Senin, 13 April 2015

Analisis Unsur Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata

yah, ini tugas laporan yang menurut gue cukup sedikit waktu yang gue habiskan dalam pengerjaannya. yah, dulu waktu tugas analisis puisi PKS I gue ngerjain itu dalam kurun waktu sebulan dan cuma ngehaislin lima lembar. sementara ini, dua hari berhasil nelurin sebelas lembar -_- 
dan jujur, isi laporan ini adalah murni dari kuartet lobus gue. yah!! hebat sih menurut gue nih.hahaha -_-

well, cukup banyak cingcongnya lah, semoga laporan ini bermanfaat buat kalian semua!!

LAPORAN TUGAS ANALISIS NOVEL
MATA KULIAH PENGANTAR KAJIAN SASTRA II
SEMESTER II

 “Analisis Unsur Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”



Oleh:
Ratnawati             2014070108

JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG

2015


Analisis Unsur Intrinsik Dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata

A. Unsur-unsur Intrinsik Novel

1.      Penokohan dan Perwatakan
Andrea memberikan sentuhan penokohan Ikal, Arai, dan Jimbron melalui penggambaran baik secara analitik maupun dramatis. Karakter Ikal adalah bocah Belitong yang lembut hatinya sehingga agak sensitif. Ikal sangat menyayangi kedua orang tuanya, terlebih bapaknya. Sifat Ikal yang pendiam pun menurun dari sang bapak. Hal tersebut dapat kita rasakan pada potongan narasi berikut:

            Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi. Kami hanya diam. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)

            Arai, saudara kandung jauh dari tokoh Ikal adalah pemuda Belitong yang memiliki semangat tak berkesudahan. Dia adalah seorang yang penuh inisiatif. Kita pun akan dibuat terpana oleh karisma seorang Simpai Keramat yang dimilikinya. Meskipun dirinya sudah mengalami kesengsaraan sejak kecil, hal itu tidak membuatnya menjadi pribadi yang lemah. Arai justru tumbuh menjadi seorang bocah yang tegar melebihi batas. Persepsi yang dimilikinya pun sangat sulit ditebak.

            Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat. Aria mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yang mencuri-curi pandang ke arah kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Melihatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 27)

            Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. Ia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak. (Sang Pemipi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 28)

Sebagai seseorang yang dikenal memiliki inisiatif gila, Arai kerap menjerumuskan sahabat-sahabatnya ke dalam kolam imajinasi tingkat dewanya. Tanpa atau disadari oleh Ikal dan Jimbron, seorang Arai mampu membawa mereka berdua terhanyut ke dalam ajakan persuasifnya.

Arai menatapku dan Jimbron dengan kilatan bola mata yang mengandung niat berkonspirasi.
“Saudara-saudaraku tercinta ….
“Anak-anak Melayu bangsa pujangga, senasib sepenanggungan ….
“Kita harus menemuinya!! Kita harus nonton film ini!!”
(Sang Pemimpi, Mozaik 9; Bioskop, Hal. 100)

Tokoh Arai berbeda dengan Ikal yang terkesan lemah lembut. Karena hatinya yang lembut, dibandingkan dengan Arai, itulah sebabnya Ikal lebih mudah menitikkan air mata.

            Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan sedemikian berat sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. (Sang Pemimpi, Mozaik 2; Simpai Keramat, Hal. 26)

            Di samping itu, Ikal juga mudah terpengaruh ajakan orang lain. Tak terkecuali bujukan Arai.

            Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini – mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persengkokolan kami sudah mendarah daging. (Sang Pemimpi, Mozaik 4; Biola Nurmi, Hal. 41)

            Tetapi di balik sifat picik Arai di mata Ikal, sesungguhnya pahlawan yang kesiangan itu cocok disematkan kepada Arai. Dia memiliki kebaikan yang tidak pernah kadaluwarsa dalam hatinya. Sungguh, julukan Simpai Keramat yang diembannya memang menjadi ikon mutlak mengapa Arai sangat ahli dalam memberikan kebahagian tak terduga kepada sahabatnya. Itulah sebabnya, Ikal tak mampu melawan pesona Arai dalam berpikir dan bertindak. Arai adalah sosok yang penuh dengan kejutan.

Simpai Keramat yang yatim piatu ini badannya kumal dan bau. Kuku-kukunya hitam, potongan rambutnya tak keruan, digunting sendiri di depan cermin dengan gaya asal tidak gondrong. Di lehernya melingkar daki, tapi masya Allah, hatinya putih bercahaya, hatinya itu selalu hangat. Ia orang yang selalu merasa bahagia karena dapat membahagiakan orang lain. Lalu apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapannya padaku: Tanpa mimpi dan semangat orang seperti kita akan mati. Ya, tergeletak di atas selembar tikar purun, dengan seragam putih abu-abu yang dipakai untuk sekolah dan bekerja, bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan, yang tersisa untuknya memang hanya semangat dan mimpi-mimpi.

Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia lakukan padaku. (Sang Pemimpi, Mozaik 14; When I Fall in Love, Hal. 185)
Tokoh Arai dan Ikal yang berlawanan justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagai dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, kita tidak dapat memisahkan presensi Arai dan Ikal. Tetapi, jangan lupakan Jimbron. Pemuda yatim-piatu bertubuh tambun yang diasuh oleh seorang Pendeta Katolik. Jimbron tak lancar bicara. Ia gagap, namun tak selalu gagap. Jimbron adalah seorang bocah yang polos dan sangat terobsesi pada kuda.

            Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu teknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis kelaminnya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. (Sang Pemimpi, Mozaik 5; Tuhan Tahu, tapi Menunggu, Hal. 62)

            Cerita kuda Jimbron adalah tetesan air yang terus menerus menghunjam batu karang kesabaranku. Dan setelah sekian tahun, siang ini batu karang itu retak, beberapa tetes air lagi ia akan terbelah.

            “ … Kuda Persia … kuda Afrika … kuda troya … diperkuda … kuda siluman … “

Aku kelelahan dan stres. Aku tak tahan lagi dengan siksaan hikayat kuda. Semua kisah kuda harus dihentikan hari ini, hari ini juga!! (Sang Pemimpi, Mozaik 11; Spiderman, Hal. 130)

Pak Mustar, banyak yang mengecap wakil kepala sekolah SMA Bukan Main ini sebagai tokoh antagonis di Sang Pemimpi. Andrea pun menggambarkan sosok Pak Mustara sebagai seorang guru yang ditakuti segala lapisan murid dan disegani segala lapisan masyarakat. Metode pengajaran yang dilakukan pun terkenal keras. Penegak peraturan nomor satu di SMA Bukan Main.

Tetapi, apakah kalian tahu? Di balik semua sikap keras Pak Mustar dan serapah ‘Berandal’-nya kepada para murid SMA Bukan Main yang membangkang, sesungguhnya beliau merupakan sosok bapak yang perhatian. Namun caranya saja yang salah diartikan hampir sebagian orang.

Suaranya berat penuh sesal. Ia memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian, hanya caranya saja yang keras.

“Kini kau terdepak jauh dari garda depan??”

Ia menatapku geram. Marah, tak habis mengerti, dan ada satu kilatan kecewa, kecewa yang sakit jauh di dalam hatinya. Ia memandang jauh keluar jendela. Diam. Lalu ia berbalik menatapku, suaranya tertahan, “Tahukah kau, Bujang?? Sepanjang waktu aku bermimpi anakku duduk di kurdi garda depan itu … “

Aku terharu melihat mata Pak Mustar berkaca-kaca. (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai Lenggang, Hal. 148)

2.      Tema
Ide yang mendasari hampir seluruh Mozaik dalam novel Sang Pemimpi adalah mimpi. Anak-anak Belitong menggantungkan mimpi melalui tali-temali pendidikan. Mereka yang memiliki segudang motivasi berduyun-duyun pergi ke sekolah untuk mengenyam bangku pendidikan. Segelintir pemimpi Belitong itu pun tersisa tiga; Ikal, Arai, dan Jimbron.

Mimpi bukan hanya sekedar pawana yang dibawa kala badai bergemuruh. Mimpi bukan sekedar kerikil yang biasa kau injak di atas permukaan tanah yang berbatu. Mimpi bukan sekedar angan yang terucap melalui bibir melainkan suatu keyakinan yang bakal menjadi kenyataan. Mimpi yang menggantung di atas awan tak ubahnya umpan agar dirimu melompat setinggi mungkin, melebihi kemampuanmu, melewati garis ternyamanmu, untuk menggapainya.

Ikal, Arai, dan Jimbron yakin bisa melanjutkan studi ke benua biru. Mereka pun menepis jau-jauh kemustahilan dalam mimpi mereka. Walaupun di Mozaik 12; Sungai Lenggang, Ikal sempat merasa pesimis namun siapa sangka, dia pun cepat bangkit dari keterpurukannya.

“Meskipun kaupenuhi celengan sebesar kuda sungguhan, sahabatku Jimbron, tak ‘kan pernah uang-uang receh itu mampu membiayaimu sekolah ke Prancis …, demikian kata hatiku. Dan dengarlah itu, Kawan. Siratan kalimat sinis dari orang yang pesimis. Ia adalah hantu yang beracun. Sikap itu mengekstrapolasi sebuah kurva yang turun ke bawah dan akan terus turun ke bawah dan telah membuatku menjadi pribadi yang gelap dan picik. Seyogyanya sikap buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis, lalu iri, lalu dengki, lalu mingkin fitnah. … (Sang Pemimpi, Mozaik 12; Sungai Lenggang, Hal. 147)

Di novel sebelumnya, Laskar Pelangi, kita disuguhkan sebuah kronik anak-anak Belitong yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Begitu pun dengan Sang Pemimpi. Ketiga pemuda Melayu itu memaparkan bagaimana untaian kisah perjuangan menempuh pendidikan di atas rel kemiskinan yang permanen di Tanah Belitong pada zaman itu.

Karena di kampung orantuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP, aku,  Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belangnya, termasuk ayahku, terancam kolpas. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 67)

3.      Alur (Plot)
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interleasi fungsional yang menandai urutan bagian-bagian dalam kesatuan. Sehingga alur merupakan kerangka utama cerita.

Andrea mampu membawa kita mengikuti alur ceritanya yang maju dan mundur. Pria kelahiran Belitong ini pun sukses membawa kita menikmati berbagai kerangka cerita dramatis namun sederhana yang dibuatnya. Hal itu terbukti dengan antara satu mozaik dengan mozaik lainnya yang menampilkan tahapan peristiwa yang menarik. Meskipun, alur yang dipakai tidak maju, ajaibnya semua mozaik yang terdapat pada Sang Pemimpi memiliki magis tersendiri yang menghasilkan kesan antara mozaik kesatu akan berlanjut di mozaik kedua,dst.

4.      Latar
            Suasana perkampungan Melayu pada tahun 1980-an kental sekali dalam buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini. Pemaparan keadaan ala Andrea yang lugas dan dramatis pun sukses membawa kita seperti ikut ke dalam petualangan Ikal, Arai, dan Jimbron. Seperti latar yang menjadi tempat aksi kejar-kejaran antara ketiga bocah itu dengan Pak Mustar yang muntab.

            Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. aku mengawasi sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan. (Sang Pemimpi, Mozaik 1; What a Wonderful World, Hal. 4)

            Keadaan masyarakat Belitong yang pada masa itu yang dilanda kemisikinan parah tak luput dari sergapan Andrea. Sang penulis sekaligus ‘Sang Pemimpi’ seakan membuat kita ikut merasakan perih yang dirasakan anak-anak muda Belitong yang harus mengais rezeki sejak usia dini. Hal itu pun dapat dilihiat dari kutipan berikut,

            Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagan tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah garden truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena  itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri Handayani. (Sang Pemimpi, Mozaik 6; Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum, Hal. 68)

            Latar fisik yang mengacu pada wujud fisikal dalam Sang Pemimpi digambarkan sampai pada detil-detilnya. Andrea sekali lagi memerangkap kita dalam cara penggambarannya yang ajaib. Kita pun seakan ikut berada di tempat tersebut.

            Sore yang indah. Perkebunan kelapa sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala. Pada momen yang spektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai. (Sang Pemimpi, Mozaik 4: Biola Nurmi, Hal. 37)

5.      Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan moral yang disebar dari novel Sang Pemimpi sebagian besar mengungkapkan ide-ide yang terpatri di dalam lobus Andrea dan disebarluaskan kepada Para Pemimpi di seluruh penjuru dunia. Dengan tegas, pemuda berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia ini menghimbau bahwa mimpi yang bersarang di dalam sektor tergelap alam bawah sadarmu tak akan selamanya mengendap di sana. Laksanakan mimpimu!

Keadaan yang tidak mendukung untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan tidak menjadi masalah. Tekadmu akan mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Yakinlah akan hal itu, begitu kira-kiranya hal yang ingin disampaikan Andrea kepada kita semua. Kemudian, ketika kau mulai menyerah pada hidup yang tidak adil, jangan pernah melakukan itu, sekalipun tidak. Kelak kau akan menyerap sesal di akhirnya jika kau tetap menyerah.

Kesusahan yang mendera di tiap jengkal kehidupan Arai dan Ikal tidak serta merta melemahkan mereka. Justru, berangkat dari situ keduanya tumbuh menjadi pribadi yang tak terkalahkan. Kebahagiaan yang seperti setetes kecap pada seutas tali jemuran bagi mereka seperti seribu truk gandeng yang menumpahkan pasir secara bersamaan. Di tengah-tengah perihnya hidup, keduanya pun mengajarkan kita agar selalu bersyukur. Arai, bocah lelaki yatim-piatu yang murni dan suci hatinya, Simpai Keramat nan memesona. Ikal, si rambut ikal yang lurus pikirannya, mengajarkan kita betapa dia sangat mencintai sepupu angkat dan orangtua tercinta. Jimbron, si invalid yang polos namun memiliki benih-benih kebahagian yang tersemat jauh di dalam lubuk hatinya, tak gentar untuk membuat orang-orang di sampingya bahagia.

Andrea sungguh berhasil meneguhkan hati para pembaca akan suatu mimpi yang tidak boleh diimpikan namun harus diwujudkan. Pesan yang disampaikan Andrea secara eksplisit dan verbal pun laksana camilan sehari-hari yang mudah untuk ditelan para pembaca bulat-bulat tanpa perlu bersusah-susah untuk mencerna.

6.      Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.

Andrea memosisikan dirinya sebagai ‘Aku’ dalam sebagian besar karyanya, termasuk Sang Pemimpi. Sudut pandang pribadi pengarang yang menggunakan sudut pandang tokoh utama, mengesankan bahwa si Ikal maha tahu segalanya.

Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. (Sang Pemimpi, Mozaik 1: What a Wonderful World, Hal. 2)

7.      Gaya Bahasa
Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. (Aminuddin, 1984:71 dalam Siswanto, 2007:159)

Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi – sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula – dengan gaya realis bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur, namun amat memikat.

Daya tarik yang menonjol dari Sang Pemimpi terletak pada cara Andrea melempar kemungkinan yang amat tak terhingga dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Setiap kalimatnya potensial. Andrea seperti tak pernah kelangkaan ide dalam melihat fenomena di sekitarnya dari sudut yang tak terjamah orang lain dan menuangkannya ke dalam tulisan bergaya realis ala si Belitong ini. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demkikian memesona, tragedi yang diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Benar-benar seorang seniman kata-kata. Andrea pun mampu menyajikan cerita dari kolam kenangannya menjadi menarik, sangat menarik, kuat deskripsinya, filmis.

Adapun dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Dengan menyertakan guyonan bernada filosofis, intelejensia yang menjerang namun membumi, serta sekelumit satirenya yang ringan, kita seperti diajak bernostalgia dan masuk ke dalam dunia Ikal dan Arai yang fantastis.

Membaca novel Sang Pemimpi, kita tak hanya menikmati kumpulan paragraf berkualitas yang epik. Sesungguhnya, kita juga mendamba sebuah karya dari seorang Andrea Hirata yang menjadi mata rantai tak terputus menuju ke maha karyanya.



4 komentar:

  1. Sountrack lagu nya apa namanya?
    Bagussountracknya

    BalasHapus
  2. mana nih min (Foreshadowing)PEMBAYANGAN PRISTIWA YANG AKAN TERJADI. ane masi kurang di poin itu aja.. oh ya min itu risensinya kurang lengkap lah minn.. guru ane gak mau nerima yang kayak gituan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau kurang lengkap tambahin sendiri ya :)
      lagian saya ngga nyuruh kamu untuk nunjukin ini ke guru kamu kan? kalau mau lengkap ya jangan copast dari sini, Mas. terimakasih~

      Hapus