Kesedihan itu
datang dari mana?
Selepas saya
melunasi utang bacaan buku puisi Adimas Imanuel, pertanyaan hablur itu yang
muncul. Masuk akal, sih. Wong bacaannya
sendiri tidak lepas dari bagaimana aksara merayakan kesedihan. Begitu pula
rentetan kejadian yang menimpa saya sekeluarga. Adik yang masih bolak-balik
rumah sakit. Kemudian, saya yang tiba-tiba kecelakaan – pun celaka ini tidak
ada yang merencanakan. Biasanya yang in
charge untuk bolak-balik rumah sakit itu saya. Tapi, kaki kiri saya belum
bisa diajak lari sana sini karena masih ada luka jahitan. Sedih? Ngga usah
ditanya.
Begitu pula
dengan kantor tempat saya bekerja yang tidak memberi saya kesempatan untuk WFH.
Kebijakan yang harus tetap WFO di tengah pandemi begini, pun kaki saya yang
dibawa untuk jalan masih terseok-seok.
Dunia masih akan
menggila.
Saya sebagai
manusia malah dituntut untuk tetap waras. Edan.
Kalau boleh
jujur, kesedihan yang saya rasakan ini datangnya dari saya sendiri.