencakup segala segi kehidupan baik dalam manifestasi jasmani, intelek, maupun rohaninya secara utuh. Naturalisme merupakan penulisan yang memusastkan pada kehidupan manusia dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan kemanusiaannya. Ekspresionisme adalah penulisan yang menonjolkan luapan-luapan dari jiwa si pengarang sendiri. Jenis terakhir adalah simbolisme yang diartikan bahwa penulisan sastra banyak menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan suatu kehidupan atau perasaan manusia.
Dalam khazanah kesusastraan, karya fiksi berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi roman atau sering di sebut juga novel, novelette dan cerpen. Namun, pada dasarnya, perbedaan tersebut terletak pada kadar panjangpendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita. Unsur-unsur yang terkandung dalam karya fiksi dan cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meski dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itu, hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman ataupun ketrampilan melalui telaah tersebut dapat diterapkan dalam menelaah novel maupun cerpen (Aminuddin, 1987: 66-67).
3.      Teori Sastra
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejalagejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Unsur Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi
Sinopsis
Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata bercerita tentang kehidupannya di Belitong pada masa SMA. Tiga tokoh utama dalam karya ini adalah Ikal, Arai dan Jimbron. Ikal tidak lain adalah Andrea Hirata sendiri, sedangkan Arai adalah saudara jauhnya yang menjadi yatim piatu ketika masih kecil. Arai disebut simpai keramat karena dalam keluarganya ia adalah orang terakhir yang masih hidup dan ia pun diangkat menjadi anak oleh ayah Ikal. Jimbron merupakan teman Arai dan Ikal yang sangat terobsesi dengan kuda dan gagap bila sedang antusias terhadap sesuatu atau ketika gugup. Ketiganya melewati kisah persahabatan yang terjalin dari kecil hingga mereka bersekolah di SMA Negeri Manggar, SMA pertama yang berdiri di Belitung bagian timur.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ikal dan Arai harus bekerja sebagai kuli di pelabuhan ikan pada dini hari dan pergi ke sekolah setelahnya. Namun begitu, mereka tetap gigih belajar sehingga selalu berada dalam peringkat lima teratas dari 160 murid di sekolahnya. Sekolah mereka merupakan SMA negeri pertama yang bergengsi di Belitong, sebelumnya satu-satunya SMA yang terdekat berada di Tanjung Pandan. Sekolah tersebut berada 30 kilometer dari rumah Ikal dan Arai sehingga mereka harus menyewa kamar dan hidup jauh dari orang tua.
Selama masa SMA, banyak kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh Arai dan Ikal. Mereka pernah mengejek Pak Mustar saat upacara bendera di pagi hari sehingga Pak Mustar marah dan mengejar mereka. Mereka juga pernah menyusup ke bioskop yang tidak mengizinkan anak sekolah masuk untuk menonton film dewasa. Pak Mustar mengetahui hal tersebut sehingga Arai dan Ikal diberi hukuman keesokan harinya.
Pada akhirnya, Jimbron harus berpisah dengan Ikal dan Arai yang akan meneruskan kuliah di Jakarta. Selama di Jakarta, mereka luntang-lantung mencari pekerjaan namun akhirnya Ikal menjadi pegawai pos dan Arai pergi ke Kalimantan untuk bekerja sambil kuliah. Ikal berhasil membiayai kuliahnya di Universitas Indonesia hingga menjadi Sarjana Ekonomi, sedangkan Arai belajar biologi di Kalimantan. Hidup mandiri terpisah dari orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sangat terbatas namun punya cita-cita besar, sebuah cita-cita yang bila dilihat dari latar belakang kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
1.      Judul
Sang Pemimpi merupakan novel kedua Andrea dari tetralogi Laskar Pelangi. Dari judulnya, kita sudah dapat mengetahui bahwa cerita yang terjuntai di dalam novel ini berkisar di antara mimpi-mimpi para tokohnya. Mimpi setinggi angkasa untuk melanjutkan studi si luar negeri, menghapus garis kemiskinan keluarga, serta mimpi untuk membuat seorang pujaan hati untuk membubuhkan sebuah senyuman.
2.      Penokohan dan Perwatakan
Andrea memberikan sentuhan penokohan Ikal, Arai, dan Jimbron melalui penggambaran baik secara analitik maupun dramatis. Karakter Ikal adalah bocah Belitong yang lembut hatinya sehingga agak sensitif. Ikal sangat menyayangi kedua orang tuanya, terlebih bapaknya. Sifat Ikal yang pendiam pun menurun dari sang bapak. Hal tersebut dapat kita rasakan pada potongan narasi berikut:
            Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi. Kami hanya diam. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
            Arai, saudara kandung jauh dari tokoh Ikal adalah pemuda Belitong yang memiliki semangat tak berkesudahan. Dia adalah seorang yang penuh inisiatif. Kita pun akan dibuat terpana oleh karisma seorang Simpai Keramat yang dimilikinya. Meskipun dirinya sudah mengalami kesengsaraan sejak kecil, hal itu tidak membuatnya menjadi pribadi yang lemah. Arai justru tumbuh menjadi seorang bocah yang tegar melebihi batas. Persepsi yang dimilikinya pun sangat sulit ditebak.
            Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat. Aria mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yang mencuri-curi pandang ke arah kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Melihatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 27)
            Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. Ia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak. (Sang Pemipi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 28)
Sebagai seseorang yang dikenal memiliki inisiatif gila, Arai kerap menjerumuskan sahabat-sahabatnya ke dalam kolam imajinasi tingkat dewanya. Tanpa atau disadari oleh Ikal dan Jimbron, seorang Arai mampu membawa mereka berdua terhanyut ke dalam ajakan persuasifnya.
Arai menatapku dan Jimbron dengan kilatan bola mata yang mengandung niat berkonspirasi.
“Saudara-saudaraku tercinta ….
“Anak-anak Melayu bangsa pujangga, senasib sepenanggungan ….
“Kita harus menemuinya!! Kita harus nonton film ini!!”
(Sang Pemimpi, Mozaik 9; Bioskop, Hal. 100)
Tokoh Arai berbeda dengan Ikal yang terkesan lemah lembut. Karena hatinya yang lembut, dibandingkan dengan Arai, itulah sebabnya Ikal lebih mudah menitikkan air mata.
            Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan sedemikian berat sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
            Di samping itu, Ikal juga mudah terpengaruh ajakan orang lain. Tak terkecuali bujukan Arai.
            Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini – mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan kami sudah mendarah daging. (Sang Pemimpi, Mozaik 4; Biola Nurmi, Hal. 41)
            Tetapi di balik sifat picik Arai di mata Ikal, sesungguhnya pahlawan yang kesiangan itu cocok disematkan kepada Arai. Dia memiliki kebaikan yang tidak pernah kadaluwarsa dalam hatinya. Sungguh, julukan Simpai Keramat yang diembannya memang menjadi ikon mutlak mengapa Arai sangat ahli dalam memberikan kebahagian tak terduga kepada sahabatnya. Itulah sebabnya, Ikal tak mampu melawan pesona Arai dalam berpikir dan bertindak. Arai adalah sosok yang penuh dengan kejutan.
Simpai Keramat yang yatim piatu ini badannya kumal dan bau. Kuku-kukunya hitam, potongan rambutnya tak keruan, digunting sendiri di depan cermin dengan gaya asal tidak gondrong. Di lehernya melingkar daki, tapi masya Allah, hatinya putih bercahaya, hatinya itu selalu hangat. Ia orang yang selalu merasa bahagia karena dapat membahagiakan orang lain. Lalu apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapannya padaku: Tanpa mimpi dan semangat orang seperti kita akan mati. Ya, tergeletak di atas selembar tikar purun, dengan seragam putih abu-abu yang dipakai untuk sekolah dan bekerja, bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan, yang tersisa untuknya memang hanya semangat dan mimpi-mimpi.
Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia lakukan padaku. (Sang Pemimpi, Mozaik 14; When I Fall in Love, Hal. 185)
Tokoh Arai dan Ikal yang berlawanan justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagai dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, kita tidak dapat memisahkan presensi Arai dan Ikal. Tetapi, jangan lupakan Jimbron. Pemuda yatim-piatu bertubuh tambun yang diasuh oleh seorang Pendeta Katolik. Jimbron tak lancar bicara. Ia gagap, namun tak selalu gagap. Jimbron adalah seorang bocah yang polos dan sangat terobsesi pada kuda.
            Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis kelaminnya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. (Sang Pemimpi, Mozaik 5; Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 62)
            Cerita kuda Jimbron adalah tetesan air yang terus menerus menghunjam batu karang kesabaranku. Dan setelah sekian tahun, siang ini batu karang itu retak, beberapa tetes air lagi ia akan terbelah.
            “ … Kuda Persia … kuda Afrika … kuda troya … diperkuda … kuda siluman … “
Aku kelelahan dan stres. Aku tak tahan lagi dengan siksaan hikayat kuda. Semua kisah kuda harus dihentikan hari ini, hari ini juga!! (Sang Pemimpi, Mozaik 11; Spiderman, Hal. 130)
Pak Mustar, banyak yang mengecap wakil kepala sekolah SMA Bukan Main ini sebagai tokoh antagonis di Sang Pemimpi. Andrea pun menggambarkan sosok Pak Mustara sebagai seorang guru yang ditakuti segala lapisan murid dan disegani segala lapisan masyarakat. Metode pengajaran yang dilakukan pun terkenal keras. Penegak peraturan nomor satu di SMA Bukan Main.
Tetapi, di balik semua sikap keras Pak Mustar dan serapah ‘Berandal’-nya kepada para murid SMA Bukan Main yang membangkang, sesungguhnya beliau merupakan sosok bapak yang perhatian. Namun caranya saja yang salah diartikan hampir sebagian orang.
Suaranya berat penuh sesal. Ia memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian, hanya caranya saja yang keras.
“Kini kau terdepak jauh dari garda depan??”
Ia menatapku geram. Marah, tak habis mengerti, dan ada satu kilatan kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam hatinya. Ia memandang jauh keluar jendela. Diam. Lalu ia berbalik menatapku, suaranya tertahan, “Tahukah kau, Bujang?? Sepanjang waktu aku bermimpi anakku duduk di kurdi garda depan itu … “
Aku terharu melihat mata Pak Mustar berkaca-kaca. (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai Lenggang, Hal. 148)
Sementara itu, ada juga beberapa tokoh pendukung seperti Basman, Taikong Hanim, Capo, Bang Zaitun, Pendeta Geovanny, Mak Cik Maryamah dan Laksmi.
3.      Tema
Ide yang mendasari hampir seluruh Mozaik dalam novel Sang Pemimpi adalah mimpi. Anak-anak Belitong menggantungkan mimpi melalui tali-temali pendidikan. Mereka yang memiliki segudang motivasi berduyun-duyun pergi ke sekolah untuk mengenyam bangku pendidikan. Segelintir pemimpi Belitong itu pun tersisa tiga; Ikal, Arai, dan Jimbron.
Mimpi bukan hanya sekedar pawana yang dibawa kala badai bergemuruh. Mimpi bukan sekedar kerikil yang biasa kauinjak di atas permukaan tanah yang berbatu. Mimpi bukan sekedar angan yang terucap melalui bibir melainkan suatu keyakinan yang bakal menjadi kenyataan. Mimpi yang menggantung di atas awan tak ubahnya umpan agar dirimu melompat setinggi mungkin, melebihi kemampuanmu, melewati garis ternyamanmu, untuk menggapainya.
Ikal, Arai, dan Jimbron yakin bisa melanjutkan studi ke benua biru. Mereka pun menepis jau-jauh kemustahilan dalam mimpi mereka. Walaupun di Mozaik 12; Sungai Lenggang, Ikal sempat merasa pesimis namun siapa sangka, dia pun cepat bangkit dari keterpurukannya.
“Meskipun kaupenuhi celengan sebesar kuda sungguhan, sahabatku Jimbron, tak ‘kan pernah uang-uang receh itu mampu membiayaimu sekolah ke Prancis …, demikian kata hatiku. Dan dengarlah itu, Kawan. Siratan kalimat sinis dari orang yang pesimis. Ia adalah hantu yang beracun. Sikap itu mengekstrapolasi sebuah kurva yang turun ke bawah dan akan terus turun ke bawah dan telah membuatku menjadi pribadi yang gelap dan picik. Seyogyanya sikap buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis, lalu iri, lalu dengki, lalu mingkin fitnah. … (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai Lenggang, Hal. 147)
Di novel sebelumnya, Laskar Pelangi, kita disuguhkan sebuah kronik anak-anak Belitong yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Begitu pun dengan Sang Pemimpi. Ketiga pemuda Melayu itu memaparkan bagaimana untaian kisah perjuangan menempuh pendidikan di atas rel kemiskinan yang permanen di Tanah Belitong pada zaman itu.
Karena di kampung orantuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP, aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belangnya, termasuk ayahku, terancam kolpas. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 67)
4.      Alur (Plot)
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interleasi fungsional yang menandai urutan bagian-bagian dalam kesatuan. Sehingga alur merupakan kerangka utama cerita.
Andrea mampu membawa kita mengikuti alur ceritanya yang maju dan mundur. Pria kelahiran Belitong ini pun sukses membawa kita menikmati berbagai kerangka cerita dramatis namun sederhana yang dibuatnya. Hal itu terbukti dengan antara satu mozaik dengan mozaik lainnya yang menampilkan tahapan peristiwa yang menarik. Meskipun, alur yang dipakai tidak maju, ajaibnya semua mozaik yang terdapat pada Sang Pemimpi memiliki magis tersendiri yang menghasilkan kesan antara mozaik kesatu akan berlanjut di mozaik kedua,dst.
5.      Latar
            Suasana perkampungan Melayu pada tahun 1980-an kental sekali dalam buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini. Pemaparan keadaan ala Andrea yang lugas dan dramatis pun sukses membawa kita seperti ikut ke dalam petualangan Ikal, Arai, dan Jimbron. Seperti latar yang menjadi tempat aksi kejar-kejaran antara ketiga bocah itu dengan Pak Mustar yang muntab.
            Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan. (Sang Pemimpi, Mozaik 1; What a Wonderful World, Hal. 4)
            Keadaan masyarakat Belitong yang pada masa itu yang dilanda kemisikinan parah tak luput dari sergapan Andrea. Sang penulis sekaligus ‘Sang Pemimpi’ seakan membuat kita ikut merasakan perih yang dirasakan anak-anak muda Belitong yang harus mengais rezeki sejak usia dini. Hal itu pun dapat dilihiat dari kutipan berikut,
            Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagan tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah garden truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena  itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri Handayani. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 68)
            Latar fisik yang mengacu pada wujud fisikal dalam Sang Pemimpi digambarkan sampai pada detil-detilnya. Andrea sekali lagi memerangkap kita dalam cara penggambarannya yang ajaib. Kita pun seakan ikut berada di tempat tersebut.
            Sore yang indah. Perkebunan kelapa sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala. Pada momen yang spektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai. (Sang Pemimpi, Mozaik 4: Biola Nurmi, Hal. 37)
6.      Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan moral yang disebar dari novel Sang Pemimpi sebagian besar mengungkapkan ide-ide yang terpatri di dalam lobus Andrea dan disebarluaskan kepada Para Pemimpi di seluruh penjuru dunia. Dengan tegas, pemuda berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia ini menghimbau bahwa mimpi yang bersarang di dalam sektor tergelap alam bawah sadarmu tak akan selamanya mengendap di sana. Laksanakan mimpimu!
Keadaan yang tidak mendukung untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan tidak menjadi masalah. Tekadmu akan mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Yakinlah akan hal itu, begitu kira-kiranya hal yang ingin disampaikan Andrea kepada kita semua. Kemudian, ketika kau mulai menyerah pada hidup yang tidak adil, jangan pernah melakukan itu, sekalipun tidak. Kelak kau akan menyerap sesal di akhirnya jika kau tetap menyerah.
Kesusahan yang mendera di tiap jengkal kehidupan Arai dan Ikal tidak serta merta melemahkan mereka. Justru, berangkat dari situ keduanya tumbuh menjadi pribadi yang tak terkalahkan. Kebahagiaan yang seperti setetes kecap pada seutas tali jemuran bagi mereka seperti seribu truk gandeng yang menumpahkan pasir secara bersamaan. Di tengah-tengah perihnya hidup, keduanya pun mengajarkan kita agar selalu bersyukur. Arai, bocah lelaki yatim-piatu yang murni dan suci hatinya, Simpai Keramat nan memesona. Ikal, si rambut ikal yang lurus pikirannya, mengajarkan kita betapa dia sangat mencintai sepupu angkat dan orangtua tercinta. Jimbron, si invalid yang polos namun memiliki benih-benih kebahagian yang tersemat jauh di dalam lubuk hatinya, tak gentar untuk membuat orang-orang di sampingya bahagia.
Andrea sungguh berhasil meneguhkan hati para pembaca akan suatu mimpi yang tidak boleh diimpikan namun harus diwujudkan. Pesan yang disampaikan Andrea secara eksplisit dan verbal pun laksana camilan sehari-hari yang mudah untuk ditelan para pembaca bulat-bulat tanpa perlu bersusah-susah untuk mencerna.
7.      Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.
Sudut pandang yang dipakai Andrea pada novel ini adalah sudut pandang orang pertama sentral (First Person Central) di mana semua kejadian dan peristiwa yang terdapat di dalam ceritanya berasal dari kacamata tokoh aku sebagai tokoh utama di sini (tipe pencerita intern). Seperti dalam pengertiaannya, sudut pandang orang pertama sentral ini secara tidak langsung adalah pengarang sendiri yang masuk ke dalam cerita dan menceritakan si tokoh utama selayaknya itu adalah dirinya.
 Pemakaian sudut pandang orang pertama sentral ini, dipakai untuk menguatkan karakter tokoh utama aku, sebagai seorang Ikal yang berusaha merangkak menggapai mimpinya. Jadi, semua konflik yang ada, karekter-karakter dari tokoh lain, dan jalannya cerita berada dalam pandangan tokoh aku. Tekanan pada tokoh utama ini sengaja diberikan Andrea untuk mengungkapkan bagaimana Ikal melihat kehidupan dengan caranya sendiri. Andrea memosisikan dirinya sebagai ‘Aku’ dalam sebagian besar karyanya, termasuk Sang Pemimpi. Sudut pandang pribadi pengarang yang menggunakan sudut pandang tokoh utama, mengesankan bahwa si Ikal maha tahu segalanya.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. (Sang Pemimpi, Mozaik 1: What a Wonderful World, Hal. 2)
8.      Gaya Bahasa
Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminuddin, 1984:71 dalam Siswanto, 2007:159)
Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi – sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula – dengan gaya realis bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur, namun amat memikat.
Daya tarik yang menonjol dari Sang Pemimpi terletak pada cara Andrea melempar kemungkinan yang amat tak terhingga dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Setiap kalimatnya potensial. Andrea seperti tak pernah kelangkaan ide dalam melihat fenomena di sekitarnya dari sudut yang tak terjamah orang lain dan menuangkannya ke dalam tulisan bergaya realis ala si Belitong ini. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demkikian memesona, tragedi yang diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Benar-benar seorang seniman kata-kata. Andrea pun mampu menyajikan cerita dari kolam kenangannya menjadi menarik, sangat menarik, kuat deskripsinya, filmis.
Adapun dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Dengan menyertakan guyonan bernada filosofis, intelejensia yang menjerang namun membumi, serta sekelumit satirenya yang ringan, kita seperti diajak bernostalgia dan masuk ke dalam dunia Ikal dan Arai yang fantastis.
Membaca novel Sang Pemimpi, kita tak hanya menikmati kumpulan paragraf berkualitas yang epik. Sesungguhnya, kita juga mendamba sebuah karya dari seorang Andrea Hirata yang menjadi mata rantai tak terputus menuju ke maha karyanya.
B.     Unsur Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian Sastra
Unsur ekstrinsik adalah struktur luar yang terdiri dari segala macam unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya tersebut, misalnya faktor ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, agama dan tata nilai yang dianut masyarakat.
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat.
Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.
1.      Unsur Ekstrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi
Dalam novel Sang Pemimpi, saya pun menemukan beberapa faktor yang menjadi bagian dari struktur luar novel ini, yakni di antaranya:
a.      Nilai Moral
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya juga disebut sebagai nilai. Moral menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila. Moral merupakan ajaran kesusilaan yangg dapat ditarik dari suatu cerita. Berbicara mengenai nilai moral yang terkandung dalam Sang Pemimpi tidak cukup satu halaman saja. Banyak sekali nilai moral yang teruntai di dalam setiap kisah yang diularkan dengan apik oleh Andrea di dalam novel tersebut.
Ikal dikisahkan sebagai remaja tanggung yang dipaksa untuk menantang jaman dengan gagah. Namun di balik semua itu, Ikal hanyalah manusia biasa. Sikapnya memang santun, kalem, dan penurut meskipun hidupnya sudah ditempa oleh kehidupan yang keras.
Tidak melupakan normanya sebagai anak, Ikal pun menaruh rasa hormat dan sayang yang besar kepada sang ayah. Terbukti dengan sikapnya ketika menghadapi sang ayah saat pengambilan raport.
Selesai menerima rapor, ayahku keluar dari aula dengan tenang dan dapat kutangkap keharuan sekaligus kebanggan yang sangat besar dalam dirinya. Beliau menemui kami, tapi tetap diam. Dan inilah momen yang paling kutunggu. Momen itu hanya sekilas, yaitu ketika beliau bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan baginya. Dan kami ingin, ingin sekali dengan penuh hati menjadi pahlawan bagi beliau. Lalu ayahku tersenyum bangga, hanya tersenyum, tak ada sepatah pun kata. Senyumnya itu seperti ucapan terima kasih yang diucapkan melalui senyum. Beliau menepuk-nepuk pundak kami, mengucapkan “Assalamu’alaikum” dengan pelan sekali, lalu beranjak pulang. Mengayuh sepedanya lagi, 30 kilometer. Kupandangi punggung ayahku sampai jauh. Sepedanya berkelak-kelok di atas jalan pasir. Betapa aku mencintai laki-laki pendiam itu. Setiap dua minggu aku bertemu dengannya, tapi setiap hari aku merindukannya. (Sang Pemimpi, Mozaik 8: Baju Safari Ayahku, Hal. 93)
Selain itu, dalam novel ini pun Andrea juga menggambarkan betapa kerasnya hantaman yang mesti dilalui Ikal ketika mendapatkan godaan untuk menonton bioskop yang jelas-jelas dilarang oleh Pak Mustar. Jelas saja, Pak Mustar bilang begitu karena memang adanya seperti itu: mayoritas film yang diputar adalah film Jakarta yang berisi plot cerita murahan yang gemar mengumbar nafsu birahi.
Sangat berbahaya …. Sangat berbahaya dan menjatuhkan martabatmu, anak-anak Melayu bangsa pujangga, jika menonton film yang dengan melihat nama pemainnya saja kita sudah dapat menduga ceritanya.
Film tak pakai otak! Akting tak tahu malu!! Tak ada mutunya sama sekali. Lihatlah posternya itu! Aurat diumbar ke mana-mana. Film seperti itu akan merusak jiwamu.
Pakai waktumu untuk belajar!! Awas!! Sempat tertangkap tangan kau nonton di situ, rasakan akibatnya!!
Maka tak ada siswa SMA Negeri Bukan Main yang berani dekat-dekat bioskop itu. (Sang pemimpi, Mozaik 9: Bioskop, Hal. 96)
Adapun dari pernyataan Pak Mustar di atas dapat ditangkap bahwa anak sekolahan yang menonton bioskop sama saja melakukan perbuatan amoral.
b.      Nilai Sosial
Sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkenaan dengan masyarakat. yang dimaksud dengan nilai sosial yang menjadi struktur luar dari novel Sang Pemimpi adalah hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat Belitong itu sendiri.
Seperti sebuah tatanan masyarakat yang ada di tanah Melayu itu. Nilai-nilai yang hakikatnya abstrak namun merajalela di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di Belitong. Andrea pun mencoba mengangkat itu melalui sebuah pencitraan yang lugas dan membumi. Salah satu contohnya, seperti prosesi pengangkatan kepala kampung yang terkesan rancu dan tidak masuk akal orang kota.
Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah prosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jika hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan sebagai kepala kampung. Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. (Sang Pemimpi, Mozaik 5: Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 57)
Andrea sekali lagi memang pandai dan ajaib. Pria belitong juga menonjolkan sisi kemiskinan yang saat itu seperti kulit kedua orang Melayu melalui lintas imaji yang agak melankoli namun tidak sampai mengurangi esensi tersebut. Seperti bagaimana seorang Arai yang membantu menyisihkan kesusahan barang satu milimiter dari pundak Mak Cik Maryamah dan Nurmi. Andrea mampu menyajikan sebuah plot-twist yang sangat manis pada Mozaik 4: Biola Nurmi.
Aku masih tak mengerti maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumah Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayupterdengar Nurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tdi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya.
“Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!” seru Arai bersemangat. (Sang Pemimpi, Mozaik 4: Biola Nurmi, Hal. 51)
Pekerjaan adalah strata sosial. Begitulah kiranya apa yang Andrea umumkan melalui novelnya. Bagaimana sebuah pekerjaan dapat meningkatkan status sosial. Sewaktu Ikal masih bekerja sebagai kuli ngambat tentu hasil yang didapat ajuh berbeda ketika dia kuliah dan bekerja di kantor pos di Jakarta.
Selama pengalamanku bekerja, sejak kelas dua SMP, menjadi pegawai Pos adalah puncak karierku. Meskipun hanya sebagai tukang sortir, dan ini tak kusukai, tapi aku adalah seorang pegawai jawatan! Tahukah, Kawan, artinya itu? Itu artinya aku adalah seorang amtenar! Seorang Komis! Susah kupejamkan mataku malam-malam memikirkan kehebatan lompatan karierku dari kuli ngambat beberapa bulan yang lalu sekarang jadi amtenar yang berangkat kerja dengan baju seragam. (Sang Pemimpi, Mozaik 17: Wewenang Ilmiah, Hal. 243)
Kepedulian terhadap peperangan yang saat itu terjadi Afghanistan juga diungkit oleh Andrea. Bagaimana sebuah koinsidensi dapat terjadi tepat di mana ia dan kedua sahabatnya dikejar oleh Pak Mustar.
Terbunuhnya komandan resimen utara Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zona utara dari penaklukan Tentara Merah, sekaligus pemicu hengkangnya Rusia dari Afghanistan tahun berikutnya. ….
Ketika menonton berita itu tak terbesit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yang terjadi pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mustat sampai ke gudang peti es: 15 Agustus 1988, akan menjadi potongan mozaik hidup kami. (Sang Pemimpi, Mozaik 7: Afghanistan, Hal. 85)
c.       Nilai Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Melalui agama, manusia juga dapat mempertahankan keutuhan dalam hidup bermasyarakat sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Berikut ini salah satu contoh data yang mengandung nilai pendidikan religius.
Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun bermaksud mengubah keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid. (Sang Pemimpi, Mozaik 5: Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 61)
Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan religius. Ini terlihat pada kalimat kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Kalimat tersebut mencerminkan tokoh Jimbron yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupu Jimbron hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penanaman nilai religius yang tinggi dalam dirinya mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh pada sesama. Manusia menjadi saling mencintai dan menghormati. Dengan demikian, manusia bisa hidup harmonis dalam hubungannnya dengan Tuhan, sesama manusia, dan makhluk lain. Pendeta Geovany dalam kutipan di atas adalah sosok yang penyayang dan menghormati manusia lain yang berbeda agama. Hal ini terbukti bahwa Jimbron sebagai anak angkatnya justru setiap harinya diantar mengaji dan tidak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau bahkan tidak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke Masjid.
d.      Nilai Pendidikan Budaya
Nilai Pendidikan Budaya Suatu nilai budaya dapat dilihat melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan bendabenda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai seperti dalam kutipan di bawah ini.
Dia tak menjawab, hanya menatap kami dari atas ke bawah, lalu menarik lagi tas orang lain. Bagi orang Melayu, tak menjawab berarti setuju. Kami meloncat ke dalam bus. Bus meluncur keluar terminal. Klakson sana-sini, berkelak-kelok tanpa ampun, mengumpat-umpat, dan tancap gas. (Sang Pemimpi, Mozaik 16: Ciputat, Hal. 216)
Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan budaya. Ini terlihat dalam kalimat Bagi orang Melayu, tak menjawab berarti setuju. Kalimat tersebut menggambarkan suatu perilaku yang telah membudaya di daerah tersebut. Bagi orang Melayu, jika ada orang yang bertanya dan orang yang ditanyai itu tidak menjawab berarti orang tersebut setuju dengan apa yang dikatakan. Hal ini merupakan suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas orang Melayu.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Sang Pemimpi adalah nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya. Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi digambarkan melalui sikap-sikap tokoh dalam taat beragama dan beribadah. Nilai pendidikan moral digambarkan melalui perilaku baik buruk dari tokoh-tokoh dalam novel.
Selanjutnya, nilai pendidikan sosial dalam novel Sang Pemimpi disampaikan melalui cerminan kehidupan para tokoh dan nilai pendidikan budaya dalam novel Sang Pemimpi digambarkan melalui perilaku dan benda atau produk masyarakat Melayu.
Nilai pendidikan yang paling banyak terkandung dalam novel Sang Pemimpi adalah nilai pendidikan sosial. Hal ini disebabkan oleh pengarang ingin pembaca khususnya masyarakat Indonesia sadar akan kepedulian mereka terhadap sesama khusunya dalam hal pendidikan.
Berdasarkan rumusan masalah kedua dapat disimpulkan bahwa bentuk penyampaian nilainilai pendidikan dalam novel Sang Pemimpi ada dua macam, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Bentuk penyampaian nilai pendidikan yang paling tinggi adalah bentuk penyampaian secara langsung. Dalam hal ini, nilai-nilai pendidikan lebih banyak disampaikan secara langsung dikarenakan pengarang ingin mempermudah pembaca dalam memahami magsud dari cerita yang disampaikan.
Pada dasarnya karya sastra tidak hanya mengandung nilai hedonik (kesenangan) secara langsung bagi penikmatnya, tetapi karya sastra juga mengandung nilainilai pendidikan yang perlu dipertahankan. Dengan demikian, perlu adanya pemertahanan nilainilai pendidikan khususnya nilai pendiidkan sosial dalam penyusunan karya sastra. Selain itu, disarankan juga diadakan penelitian lebih lanjut terhadap novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dengan sudut permasalahan yang berbeda, misalnya dari segi nilai-nilai kehidupan, sehingga pemahaman pembaca terhadap pesan yang disampaikan pengarang dalam karyanya semakin dalam.



DAFTAR PUSTAKA
Hirata, Andrea. Juli, 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Belia.
e-Journal Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Volume : Vol: 2 No: 1 Tahun:2014 (diunduh pada 6 Juni 2015, 12:30 WIB)
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Tarigan Guntur H. 1985. Prinsip -prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Suyitno. Sastra. 1986. Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Fananie, Zainuddin. 1982. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar