yah, ini tugas laporan yang menurut gue cukup sedikit waktu yang gue habiskan dalam pengerjaannya. yah, dulu waktu tugas analisis puisi PKS I gue ngerjain itu dalam kurun waktu sebulan dan cuma ngehaislin lima lembar. sementara ini, dua hari berhasil nelurin sebelas lembar -_-
dan jujur, isi laporan ini adalah murni dari kuartet lobus gue. yah!! hebat sih menurut gue nih.hahaha -_-
well, cukup banyak cingcongnya lah, semoga laporan ini bermanfaat buat kalian semua!!
LAPORAN TUGAS ANALISIS NOVEL
MATA KULIAH PENGANTAR KAJIAN SASTRA II
SEMESTER II
“Analisis Unsur Intrinsik Dalam Novel Sang
Pemimpi Karya Andrea Hirata”
Oleh:
Ratnawati 2014070108
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
2015
Analisis Unsur
Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata
A. Unsur-unsur Intrinsik Novel
1.
Penokohan
dan Perwatakan
Andrea
memberikan sentuhan penokohan Ikal, Arai, dan Jimbron melalui penggambaran baik
secara analitik maupun dramatis. Karakter Ikal adalah bocah Belitong yang
lembut hatinya sehingga agak sensitif. Ikal sangat menyayangi kedua orang
tuanya, terlebih bapaknya. Sifat Ikal yang pendiam pun menurun dari sang bapak.
Hal tersebut dapat kita rasakan pada potongan narasi berikut:
Di
perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang
yang menimpa sepupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra,
memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk
berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi. Kami
hanya diam. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
Arai, saudara kandung jauh dari
tokoh Ikal adalah pemuda Belitong yang memiliki semangat tak berkesudahan. Dia
adalah seorang yang penuh inisiatif. Kita pun akan dibuat terpana oleh karisma
seorang Simpai Keramat yang
dimilikinya. Meskipun dirinya sudah mengalami kesengsaraan sejak kecil, hal itu
tidak membuatnya menjadi pribadi yang lemah. Arai justru tumbuh menjadi seorang
bocah yang tegar melebihi batas. Persepsi yang dimilikinya pun sangat sulit
ditebak.
Aku
tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian
berat sebagai Simpai Keramat. Aria
mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal.
Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku
yang mencuri-curi pandang ke arah kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah
buah saga. Melihatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum
dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. Air
mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. (Sang
Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 27)
Aku
tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter
purba ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. Ia justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.
(Sang Pemipi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 28)
Sebagai
seseorang yang dikenal memiliki inisiatif gila, Arai kerap menjerumuskan
sahabat-sahabatnya ke dalam kolam imajinasi tingkat dewanya. Tanpa atau
disadari oleh Ikal dan Jimbron, seorang Arai mampu membawa mereka berdua
terhanyut ke dalam ajakan persuasifnya.
Arai menatapku dan Jimbron dengan
kilatan bola mata yang mengandung niat berkonspirasi.
“Saudara-saudaraku tercinta ….
“Anak-anak Melayu bangsa pujangga,
senasib sepenanggungan ….
“Kita harus menemuinya!! Kita harus
nonton film ini!!”
(Sang
Pemimpi, Mozaik 9; Bioskop, Hal. 100)
Tokoh
Arai berbeda dengan Ikal yang terkesan lemah lembut. Karena hatinya yang
lembut, dibandingkan dengan Arai, itulah sebabnya Ikal lebih mudah menitikkan
air mata.
Sinar
matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir. Aku
tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan sedemikian
berat sebagai Simpai Keramat. Arai
mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal.
(Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)
Di samping itu, Ikal juga mudah
terpengaruh ajakan orang lain. Tak terkecuali bujukan Arai.
Aku
tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana
Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat
pada sang Simpai Keramat ini –
mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia
mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan
kami sudah mendarah daging. (Sang Pemimpi, Mozaik 4; Biola Nurmi, Hal. 41)
Tetapi di balik sifat picik Arai di
mata Ikal, sesungguhnya pahlawan yang kesiangan itu cocok disematkan kepada
Arai. Dia memiliki kebaikan yang tidak pernah kadaluwarsa dalam hatinya.
Sungguh, julukan Simpai Keramat yang
diembannya memang menjadi ikon mutlak mengapa Arai sangat ahli dalam memberikan
kebahagian tak terduga kepada sahabatnya. Itulah sebabnya, Ikal tak mampu
melawan pesona Arai dalam berpikir dan bertindak. Arai adalah sosok yang penuh
dengan kejutan.
Simpai
Keramat yang yatim piatu ini badannya
kumal dan bau. Kuku-kukunya hitam, potongan rambutnya tak keruan, digunting
sendiri di depan cermin dengan gaya asal tidak gondrong. Di lehernya melingkar
daki, tapi masya Allah, hatinya putih bercahaya, hatinya itu selalu hangat. Ia
orang yang selalu merasa bahagia karena dapat membahagiakan orang lain. Lalu
apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapannya padaku: Tanpa mimpi
dan semangat orang seperti kita akan mati. Ya,
tergeletak di atas selembar tikar purun, dengan seragam putih abu-abu yang
dipakai untuk sekolah dan bekerja, bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan,
yang tersisa untuknya memang hanya semangat dan mimpi-mimpi.
Aku ingin membahagiakan Arai. Aku
ingin berbuat sesuatu yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia
lakukan padaku. (Sang Pemimpi, Mozaik 14; When I Fall in Love, Hal. 185)
Tokoh
Arai dan Ikal yang berlawanan justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagai dua
kutub magnet yang saling tarik-menarik, kita tidak dapat memisahkan presensi
Arai dan Ikal. Tetapi, jangan lupakan Jimbron. Pemuda yatim-piatu bertubuh
tambun yang diasuh oleh seorang Pendeta Katolik. Jimbron tak lancar bicara. Ia
gagap, namun tak selalu gagap. Jimbron adalah seorang bocah yang polos dan
sangat terobsesi pada kuda.
Di
kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia
pernah melihatnya langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi
jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak
berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik
mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal
nama kuda Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar
bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis
kelaminnya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron
selain kuda. (Sang Pemimpi, Mozaik 5; Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 62)
Cerita
kuda Jimbron adalah tetesan air yang terus menerus menghunjam batu karang
kesabaranku. Dan setelah sekian tahun, siang ini batu karang itu retak,
beberapa tetes air lagi ia akan terbelah.
“
… Kuda Persia … kuda Afrika … kuda troya … diperkuda … kuda siluman … “
Aku kelelahan dan stres. Aku tak
tahan lagi dengan siksaan hikayat kuda. Semua kisah kuda harus dihentikan hari
ini, hari ini juga!! (Sang Pemimpi, Mozaik 11; Spiderman,
Hal. 130)
Pak
Mustar, banyak yang mengecap wakil kepala sekolah SMA Bukan Main ini sebagai
tokoh antagonis di Sang Pemimpi.
Andrea pun menggambarkan sosok Pak Mustara sebagai seorang guru yang ditakuti
segala lapisan murid dan disegani segala lapisan masyarakat. Metode pengajaran
yang dilakukan pun terkenal keras. Penegak peraturan nomor satu di SMA Bukan
Main.
Tetapi,
apakah kalian tahu? Di balik semua sikap keras Pak Mustar dan serapah
‘Berandal’-nya kepada para murid SMA Bukan Main yang membangkang, sesungguhnya
beliau merupakan sosok bapak yang perhatian. Namun caranya saja yang salah
diartikan hampir sebagian orang.
Suaranya berat penuh sesal. Ia
memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian,
hanya caranya saja yang keras.
“Kini kau terdepak jauh dari garda
depan??”
Ia menatapku geram. Marah, tak
habis mengerti, dan ada satu kilatan kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam
hatinya. Ia memandang jauh keluar jendela. Diam. Lalu ia berbalik menatapku,
suaranya tertahan, “Tahukah kau, Bujang?? Sepanjang waktu aku bermimpi anakku
duduk di kurdi garda depan itu … “
Aku terharu melihat mata Pak Mustar
berkaca-kaca. (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai
Lenggang, Hal. 148)
2.
Tema
Ide
yang mendasari hampir seluruh Mozaik dalam novel Sang Pemimpi adalah mimpi. Anak-anak Belitong menggantungkan mimpi
melalui tali-temali pendidikan. Mereka yang memiliki segudang motivasi
berduyun-duyun pergi ke sekolah untuk mengenyam bangku pendidikan. Segelintir
pemimpi Belitong itu pun tersisa tiga; Ikal, Arai, dan Jimbron.
Mimpi
bukan hanya sekedar pawana yang dibawa kala badai bergemuruh. Mimpi bukan
sekedar kerikil yang biasa kau injak di atas permukaan tanah yang berbatu.
Mimpi bukan sekedar angan yang terucap melalui bibir melainkan suatu keyakinan
yang bakal menjadi kenyataan. Mimpi yang menggantung di atas awan tak ubahnya
umpan agar dirimu melompat setinggi mungkin, melebihi kemampuanmu, melewati
garis ternyamanmu, untuk menggapainya.
Ikal,
Arai, dan Jimbron yakin bisa melanjutkan studi ke benua biru. Mereka pun
menepis jau-jauh kemustahilan dalam mimpi mereka. Walaupun di Mozaik 12; Sungai Lenggang, Ikal sempat
merasa pesimis namun siapa sangka, dia pun cepat bangkit dari keterpurukannya.
“Meskipun
kaupenuhi celengan sebesar kuda sungguhan, sahabatku Jimbron, tak ‘kan pernah uang-uang
receh itu mampu membiayaimu sekolah ke Prancis …, demikian kata hatiku. Dan dengarlah itu, Kawan. Siratan kalimat sinis
dari orang yang pesimis. Ia adalah hantu yang beracun. Sikap itu
mengekstrapolasi sebuah kurva yang turun ke bawah dan akan terus turun ke bawah
dan telah membuatku menjadi pribadi yang gelap dan picik. Seyogyanya sikap
buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis, lalu iri, lalu
dengki, lalu mingkin fitnah. … (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai Lenggang,
Hal. 147)
Di
novel sebelumnya, Laskar Pelangi,
kita disuguhkan sebuah kronik anak-anak Belitong yang bersekolah di SD
Muhammadiyah. Begitu pun dengan Sang
Pemimpi. Ketiga pemuda Melayu itu memaparkan bagaimana untaian kisah
perjuangan menempuh pendidikan di atas rel kemiskinan yang permanen di Tanah
Belitong pada zaman itu.
Karena di kampung orantuaku tak ada
SMA, setelah tamat SMP, aku, Arai, dan
Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN
Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan
periuk belangnya, termasuk ayahku, terancam kolpas. Gelombang besar karyawan
di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa
berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua.
(Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 67)
3.
Alur
(Plot)
Alur
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interleasi
fungsional yang menandai urutan bagian-bagian dalam kesatuan. Sehingga alur merupakan
kerangka utama cerita.
Andrea
mampu membawa kita mengikuti alur ceritanya yang maju dan mundur. Pria
kelahiran Belitong ini pun sukses membawa kita menikmati berbagai kerangka
cerita dramatis namun sederhana yang dibuatnya. Hal itu terbukti dengan antara
satu mozaik dengan mozaik lainnya yang menampilkan tahapan peristiwa yang
menarik. Meskipun, alur yang dipakai tidak maju, ajaibnya semua mozaik yang
terdapat pada Sang Pemimpi memiliki magis tersendiri yang menghasilkan kesan
antara mozaik kesatu akan berlanjut di mozaik kedua,dst.
4.
Latar
Suasana
perkampungan Melayu pada tahun 1980-an kental sekali dalam buku kedua dari
tetralogi Laskar Pelangi ini. Pemaparan
keadaan ala Andrea yang lugas dan dramatis pun sukses membawa kita seperti ikut
ke dalam petualangan Ikal, Arai, dan Jimbron. Seperti latar yang menjadi tempat
aksi kejar-kejaran antara ketiga bocah itu dengan Pak Mustar yang muntab.
Semuanya
memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami
bisa terperangkap di gudang peti es ini. aku mengawasi sekeliling. Pancaran
matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih
berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang
pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai.
Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak
berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau
Belitong, sampai Maret tahun depan. (Sang Pemimpi, Mozaik 1; What a Wonderful World, Hal. 4)
Keadaan masyarakat Belitong yang
pada masa itu yang dilanda kemisikinan parah tak luput dari sergapan Andrea.
Sang penulis sekaligus ‘Sang Pemimpi’ seakan membuat kita ikut merasakan perih
yang dirasakan anak-anak muda Belitong yang harus mengais rezeki sejak usia
dini. Hal itu pun dapat dilihiat dari kutipan berikut,
Anak-anak
yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam
lumpur, mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah,
mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat
nyalinya bekerja di bagan tengah
laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga.
Mereka yang kuat tenaga dan nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk
mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah garden truk, melingkar
seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena sesungguhnya
setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas,
dan galena itu adalah harkat dirinya
sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang
untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang
kongkalikong. Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri
Handayani. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum,
Hal. 68)
Latar fisik yang mengacu pada wujud
fisikal dalam Sang Pemimpi
digambarkan sampai pada detil-detilnya. Andrea sekali lagi memerangkap kita
dalam cara penggambarannya yang ajaib. Kita pun seakan ikut berada di tempat
tersebut.
Sore
yang indah. Perkebunan kelapa sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami
seperti garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan
fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya
menyemburkan lazuardi merah menyala. Pada momen yang spektakuler itu aku tengah
membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai. (Sang Pemimpi,
Mozaik 4: Biola Nurmi, Hal. 37)
5. Amanat
Amanat
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca. Pesan moral yang disebar dari novel Sang Pemimpi sebagian besar
mengungkapkan ide-ide yang terpatri di dalam lobus Andrea dan disebarluaskan
kepada Para Pemimpi di seluruh penjuru dunia. Dengan tegas, pemuda
berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia ini menghimbau bahwa mimpi
yang bersarang di dalam sektor tergelap alam bawah sadarmu tak akan selamanya
mengendap di sana. Laksanakan mimpimu!
Keadaan
yang tidak mendukung untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan
tidak menjadi masalah. Tekadmu akan mengalahkan segala rintangan yang
menghadang. Yakinlah akan hal itu, begitu kira-kiranya hal yang ingin
disampaikan Andrea kepada kita semua. Kemudian, ketika kau mulai menyerah pada
hidup yang tidak adil, jangan pernah melakukan itu, sekalipun tidak. Kelak kau
akan menyerap sesal di akhirnya jika kau tetap menyerah.
Kesusahan
yang mendera di tiap jengkal kehidupan Arai dan Ikal tidak serta merta
melemahkan mereka. Justru, berangkat dari situ keduanya tumbuh menjadi pribadi
yang tak terkalahkan. Kebahagiaan yang seperti setetes kecap pada seutas tali
jemuran bagi mereka seperti seribu truk gandeng yang menumpahkan pasir secara
bersamaan. Di tengah-tengah perihnya hidup, keduanya pun mengajarkan kita agar
selalu bersyukur. Arai, bocah lelaki yatim-piatu yang murni dan suci hatinya, Simpai Keramat nan memesona. Ikal, si
rambut ikal yang lurus pikirannya, mengajarkan kita betapa dia sangat mencintai
sepupu angkat dan orangtua tercinta. Jimbron, si invalid yang polos namun
memiliki benih-benih kebahagian yang tersemat jauh di dalam lubuk hatinya, tak
gentar untuk membuat orang-orang di sampingya bahagia.
Andrea
sungguh berhasil meneguhkan hati para pembaca akan suatu mimpi yang tidak boleh
diimpikan namun harus diwujudkan. Pesan yang disampaikan Andrea secara
eksplisit dan verbal pun laksana camilan sehari-hari yang mudah untuk ditelan
para pembaca bulat-bulat tanpa perlu bersusah-susah untuk mencerna.
6. Sudut
Pandang (Point of View)
Sudut
pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah
sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya
sendiri.
Andrea
memosisikan dirinya sebagai ‘Aku’ dalam sebagian besar karyanya, termasuk Sang
Pemimpi. Sudut pandang pribadi pengarang yang menggunakan sudut pandang tokoh
utama, mengesankan bahwa si Ikal maha tahu segalanya.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun
seumpama punchbag yang
dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti
es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti
amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. (Sang
Pemimpi, Mozaik 1: What a Wonderful World,
Hal. 2)
7. Gaya
Bahasa
Gaya
adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminuddin, 1984:71 dalam
Siswanto, 2007:159)
Andrea
Hirata, out of the blue, tak dikenal
sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung
menulis tetralogi – sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula – dengan
gaya realis bertabur metafora yang
disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia,
sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur, namun amat memikat.
Daya
tarik yang menonjol dari Sang Pemimpi
terletak pada cara Andrea melempar kemungkinan yang amat tak terhingga dari
eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu
mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah
cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi
buku tersendiri. Setiap kalimatnya potensial. Andrea seperti tak pernah
kelangkaan ide dalam melihat fenomena di sekitarnya dari sudut yang tak
terjamah orang lain dan menuangkannya ke dalam tulisan bergaya realis ala si Belitong ini. Ironi
diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demkikian memesona, tragedi yang diparodikan, ia
menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Benar-benar seorang seniman
kata-kata. Andrea pun mampu menyajikan cerita dari kolam kenangannya menjadi
menarik, sangat menarik, kuat deskripsinya, filmis.
Adapun
dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan
stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Dengan menyertakan
guyonan bernada filosofis, intelejensia yang menjerang namun membumi, serta
sekelumit satirenya yang ringan, kita seperti diajak bernostalgia dan masuk ke
dalam dunia Ikal dan Arai yang fantastis.
Membaca
novel Sang Pemimpi, kita tak hanya
menikmati kumpulan paragraf berkualitas yang epik. Sesungguhnya, kita juga
mendamba sebuah karya dari seorang Andrea Hirata yang menjadi mata rantai tak
terputus menuju ke maha karyanya.
Sountrack lagu nya apa namanya?
BalasHapusBagussountracknya
judulnya Break Even yang nyanyi The Script
Hapusmana nih min (Foreshadowing)PEMBAYANGAN PRISTIWA YANG AKAN TERJADI. ane masi kurang di poin itu aja.. oh ya min itu risensinya kurang lengkap lah minn.. guru ane gak mau nerima yang kayak gituan....
BalasHapuskalau kurang lengkap tambahin sendiri ya :)
Hapuslagian saya ngga nyuruh kamu untuk nunjukin ini ke guru kamu kan? kalau mau lengkap ya jangan copast dari sini, Mas. terimakasih~