Senin, 12 Desember 2016

ANALISIS UNSUR INTRINSIK NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

hai sebut saja ini maraton postingan tentang tugas-tugas lampau yang telah saya kerjakan. sekedar berbagi saja. moga berkah~ hahahaha ^^


BAB I
A.    Sinopsis Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
Bumi Manusia (BM) merupakan salah satu mahakarya dari Pramoedya Ananta Toer dan novel pertama dalam tetralogi Pulau Buru. Kisah dalam BM berangkat dari abad ke-19 yang pada saat itu masa kolonialisme Belanda menduduki tonggak pemerintahan bumi pertiwi. Latar tempat peristiwa banyak terjadi di pulau Jawa tepatnya di desan Wonokromo, kota Surabaya, Jawa timur. Suasana zaman penjajahan yang menegangkan, mengharu biru, mencekam, dan memrihatinkan melatari penggalan demi penggalan cerita. Meskipun ada beberapa penggalan yang menyentuh naluri dari cinta kasih orangtua kepada anak dan bumbu-bumbu romansa percintaan antara Minke dan Annelies.
Ketika kita ingin belajar sastra dan sejarah secara bersamaan, roman ini bisa dijadikan referensi terbaik untuk ditelaah secara mendalam. Mengambil latar waktu Indonesia yang masih berada dalam ulat-ulat—kepompong—kupu-kupu, kita dibawa untuk mengarungi waktu bersamah kronik bocah lelaki, siswa H.B.S. berdarah Priyayi bernama Minke.
Modern dan Eropa menjadi kiblat akbar masyarakat baik itu Pribumi yang dipribumikan, Indo, atau Totok yang saat itu menjamur bagai bakteri tak terbantahkan. Dalam roman ini, diceritakan kisah dari peliknya keluarga Mellema yang menyimpan sejuta misteri yang tak tersentuh. Profil seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh yang dijadikan spotlight dan mampu mencengkram hati siapa saja—termasuk suaminya sendiri—seakan melukiskan srikandi Indonesia dengan keluwesan dan kecerdasannya. Di balik itu adapula Annelies, sosok rapuh bocah perempuan yang dimutiarakan oleh keluarganya dan menaruh hati pada pandangan pertama kepada Minke.
            Awal kisah pertemuan Minke dan Annelies dimulai dari kunjungan siswa H.B.S. tersebut ke Boerderij Buitenzorg. Akibat hasutan dari Robert Suurhorf, Minke pun mengiakan ajakannya untuk berkunjung ke rumah gundik tersebut.
            Lain halnya dengan Annelies yang diceritakan begitu sempurna dan polos, sosok pemuda berdarah ningrat yang diketahui merupakan putera dari seorang bupati ini, merupakan sosok pemuda Jawa yang mencoba untuk memahami ketimpangan dan keabriteran antara Bumi yang didiaminya dan Manusia yang menemaninya hidup.
            Pram menyuguhkan 20 Bab yang tidak hanya membahas Minke dan Nyai Ontosoroh melulu, melainkan segala sisi kehidupan yang tidak dikupas sebelumnya dan coba ia pertontonkan pada dunia.
Di sudut lain, kemasyhuran Eropa yang saat itu diagungkan di tanah Jawa menoreh sayatan yang dalam. Pertempuran untuk memenangkan hakikat manusia yang seutuhnya pun terpaksa mesti dijalani oleh Minke dan Mama—sebutan Nyai Ontosoroh dari Minke—untuk memerjuangkan  jiwa yang coba dirampas dari keduanya.
B.     Analisis Unsur-unsur Intrinsik Novel Bumi Manusia
1.      Tema
Tema adalah gagasan pokok pengarang yang mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran cerita.
Ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Scharbach dalam Aminuddin (1987:91)) yang nantinya akan membentuk kerangka dasar sebuah cerita disebut sebagai tema.
Tema adalah subyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam sebuah cerita (Shipley, 1962: 417). Dalam roman terlaris karangan Pram semasa dibui ini, Pram mengangkat sebuah kerangka cerita yang menimbulkan sejuta tafsir bagi siapa saja yang membacanya. Baik itu dari kalangan politik, edukasi, bahkan masyarakat awam pun akan meninggalkan kesan yang berbeda.
Perjuangan melawan penindasan kolonialisme, keluarga, persahabatan, kemanusiaan, dan nilai religi juga budaya pada masyarakat di zamannya menjadi garis besar yang dapat saya tangkap ketika dan sesudah membaca roman ini.
Perjuangan melawan penindasan kolonialisme terhadap masyarakat Pribumi memang kental terasa. Kolonialisme yang menjadi dominan kerap mengharamkan segala hal berbau Pribumi yang menjadi minoritas di bumi sendiri. Di mana seorang pribumi tanpa nama keluarga bisa dianggap hina; nama keluarga juga bisa menyinggung nilai budaya dari masyarakat Eropa yang saat itu mendiami bumi pertiwi. Dan hal ini bisa dibuktikan pada penggalan berikut:
“Robert Mellema,” ia memperkenalkan diri.
“Minke,” balasku.
Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka tak menyebutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti; barang kali dianggapnya aku anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan; tanpa nama keluarga adalah Indo hina, sama dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. (BM: 26)
Beberapa gagasan yang mendasari jalannya novel Bumi Manusia antara lain adalah tema kekeluargaan yang secara gamblang diwakilkan oleh keluarga Nyai Ontosoroh dengan kedua anaknya; Robert dan Annelies, Minke dengan Bundanya, bahkan Jean Marais dengan puteri kandungnya.
Menggunakan dialog yang dipertegas oleh pengarang sendiri, kita dapat menangkap tema kekeluargaan pada penggalan tersebut, seperti:
“Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagianan?” (BM: 109)
Penggalan di atas adalah dialog dari Nyai Ontosoroh kepada anaknya Annelies, ketika sedang berada di kamar. Dari kutipan di atas jelas sekali bahwa Nyai Ontosoroh menginginkan yang terbaik untuk anaknya, sebagaimana mesitnya orangtua berlaku untuk selalu mewujudkan kebahagiaan sang anak.
“Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang tuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu.” (BM: 194)
Dalam dialog yang dihantarkan Bunda kepada Minke saat dia kembali ke rumah menggambarkan kalau sebagai seorang ibu, beliau akan selalu mendukung keputusan sang anak asalkan itu baik. Juga mengingatkan Minke agar selalu berpegang teguh pada asas kebenaran dalam bertindak.
Tema keluarga yang berkontribusi dalam roman karangan Pram ini menurut saya memegang andil terbesar sebagai sumbangan ide cerita selain alur, tokoh dan latar. Karena sepanjang membaca roman ini, saya disuguhkan oleh kentalnya makna sebuah keluarga entah itu yang berlabel sah secara hukum maupun tidak. Keluarga yang terpaksa lahir karena kealpaan orangtua atau kelalaian bertugas. Serta keluarga juga yang pada akhirnya menjadi pelabuhan terkahir kala badai menerjang sang kapal.
Kemanusian yang menurut saya merupakan pondasi idiil dari tema novel ini begitu banyak tersebar dan tersirat di tiap penggalan narasi ataupun dialog ysng diusung oleh Pram. Jika ditilik lebih dalam lagi dan dilihat dari pandangan filosofis, novel ini jelas mengangkat nilai kemanusian dari berbagai sisi kehidupan manusia itu sendiri.
2.      Tokoh dan Perwatakan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan.
Inidividu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita disebut sebagai tokoh. Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Bagaimana seorang Pram menyatakan watak yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam roman ini dihantarkan melalui teknik campuran. Di mana membiarkan tokoh itu sendiri untuk menyatakan diri sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri melalui dialog, perbuatan, lukisan fisik, sikap dan sebagainya. Penokohan merupakan proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, dan sifat. Penokohan adalah peran yang ditampilkan oleh pemain yang menggambarkan watak-watak tertentu dalam suatu cerita. (Jones, 1968: 33).
Kemudian melalui konteks verbal yang mengelilingi tokoh itu sendiri, seperti; kondisi rumah, kamar, tempat kerja atau tempat di mana mereka berada menjadi bagian dari teknik campuran untuk menambah kesan dramatis dari karakter yang dimiliki oleh tokoh tersebut.
Jika kita mengulik sisi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam roman ini, terdapat tiga tokoh utama yang senantiasa muncul dalam setiap peristiwa di dalam cerita, yakni; Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies. Sedangkan tokoh pendukung atau tambahan antara lain; Jean Marais, Robert Suurhorf, Robert Mellema, Herman Mellema, Darsam, Jan Dapperste, Magda Peters, Sarah dan Miriam, kedua orangtua Minke, Sastrotomo, Baba Ah Tjong, Maiko, Dokter Martinet, dan Maurits Mellema.
Mengutip Kenney yang mengelompokkan tokoh dari segi kualitasnya sebagai the simple or flat character dan the complex or round character, maka tokoh utama dari novel ini termasuk ke dalam kelompok the complex or round character. Mengapa demikian? Karena ketiganya memiliki sisi-sisi undiscovered atau tak kasat mata yang justru mampu dilihat dari segala sisi kehidupan. Dan ini terbukti dengan munculnya personalitas manusia secara utuh yang mennjolkan segala sisi kehidupan yang terarung begitu luas di tengah realitas pada masa itu.
Minke
Mengulik dari sisi priyayi yang dimiliki pemuda Jawa yang didapati dari sang ayah, Minke memang memiliki budi pekerti yang halus. Meskipun tanpa disadari ia tengah mengalami masa transisi untuk keluar dari kejawaannya, sesungguhnya tokoh Minke ini hanya ingin membebaskan jiwa di bumi ini.
Dilihat dari pembagian peran, tokoh Minke masuk ke dalam tokoh protagonis. Sikap-sikap yang diterjemahkan Pram ke dalam tulisan-tulisan epik yang menghidupkan Minke seolah sesuai dengan harapan kita sebagai pembaca.
Minke dikisahkan sebagai seorang siswa yang cerdas dan berbudi luhur. Mengikuti rajutan peristiwa dalam kehidupannya, Minke mendewasakan diri dengan caranya sendiri melalui stori yang dibagikan oleh Jean, Annelies, bahkan Nyai Ontosoroh.
Melalui seorang Jean Marais, Minke memahami keluhuran dari cinta yang dianggap irasional. Seperti penggalan dialog Jean kepada Minke berikut:
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Tentang diriku, Jean, belum tentu aku mencintai gadis Wonokromo itu. Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May?” (BM: 81)
Selain cerdas, pemuda Jawa itu kerap berpresepsi dalam hati mengenai hal atau perisitiwa yang melantunkan syair di hadapannya. Contoh yang paling nyata adalah segala pemikirannya terhadap sang Nyai. Minke selalu menyuarakan pikirannya mengenai kepribadian sang Nyai. Seperti pada penggalan berikut:
Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siap pun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai; rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pasal soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? (BM: 75)
Di satu sisi, Minke menaruh hormat kepada pribadi seperti Nyai Ontosoroh. Seperti pada penggalan berikut:
Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia belajar ilmu cerita? Atau hanya sok saja? (BM: 163)
    Sebagai seorang sahabat, teman, guru, dan suami bagi Annelies, sosok penyayang dan penyabar melekat pada diri Minke. Dan ini jelas terdapat pada kutipan berikut. Dari awal pertemuan Minke dan Annelies hingga perpisahan dengan dara Indo tersebut.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar lengking tawa Annelies. Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari semua mutiara yang tak pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih sempat mengagumi dan memuja kecantikannya. (BM: 29)
“Terlalu cantik, Mama. Apa kata yang tepat untuk cantiknya cantik? Ya, begitulah kau, Ann.” (BM: 61)
Dan Annelies sendiri? Ia masih tetap kehilangan perhatian terhadap segala. Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita. Dan ia tetap tak mau bicara. Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke ranjang kembali dan aku baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya. Beruntung juga aku mengenal banyak cerita dan dongengan nenek moyang. Itu pun sudah habis kurawi.
…. Suaraku sendiri sudah parau. Itu pun masih harus ditambah dengan pengalaman sendiri yang cukup lucu.
Dengan memeluk istriku aku mendongeng dan mendongeng, mulut kudekatkan pada kupingnya–suatu cara yang ia sukai. (BM: 525)
Nyai Ontosoroh
Terlahir dengan nama Sanikem, wanita yang menjadi ibu Annelies ini merupakan gundik seorang Belanda. Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan luar biasa yang bisa berdiri di atas kaki sendiri. Terlepas dari segala duka yang menerjang sejak dini, nasib membawa Nyai bertemu dengan Herman Mellema. Yang manapula nasib itu diatur oleh ayah kandungnya sendiri, Sastrotomo.
Dan melalui kejadian itu pula, Nyai Ontosoroh membenci orangtuanya. Ia memilih untuk mengikuti Tuan Mellema. Dan hasilnya pun ia menjadi Nyai Ontosoroh.
Pribadi Nyai Ontosoroh terkenal lugas dan cerdas. Hal ini pun jelas disuarakan oleh Tuan Mellema sendiri dalam kutipan berikut:
Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku. Sebaliknya ia sangat puas dengan segala yng kulakukan. Nampaknya ia juga senang pada kelakuanku yang suka belajar. Ann, papamu sagat menyayangi aku. (BM: 129)
Pernah aku tanyakan padanya, apa wanita Eropa diajar sebagaimana aku diajar sekarang? Tahu kau jawabannya?
“Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang peranakan.” (BM: 134)
… “Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti yang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua!” Ia tertawa mengakak lagi. (BM: 136)
…. Mamamu memang luarbiasa. Pakaiannya, permunculannya, sikapnya. Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya, ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah mendekati Eropa dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuninya sebagai Proibumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya … aku tak tahan mendengar, sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke. Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri.” Ia menghembuskan nafas panjang. “Dan heran, betapa ia punya kesadaran hukum begitu tinggi.” (BM: 346)
Tetapi setelah digempur oleh kenyataan pahit lainnya, Tuan Mellema yang memiliki anak sah dnegan isteri sah di Belanda sana, dan sikap Tuan Mellema yang seratus delapanpuluh derajat berubah itu menjadi pukulan telak bagi Nyai Ontosoroh. Dan mengubah pandang yang selama ini ia berikan kepada Tuan Mellema.
Dan kekecewaan Nyai Ontosoroh terhadap Tuan Mellema tersirat jelas pada kutipan dialog berikut:
“Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki pedalaman rumahtangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali akan datang memeras? Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa menyelidiki urusan orang lain?” (BM: 147)
Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. Didikannya tentang hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istrinya. (BM: 148)
“Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Belanda dengan suara berat dan kukuh. “Ia tamuku.”
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu berpindah pada gundiknya. Dan haruskah akan terjadi sesuatu karena Pribumi seorang yang tak diundang ini?
… “Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” sembur Nyai tetap dalam Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. “Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing. (BM: 65)
Melalui metode diskursif atau langsung, Pram secara gamblang menceritakan kepada pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh dan ceritanya. Mengambil peran sebagai Minke, ia pun menceritakan bagaimana perubahan karakter seorang Nyai Ontosoroh dari yang tadinya Sanikem menjadi Nyai Ontosoroh yang sekarang.
Annelies Mellema
Putri bungsu Nyai Ontosoroh yang digambarkan secantik bidadari kahyangan. Memiliki sifat kekanakan yang mengharuskannya untuk selalu dibimbing. Seorang yang manja dan manis namun karena satu dua hal, sosok Annelies ialah gadis cilik yang rapuh. Sekiranya hal-hal tersebut bisa dibuktikan dengan beberapa kutipan berikut:
Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. (BM: 26)
“Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang saja. Beruntung dapat dicegah. Kalau tidak, dia akan merugi tidak melihat kau seperti ini!”
“Ah, Mama ini!” sekali lagi Annelies bermanja dan memukul ibunya. Juga matanya melirik padaku. (BM: 61)
“Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia sudah ada di dekatmu. Sekarang kau mau apa?”
“Ah, Mama,” desau Annelies dan melirik padaku.
“Ah-Mama, ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara sekarang, biar aku ikut dengarkan.
Annelies melirik padaku lagi dan mukanya merah padam, Nyai tersenyum bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
“Begitulah, Nyo, dia itu—seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies?” (BM: 101)
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada orang lebih baik. (BM: 109)
Seperti mana halnya Nyai Ontosoroh yang dilabeli sebagai tokoh yang berkembang sejalan dengan peran yang diembannya dan memengaruhi cerita. Karena satu dua hal yang disebutkan di atas, tokoh Annelies mengalami sebuah regresi jiwa yang imbasnya menciptakan sebuah kesedihan dan jurang yang memisahkannya dengan orang-orang terkasihnya.
3.      Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa ysng tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah (Rahmanto dan hariyanto 1998:2.10). Susunan-susunan dalam cerita dapat terjadi karena adanya struktur alur, sehingga dapat menghasilkan sebuah cerita yang berkesinambungan.
Pram dalam Bumi Manusia menggunakan teknik alur ingatan atau flashback. Teknik ini menempatkan peristiwa yang mana berisi peralihan dari keadaan satu kepada keadaan yang lain yang terjadi di masa lalu ditampilakn dalam suatu rangkaian perisitiwa. Di mana dalam rangkaian tersebut juga memuat alur maju dan mundur yang mana tergantung oleh kondisi si tokoh dalam cerita.
Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya: (BM: 10)
4.      Latar
Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita. Menurut Nadjid (2003: 25) latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi.
Dengan demikian prosa pun tidak lepas dari tempat dan waktu. Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar/setting. Rahmanto dan Hariyanto mendeksripsikan latar menjadi tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial.
Dalam novel karangan Pram ini, latar tempat mengambil pulau Jawa. Lebih tepatnya di kota Surabaya dan Wonokromo. Dan beberapa tempat pula seperti Rumah Nyai Ontosoroh, kota B, Rumah Jean Marais, Pondokan Mevrouw Telinga, Rumah Plesiran Baba Ah Tjong, dan gedung pengadilan.
Selain itu, terdapat pula latar yang melandasi suasana yang membawa unsur-unsur pendukung untuk menguatkan cerita. Yakni diantaranya waktu berlalunya kejadian, musim terjadinya, lingkungan agama, sosial, emosional, budaya serta latar fisikal. Yang dimaksud dengan latar fisikal adalah tempat, waktu, dan alam fisik di sekitar tokoh cerita, sedangkan latar sosial adalah penggambaran keadaan massyarakat tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat istiadat, dan sebagainya yang melatari sbeuah peristiwa.
 Dan hal-hal tersebut bisa dijumpai pada penggalan berikut:
Petir pun takkan begitu mengagetkan. Kegelisahan merambat-rambat ke seluruh tubuh, sampai pada kaki, dan kaki pun jadi salah tingkah. (BM: 69)
Aku akui: badanku gemetar, walau hanya sedikit. Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat menunggu kata-kata Nyai. Tak ada orang lain bisa diharapkan. Celakalah aku kalau dia dam saja. Dan memang dia diam saja. (BM: 64)
Darahku naik ke kepala mendengar itu. Bibirku menggeletar kering. Gigiku mengkertak. Aku melangkah perlahan mendekatinya dan sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia telah hinakan semua yang telah aku selamatkan, pelihara dan usdahakan, dan aku sayangi selama ini. (BM: 145)
Pagihari itu langit tak bermendung. Minggu cerah. Hatiku sendiri yang tidak ikut cerah. Mega-mendung yang melintasi antariksa dalam dada, memberitahukan akan datangnya badai. (BM: 393)
Aku lari menjemput di tangga rumah. Mama turun lebih dulu. mukanya merahpadam. Ia mengulurkan tangan pada Annelies yang masih di dalam. Dan keluarlah istriku, pucatpasi bermandi airmata, membisu. Begitu turun ia terus menubruk dan merangkul aku. (BM: 482)
Selanjutnya, latar belakang kolonialisme Belanda kental sekali dalam novel ini. Penindasan terhadap Pribumi yang dialami oleh Nyai Ontosoroh ketika dihadapkan dengan Gedung Putih dan segala macam hukumnya yang cacat. Hak kekayaan dari mendiang Herman Mellema dibawa ke meja hijau oleh anak kandungnya di Belanda, Maurits Mellema yang menyebabkan petaka bagi Nyai Ontosoroh dan Minke. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa Pribumi tidak akan mampu melawan kolonialisme yang saat itu berkuasa. Dan hal ini dapat dibuktikan dari penggalan berikut:
Kemudian menyusul salinan surat-surat resmi keputusan pengadilan Amsterdam. Isi: memutasikan keputusannya pada Pengadilan Surabaya. Secara ringkas berbunyi:
Berdasarkan permohonan dari Ir.Maurits Mellema, dan ibunya, Mevrouw Amelia Mellema Hammers, anak dan janda mendiang Tuan Herman Mellema, melalu advokatnya Tuan Mr Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam, Pengadilan Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena tidak ada tali perkawinan syah antara Tuan herman Mellema dengan Sanikem membagi menjadi: Tuan Ir.Maurits Mellema sebagai anak syah mendapat bagian 4/6 x 1/2harta peninggalan; Annelies dan Robert Mellema sebagai anak yang diaku masing-masing mendapat 1/6 x 1/12 harta peninggalan. Berhubung Robert Mellema dinyatakan belum ditemukan baik untuk sementara ataupun untuk selama-lamanya, warisan yang jadi haknya akan dikelola oleh Ir. Maurits Mellema.
Pengadilan Amsterdam telah juga menunjuk Ir.Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema, karena yang belakangan ini dianggap masih berada di bawah umur, sedang haknya atas warisan, sementara ia dianggap belum dewasa, juga dikelola oleh Ir.Maurits Mellema. (BM: 485-486)
Kemudian nilai budaya juga menjadi garis besar dari roman karangan Pram ini.
Sebagai contoh kecil adalah ketika Pram mencoba mengangkat nilai moral bangsa Eropa yang terkesan angkuh dan meremehkan. Dan ini terbukti pada penggalan berikut:
Sebuah tulisan, jelas dari Robert Suurhorf, telah menggugat keadaanku di tengah-tengah keluarga Mellema sebagai benalu tak tahu malu, ikut menyedot harta orang lain dan menampilkan diri di depan umum sebagai burung-gereja-tanpa-dosa, orang tanpa nama keluarga, tanpa sesuatu, dengan satu-satunya modal keberanian: jadi buaya darat. (BM: 414)
“Akhir-akhirnya,” katanya kemudian dengan suara rendah “persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa … hanya kulitnya yang putih,” ia mengumpat, “hatinya bulu semata.” (BM: 490)
Selain itu, latar belakang religi dan kebudayaan juga sarat dalam novel setebal 535 halaman ini. Hal itu bisa dilukiskan dalam adat sebelum acara perkawinan yang dilakukan oleh Minke sebagai seorang pemuda Jawa tulen. Dan itu bisa ditemukan dalam penggalan dialog Bunda kepada Jan Dapperste berikut:
“Beribu terimakasih, Nak, jangan. Ini pekerjaan ibu yang terakhir untuk anaknya. Harus sahaya lakukan sendiri. Sudi kiranya Anak pindah ke tempat lain?” (BM: 457)
Dan beberapa kutipan yang mendukung latar budaya seperti:
“Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar? Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja? Apa kau tidak diajar peradaban baru? Peradaban modern? Mau jadi raja yang bisa bikin semau sendiri, raja-raja nenek moyangmu?” (BM: 192)
“Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih berkuasa.”
“Ah, Bunda jangan hukum sahaya. Sahaya hormati yang lebih benar.”
“Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus. Nyanyian itu pun mungkin kau sudah tak tahu lagi barangkali.” (BM: 193)
5.      Sudut Pandang
Posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam cerita diartikan sebagai sudut pandang (Kenney sebagaimana dikutip oleh Rahmanto dan Hariyanto). Pram menyajikan cerita dengan bumbu tokoh, latar, tindakan serta peristiwa lainnya menggunakan tipe sudut pandang orang pertama sentral atau yang dikenal dengan akuan-sertaan. Dalam roman karangannya, Pram memerankan Aku; terlibat langsung di dalam keseluruhan cerita.
Pram membawa pembaca ke dalam fiksinya dengan sihir dari gaya penceritaan langsung yang naratif namun deksriptif. Setiap solah-tingkah tokoh maupun perisitiwa dalam roman ini dikemukaan isinya sembari mengembangkan unsur-unsurnya. Dan hal inilah yang justru menjadi ciri khasnya seorang Pramoedya Ananta Toer.
6.      Nilai Moral
Sebuah cerita yang baik pasti memiliki pesan yang baik pula. Begitu juga dengan roman karangan Pram ini yang memiliki berbagai nilai moral yang bisa diteladani baik dan buruknya. Dan nilai-nilai moral tersebut antara lain, sebagai berikut:

NO
Interaksi
Moral Baik
Moral Buruk
1
Nyai Ontosoroh dengan Orangtua
Para tetangga sering bilang: lebih baik dan paling baik adalah memohon pada Allah; sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang kulit putih pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu—agar ia dapat membebaskan diri dari kekuasaannya yang memalukan. (BM: 117)
 Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah aku usir.” (BM: 131)
Aku akan berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tidak patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orangutan. (BM: 128)
2
Nyai Ontosoroh dengan Suami
 Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang hargadiri, apalagi smeuda itu. papamu yang mengajari, Ann. (BM: 130)
Ah, betapa berbahagia dengannya, Ann. Betapa dia pandai memuji dan membesarkan hati. maka aku rela serahkan seluruh jiwa dan ragaku padanya. (BM: 135)
 “Nyai!” sebut Tuan Mellema.
“Eropa gila sama dengan Pribumi gila, “ sembur Nyai tetap dalam Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. “Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing.
…..
”Apa perlu kupanggilkan Darsam?” ancam Nyai.
3
Nyai Ontosoroh dengan Menantu
 “Mama,” aku mendahului, “kami berdua mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas segala yang telah Mama limpahkan pada kamu, yang telah Mama usahakan, prihatinkan dan Mama pikirkan untuk kami, kami akan tetap mengingat-ingat dan takkan melupakannya.” (BM: 475)
 -
4
Nyai Ontosoroh dengan Anak
 Annelies: “Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat. (BM: 109)
 Annelies: Aku merasa sangat, sangat berdosa telah mengeluarkan kau dari sekolah. Aku telah paksa kau bekerja seberat itu sebelum kau cukup umur, bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman atau sahabat, karena memang kau tak boleh punya demi perusahaan ini. (BM: 150)
Robert: Ia lari ke dalam rumah, menurunkan potret Mama dari bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur. (BM: 152)
Dua bulan setleah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S. dia tak pernah memberitahukan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli.







5
Nyai Ontosoroh dengan Karyawan
 “Jangan Nyai kuatr. Semua beres. Darsam ini, Nyai, percayalah padanya.”
Ternyata dia memang bisa dipercaya. (BM: 149)
 Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruhnya mencuri buat kepentingannya. (BM: 153)
Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka. (BM: 150)




BAB II
A.    Kesimpulan
Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur pembangun sebuah prosa yang terdiri dari tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, hingga amanat. Dan dalam roman karangan Pram ini, hal-hal tersebut diracik sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah sistem yang padu dalam merangkai jalinan sebuah peristiwa dalam cerita yang kuat. Keterkaitan dari satu peristiwa dengan persona tokoh sangat kuat dilukiskan oleh pria kelahiran Blora ini.
Karakterisasi setiap tokohnya bukan candaan. Bagaimana dengan detilnya, tanpa berbelit-belit, Pram mampu membius kita ke dalam Wonokromo beserta isi-isinya dan tak gentar melahap roman setebal kurang lebih 534 lembar ini.
Sentimentil, begitu banyak orang berbicara mengenai bagaimana Pram menulis kisah Minke dengan segala prahara yang menimpa. Dan keindahan sebuah tulisan tangan semasa dibui ini menjadi sebuah santapan empuk bagi para penikmat sastra dan berbagai kalangan.
B.     Kritik dan Saran
Sebagaimana diketahui sebelumnya, roman karangan Pram ini bersifat inspirasional nan kontoversial. Sempat dilarang beredar semasa Orde Baru lantaran karya sastra ini didapuk menyindir pemerintah dan Pram sendiri dituduh sebagai kaki tangan dari jaringan Komunis di Indonesia pada saat itu (dikutip dari berbagai pihak). Namun kritik dan saran justru tidak terletak bukan pad akarya sastra ini melainkan para penikmatnya, pembacanya.
Kritik dilayangkan kepada kita semua yang akan, sedang, atau telah membaca karya ini agar lebih bijak dalam berpandangan. Lantaran sifat alamiah dari sastra yang arbriter.



DAFTAR PUSTAKA
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Rodiah, Ita. Modul Telaah Novel I. Pamulang.

kata kunci: sastra, sastra indonesia, unsur-unsur intrinsik, novel, bumi manusia, pramoedya ananta toer, telaah novel, analisis

7 komentar:

  1. pakai teorinya saipa ne analisisnya?
    penerapannya bagaimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Analisis dilakukan berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya saja, Mas.

      Hapus
  2. halo kak. Ini analisanya bagus banget, dan aku mau pake tugas kakak ini buat salah satu resources dalam esai aku. kalau aku mau cite, ini termasuk dalam tugas kelas biasa atau kyk tesis gitu ya? dan boleh minta data-data untuk aku cite tugas kakaknya? thank u bgt sebelumnya :))

    BalasHapus
  3. THANKS BRO, SUDAH MEMBANTU TUTU TUGASKU, Sebetulnya saya bukunya Pram Ada semua. Tapi, kata dosen cari saja di Internet. Ya, terpaksalah saya cari di Internet walaupun sesungguhnya saya sendiri tidak pernah menyukai mencari tugas di Internet. Thanks brow, ttp semangat.

    BalasHapus
  4. Analisislah novel bumi manusia

    BalasHapus
  5. Apa Makna dari cerita novel bumi manusia

    BalasHapus