hai sebut saja ini maraton postingan tentang tugas-tugas lampau yang telah saya kerjakan. sekedar berbagi saja. moga berkah~ hahahaha ^^
BAB I
A. Sinopsis
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
Bumi
Manusia (BM) merupakan salah satu mahakarya dari Pramoedya Ananta Toer dan
novel pertama dalam tetralogi Pulau Buru. Kisah dalam BM berangkat dari abad
ke-19 yang pada saat itu masa kolonialisme Belanda menduduki tonggak
pemerintahan bumi pertiwi. Latar tempat peristiwa banyak terjadi di pulau Jawa
tepatnya di desan Wonokromo, kota Surabaya, Jawa timur. Suasana zaman
penjajahan yang menegangkan, mengharu biru, mencekam, dan memrihatinkan
melatari penggalan demi penggalan cerita. Meskipun ada beberapa penggalan yang
menyentuh naluri dari cinta kasih orangtua kepada anak dan bumbu-bumbu romansa
percintaan antara Minke dan Annelies.
Ketika
kita ingin belajar sastra dan sejarah secara bersamaan, roman ini bisa
dijadikan referensi terbaik untuk ditelaah secara mendalam. Mengambil latar
waktu Indonesia yang masih berada dalam ulat-ulat—kepompong—kupu-kupu, kita
dibawa untuk mengarungi waktu bersamah kronik bocah lelaki, siswa H.B.S.
berdarah Priyayi bernama Minke.
Modern
dan Eropa menjadi kiblat akbar masyarakat baik itu Pribumi yang dipribumikan,
Indo, atau Totok yang saat itu menjamur bagai bakteri tak terbantahkan. Dalam
roman ini, diceritakan kisah dari peliknya keluarga Mellema yang menyimpan
sejuta misteri yang tak tersentuh. Profil seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh
yang dijadikan spotlight dan mampu
mencengkram hati siapa saja—termasuk suaminya sendiri—seakan melukiskan
srikandi Indonesia dengan keluwesan dan kecerdasannya. Di balik itu adapula
Annelies, sosok rapuh bocah perempuan yang dimutiarakan oleh keluarganya dan
menaruh hati pada pandangan pertama kepada Minke.
Awal kisah pertemuan Minke dan
Annelies dimulai dari kunjungan siswa H.B.S. tersebut ke Boerderij Buitenzorg. Akibat hasutan dari Robert Suurhorf, Minke
pun mengiakan ajakannya untuk berkunjung ke rumah gundik tersebut.
Lain halnya dengan Annelies yang
diceritakan begitu sempurna dan polos, sosok pemuda berdarah ningrat yang
diketahui merupakan putera dari seorang bupati ini, merupakan sosok pemuda Jawa
yang mencoba untuk memahami ketimpangan dan keabriteran antara Bumi yang didiaminya
dan Manusia yang menemaninya hidup.
Pram menyuguhkan 20 Bab yang tidak
hanya membahas Minke dan Nyai Ontosoroh melulu, melainkan segala sisi kehidupan
yang tidak dikupas sebelumnya dan coba ia pertontonkan pada dunia.
Di
sudut lain, kemasyhuran Eropa yang saat itu diagungkan di tanah Jawa menoreh
sayatan yang dalam. Pertempuran untuk memenangkan hakikat manusia yang
seutuhnya pun terpaksa mesti dijalani oleh Minke dan Mama—sebutan Nyai
Ontosoroh dari Minke—untuk memerjuangkan jiwa yang
coba dirampas dari keduanya.
B. Analisis
Unsur-unsur Intrinsik Novel Bumi Manusia
1. Tema
Tema
adalah gagasan pokok pengarang yang mendasari penyusunan suatu cerita dan
sekaligus menjadi sasaran cerita.
Ide
yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Scharbach dalam Aminuddin
(1987:91)) yang nantinya akan membentuk kerangka dasar sebuah cerita disebut
sebagai tema.
Tema
adalah subyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam
sebuah cerita (Shipley, 1962: 417). Dalam roman terlaris karangan Pram semasa
dibui ini, Pram mengangkat sebuah kerangka cerita yang menimbulkan sejuta
tafsir bagi siapa saja yang membacanya. Baik itu dari kalangan politik,
edukasi, bahkan masyarakat awam pun akan meninggalkan kesan yang berbeda.
Perjuangan
melawan penindasan kolonialisme, keluarga, persahabatan, kemanusiaan, dan nilai
religi juga budaya pada masyarakat di zamannya menjadi garis besar yang dapat
saya tangkap ketika dan sesudah membaca roman ini.
Perjuangan
melawan penindasan kolonialisme terhadap masyarakat Pribumi memang kental
terasa. Kolonialisme yang menjadi dominan kerap mengharamkan segala hal berbau
Pribumi yang menjadi minoritas di bumi sendiri. Di mana seorang pribumi tanpa
nama keluarga bisa dianggap hina; nama keluarga juga bisa menyinggung nilai
budaya dari masyarakat Eropa yang saat itu mendiami bumi pertiwi. Dan hal ini
bisa dibuktikan pada penggalan berikut:
“Robert Mellema,” ia memperkenalkan diri.
“Minke,” balasku.
Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku
menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka tak menyebutkan. Ia
mengernyit. Aku mengerti; barang kali dianggapnya aku anak yang tidak atau
belum diakui ayahnya melalui pengadilan; tanpa nama keluarga adalah Indo hina,
sama dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. (BM: 26)
Beberapa
gagasan yang mendasari jalannya novel Bumi Manusia antara lain adalah tema
kekeluargaan yang secara gamblang diwakilkan oleh keluarga Nyai Ontosoroh
dengan kedua anaknya; Robert dan Annelies, Minke dengan Bundanya, bahkan Jean
Marais dengan puteri kandungnya.
Menggunakan
dialog yang dipertegas oleh pengarang sendiri, kita dapat menangkap tema
kekeluargaan pada penggalan tersebut, seperti:
“Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk
selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami
kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi
sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagianan?” (BM: 109)
Penggalan
di atas adalah dialog dari Nyai Ontosoroh kepada anaknya Annelies, ketika
sedang berada di kamar. Dari kutipan di atas jelas sekali bahwa Nyai Ontosoroh
menginginkan yang terbaik untuk anaknya, sebagaimana mesitnya orangtua berlaku
untuk selalu mewujudkan kebahagiaan sang anak.
“Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu
sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempuhlah jalan
yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang tuamu, dan orang yang kau
anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu.” (BM: 194)
Dalam
dialog yang dihantarkan Bunda kepada Minke saat dia kembali ke rumah
menggambarkan kalau sebagai seorang ibu, beliau akan selalu mendukung keputusan
sang anak asalkan itu baik. Juga mengingatkan Minke agar selalu berpegang teguh
pada asas kebenaran dalam bertindak.
Tema
keluarga yang berkontribusi dalam roman karangan Pram ini menurut saya memegang
andil terbesar sebagai sumbangan ide cerita selain alur, tokoh dan latar.
Karena sepanjang membaca roman ini, saya disuguhkan oleh kentalnya makna sebuah
keluarga entah itu yang berlabel sah secara hukum maupun tidak. Keluarga yang
terpaksa lahir karena kealpaan orangtua atau kelalaian bertugas. Serta keluarga
juga yang pada akhirnya menjadi pelabuhan terkahir kala badai menerjang sang
kapal.
Kemanusian
yang menurut saya merupakan pondasi idiil dari tema novel ini begitu banyak
tersebar dan tersirat di tiap penggalan narasi ataupun dialog ysng diusung oleh
Pram. Jika ditilik lebih dalam lagi dan dilihat dari pandangan filosofis, novel
ini jelas mengangkat nilai kemanusian dari berbagai sisi kehidupan manusia itu
sendiri.
2. Tokoh
dan Perwatakan
Tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa
itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkah cara pengarang menampilkan tokoh
atau pelaku disebut dengan penokohan.
Inidividu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa
dalam cerita disebut sebagai tokoh. Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Bagaimana
seorang Pram menyatakan watak yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam roman ini dihantarkan
melalui teknik campuran. Di mana membiarkan tokoh itu sendiri untuk menyatakan
diri sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri melalui dialog,
perbuatan, lukisan fisik, sikap dan sebagainya. Penokohan merupakan proses
penampilan tokoh dengan pemberian watak, dan sifat. Penokohan adalah peran yang
ditampilkan oleh pemain yang menggambarkan watak-watak tertentu dalam suatu
cerita. (Jones, 1968: 33).
Kemudian
melalui konteks verbal yang mengelilingi tokoh itu sendiri, seperti; kondisi
rumah, kamar, tempat kerja atau tempat di mana mereka berada menjadi bagian
dari teknik campuran untuk menambah kesan dramatis dari karakter yang dimiliki
oleh tokoh tersebut.
Jika
kita mengulik sisi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam roman ini, terdapat
tiga tokoh utama yang senantiasa muncul dalam setiap peristiwa di dalam cerita,
yakni; Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies. Sedangkan tokoh pendukung atau
tambahan antara lain; Jean Marais, Robert Suurhorf, Robert Mellema, Herman
Mellema, Darsam, Jan Dapperste, Magda Peters, Sarah dan Miriam, kedua orangtua
Minke, Sastrotomo, Baba Ah Tjong, Maiko, Dokter Martinet, dan Maurits Mellema.
Mengutip
Kenney yang mengelompokkan tokoh dari segi kualitasnya sebagai the simple or flat character dan the complex or round character, maka
tokoh utama dari novel ini termasuk ke dalam kelompok the complex or round character. Mengapa demikian? Karena ketiganya
memiliki sisi-sisi undiscovered atau
tak kasat mata yang justru mampu dilihat dari segala sisi kehidupan. Dan ini
terbukti dengan munculnya personalitas manusia secara utuh yang mennjolkan
segala sisi kehidupan yang terarung begitu luas di tengah realitas pada masa
itu.
Minke
Mengulik
dari sisi priyayi yang dimiliki pemuda Jawa yang didapati dari sang ayah, Minke
memang memiliki budi pekerti yang halus. Meskipun tanpa disadari ia tengah
mengalami masa transisi untuk keluar dari kejawaannya, sesungguhnya tokoh Minke
ini hanya ingin membebaskan jiwa di bumi ini.
Dilihat
dari pembagian peran, tokoh Minke masuk ke dalam tokoh protagonis. Sikap-sikap
yang diterjemahkan Pram ke dalam tulisan-tulisan epik yang menghidupkan Minke
seolah sesuai dengan harapan kita sebagai pembaca.
Minke
dikisahkan sebagai seorang siswa yang cerdas dan berbudi luhur. Mengikuti
rajutan peristiwa dalam kehidupannya, Minke mendewasakan diri dengan caranya
sendiri melalui stori yang dibagikan oleh Jean, Annelies, bahkan Nyai Ontosoroh.
Melalui
seorang Jean Marais, Minke memahami keluhuran dari cinta yang dianggap
irasional. Seperti penggalan dialog Jean kepada Minke berikut:
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang
mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Tentang diriku, Jean, belum tentu aku
mencintai gadis Wonokromo itu. Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May?” (BM: 81)
Selain
cerdas, pemuda Jawa itu kerap berpresepsi dalam hati mengenai hal atau
perisitiwa yang melantunkan syair di hadapannya. Contoh yang paling nyata
adalah segala pemikirannya terhadap sang Nyai. Minke selalu menyuarakan
pikirannya mengenai kepribadian sang Nyai. Seperti pada penggalan berikut:
Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya
siap pun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai; rendah, jorok,
tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pasal soal-soal berahi semata. Mereka
hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam
ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada
anggapan umum ini? (BM: 75)
Di
satu sisi, Minke menaruh hormat kepada pribadi seperti Nyai Ontosoroh. Seperti
pada penggalan berikut:
Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu
bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia belajar
ilmu cerita? Atau hanya sok saja? (BM: 163)
Sebagai seorang sahabat, teman, guru, dan
suami bagi Annelies, sosok penyayang dan penyabar melekat pada diri Minke. Dan
ini jelas terdapat pada kutipan berikut. Dari awal pertemuan Minke dan Annelies
hingga perpisahan dengan dara Indo tersebut.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi
berdenyut mendengar lengking tawa Annelies. Lambat-lambat kunaikkan pandang
padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari semua mutiara yang tak
pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih sempat
mengagumi dan memuja kecantikannya. (BM: 29)
“Terlalu cantik, Mama. Apa kata yang tepat
untuk cantiknya cantik? Ya, begitulah kau, Ann.” (BM: 61)
Dan Annelies sendiri? Ia masih tetap kehilangan
perhatian terhadap segala. Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita.
Dan ia tetap tak mau bicara. Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke
ranjang kembali dan aku baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya.
Beruntung juga aku mengenal banyak cerita dan dongengan nenek moyang. Itu pun
sudah habis kurawi.
…. Suaraku sendiri sudah parau. Itu pun masih
harus ditambah dengan pengalaman sendiri yang cukup lucu.
Dengan memeluk istriku aku mendongeng dan
mendongeng, mulut kudekatkan pada kupingnya–suatu cara yang ia sukai. (BM: 525)
Nyai Ontosoroh
Terlahir
dengan nama Sanikem, wanita yang menjadi ibu Annelies ini merupakan gundik seorang Belanda. Nyai Ontosoroh
merupakan sosok perempuan luar biasa yang bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Terlepas dari segala duka yang menerjang sejak dini, nasib membawa Nyai bertemu
dengan Herman Mellema. Yang manapula nasib itu diatur oleh ayah kandungnya
sendiri, Sastrotomo.
Dan
melalui kejadian itu pula, Nyai Ontosoroh membenci orangtuanya. Ia memilih
untuk mengikuti Tuan Mellema. Dan hasilnya pun ia menjadi Nyai Ontosoroh.
Pribadi
Nyai Ontosoroh terkenal lugas dan cerdas. Hal ini pun jelas disuarakan oleh
Tuan Mellema sendiri dalam kutipan berikut:
Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku.
Sebaliknya ia sangat puas dengan segala yng kulakukan. Nampaknya ia juga senang
pada kelakuanku yang suka belajar. Ann, papamu sagat menyayangi aku. (BM: 129)
Pernah aku tanyakan padanya, apa wanita Eropa
diajar sebagaimana aku diajar sekarang? Tahu kau jawabannya?
“Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka,
apalagi yang peranakan.” (BM: 134)
… “Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga
tidak perlu. Kau cukup seperti yang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan
lebih baik daripada mereka semua. Semua!” Ia tertawa mengakak lagi. (BM: 136)
…. Mamamu memang luarbiasa. Pakaiannya,
permunculannya, sikapnya. Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda
kebaya dan bahasanya, ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah
mendekati Eropa dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak
yang diketahuninya sebagai Proibumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia
patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya … aku
tak tahan mendengar, sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh
gemilang, Minke. Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau
berdamai dengan nasibnya sendiri.” Ia menghembuskan nafas panjang. “Dan heran,
betapa ia punya kesadaran hukum begitu tinggi.” (BM: 346)
Tetapi
setelah digempur oleh kenyataan pahit lainnya, Tuan Mellema yang memiliki anak
sah dnegan isteri sah di Belanda sana, dan sikap Tuan Mellema yang seratus
delapanpuluh derajat berubah itu menjadi pukulan telak bagi Nyai Ontosoroh. Dan
mengubah pandang yang selama ini ia berikan kepada Tuan Mellema.
Dan
kekecewaan Nyai Ontosoroh terhadap Tuan Mellema tersirat jelas pada kutipan
dialog berikut:
“Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau
ajarkan padaku berbelas tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki
pedalaman rumahtangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali
akan datang memeras? Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa
menyelidiki urusan orang lain?” (BM: 147)
Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada
ayahmu. Didikannya tentang hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam
diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istrinya. (BM: 148)
“Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Belanda dengan
suara berat dan kukuh. “Ia tamuku.”
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu
berpindah pada gundiknya. Dan haruskah akan terjadi sesuatu karena Pribumi
seorang yang tak diundang ini?
… “Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” sembur
Nyai tetap dalam Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan.
“Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai
menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing. (BM: 65)
Melalui
metode diskursif atau langsung, Pram secara gamblang menceritakan kepada
pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh dan ceritanya. Mengambil peran sebagai
Minke, ia pun menceritakan bagaimana perubahan karakter seorang Nyai Ontosoroh
dari yang tadinya Sanikem menjadi Nyai Ontosoroh yang sekarang.
Annelies Mellema
Putri
bungsu Nyai Ontosoroh yang digambarkan secantik bidadari kahyangan. Memiliki
sifat kekanakan yang mengharuskannya untuk selalu dibimbing. Seorang yang manja
dan manis namun karena satu dua hal, sosok Annelies ialah gadis cilik yang
rapuh. Sekiranya hal-hal tersebut bisa dibuktikan dengan beberapa kutipan
berikut:
Suasana baru menggantikan: di depan kami
berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan
bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan
bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. (BM: 26)
“Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang
saja. Beruntung dapat dicegah. Kalau tidak, dia akan merugi tidak melihat kau
seperti ini!”
“Ah, Mama ini!” sekali lagi Annelies bermanja
dan memukul ibunya. Juga matanya melirik padaku. (BM: 61)
“Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu.
Lihat baik-baik. Dia sudah ada di dekatmu. Sekarang kau mau apa?”
“Ah, Mama,” desau Annelies dan melirik padaku.
“Ah-Mama, ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh,
bicara sekarang, biar aku ikut dengarkan.
Annelies melirik padaku lagi dan mukanya merah
padam, Nyai tersenyum bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
“Begitulah, Nyo, dia itu—seperti bocah kecil.
Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies?” (BM:
101)
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku
peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku.
Rasa-rasanya takkan ada orang lebih baik. (BM: 109)
Seperti
mana halnya Nyai Ontosoroh yang dilabeli sebagai tokoh yang berkembang sejalan
dengan peran yang diembannya dan memengaruhi cerita. Karena satu dua hal yang
disebutkan di atas, tokoh Annelies mengalami sebuah regresi jiwa yang imbasnya
menciptakan sebuah kesedihan dan jurang yang memisahkannya dengan orang-orang
terkasihnya.
3. Alur
Alur
merupakan rangkaian peristiwa ysng tersusun secara kronologis dalam kaitan
sebab akibat sampai akhir kisah (Rahmanto dan hariyanto 1998:2.10).
Susunan-susunan dalam cerita dapat terjadi karena adanya struktur alur,
sehingga dapat menghasilkan sebuah cerita yang berkesinambungan.
Pram
dalam Bumi Manusia menggunakan teknik alur ingatan atau flashback. Teknik ini menempatkan peristiwa yang mana berisi
peralihan dari keadaan satu kepada keadaan yang lain yang terjadi di masa lalu
ditampilakn dalam suatu rangkaian perisitiwa. Di mana dalam rangkaian tersebut
juga memuat alur maju dan mundur yang mana tergantung oleh kondisi si tokoh
dalam cerita.
Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini
kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi
lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya: (BM: 10)
4. Latar
Latar
merupakan background sebuah cerita,
tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita. Menurut
Nadjid (2003: 25) latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya
dalam prosa fiksi.
Dengan
demikian prosa pun tidak lepas dari tempat dan waktu. Unsur yang menunjukkan di
mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut
latar/setting. Rahmanto dan Hariyanto mendeksripsikan latar menjadi tiga
kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial.
Dalam
novel karangan Pram ini, latar tempat mengambil pulau Jawa. Lebih tepatnya di
kota Surabaya dan Wonokromo. Dan beberapa tempat pula seperti Rumah Nyai
Ontosoroh, kota B, Rumah Jean Marais, Pondokan Mevrouw Telinga, Rumah Plesiran
Baba Ah Tjong, dan gedung pengadilan.
Selain
itu, terdapat pula latar yang melandasi suasana yang membawa unsur-unsur
pendukung untuk menguatkan cerita. Yakni diantaranya waktu berlalunya kejadian,
musim terjadinya, lingkungan agama, sosial, emosional, budaya serta latar
fisikal. Yang dimaksud dengan latar fisikal adalah tempat, waktu, dan alam
fisik di sekitar tokoh cerita, sedangkan latar sosial adalah penggambaran
keadaan massyarakat tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu
tempat tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat istiadat, dan sebagainya
yang melatari sbeuah peristiwa.
Dan hal-hal tersebut bisa dijumpai pada
penggalan berikut:
Petir pun takkan begitu mengagetkan.
Kegelisahan merambat-rambat ke seluruh tubuh, sampai pada kaki, dan kaki pun
jadi salah tingkah. (BM: 69)
Aku akui: badanku gemetar, walau hanya sedikit.
Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat menunggu kata-kata Nyai. Tak ada
orang lain bisa diharapkan. Celakalah aku kalau dia dam saja. Dan memang dia
diam saja. (BM: 64)
Darahku naik ke kepala mendengar itu. Bibirku
menggeletar kering. Gigiku mengkertak. Aku melangkah perlahan mendekatinya dan
sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia telah hinakan semua yang telah aku
selamatkan, pelihara dan usdahakan, dan aku sayangi selama ini. (BM: 145)
Pagihari itu langit tak bermendung. Minggu
cerah. Hatiku sendiri yang tidak ikut cerah. Mega-mendung yang melintasi
antariksa dalam dada, memberitahukan akan datangnya badai. (BM: 393)
Aku lari menjemput di tangga rumah. Mama turun
lebih dulu. mukanya merahpadam. Ia mengulurkan tangan pada Annelies yang masih
di dalam. Dan keluarlah istriku, pucatpasi bermandi airmata, membisu. Begitu
turun ia terus menubruk dan merangkul aku. (BM: 482)
Selanjutnya,
latar belakang kolonialisme Belanda kental sekali dalam novel ini. Penindasan
terhadap Pribumi yang dialami oleh Nyai Ontosoroh ketika dihadapkan dengan
Gedung Putih dan segala macam hukumnya yang cacat. Hak kekayaan dari mendiang
Herman Mellema dibawa ke meja hijau oleh anak kandungnya di Belanda, Maurits
Mellema yang menyebabkan petaka bagi Nyai Ontosoroh dan Minke. Dalam hal ini,
jelas sekali bahwa Pribumi tidak akan mampu melawan kolonialisme yang saat itu
berkuasa. Dan hal ini dapat dibuktikan dari penggalan berikut:
Kemudian menyusul salinan surat-surat resmi
keputusan pengadilan Amsterdam. Isi: memutasikan keputusannya pada Pengadilan
Surabaya. Secara ringkas berbunyi:
Berdasarkan permohonan dari Ir.Maurits Mellema,
dan ibunya, Mevrouw Amelia Mellema Hammers, anak dan janda mendiang Tuan Herman
Mellema, melalu advokatnya Tuan Mr Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam,
Pengadilan Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak
dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang
Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena tidak ada tali perkawinan syah antara
Tuan herman Mellema dengan Sanikem membagi menjadi: Tuan Ir.Maurits Mellema
sebagai anak syah mendapat bagian 4/6 x 1/2harta peninggalan; Annelies dan
Robert Mellema sebagai anak yang diaku masing-masing mendapat 1/6 x 1/12 harta
peninggalan. Berhubung Robert Mellema dinyatakan belum ditemukan baik untuk
sementara ataupun untuk selama-lamanya, warisan yang jadi haknya akan dikelola
oleh Ir. Maurits Mellema.
Pengadilan Amsterdam telah juga menunjuk
Ir.Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema, karena yang belakangan
ini dianggap masih berada di bawah umur, sedang haknya atas warisan, sementara
ia dianggap belum dewasa, juga dikelola oleh Ir.Maurits Mellema. (BM: 485-486)
Kemudian
nilai budaya juga menjadi garis besar dari roman karangan Pram ini.
Sebagai
contoh kecil adalah ketika Pram mencoba mengangkat nilai moral bangsa Eropa
yang terkesan angkuh dan meremehkan. Dan ini terbukti pada penggalan berikut:
Sebuah tulisan, jelas dari Robert Suurhorf,
telah menggugat keadaanku di tengah-tengah keluarga Mellema sebagai benalu tak
tahu malu, ikut menyedot harta orang lain dan menampilkan diri di depan umum
sebagai burung-gereja-tanpa-dosa, orang tanpa nama keluarga, tanpa sesuatu,
dengan satu-satunya modal keberanian: jadi buaya darat. (BM: 414)
“Akhir-akhirnya,” katanya kemudian dengan suara
rendah “persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku.
Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis.
E-ro-pa … hanya kulitnya yang putih,” ia mengumpat, “hatinya bulu semata.” (BM:
490)
Selain
itu, latar belakang religi dan kebudayaan juga sarat dalam novel setebal 535
halaman ini. Hal itu bisa dilukiskan dalam adat sebelum acara perkawinan yang
dilakukan oleh Minke sebagai seorang pemuda Jawa tulen. Dan itu bisa ditemukan
dalam penggalan dialog Bunda kepada Jan Dapperste berikut:
“Beribu terimakasih, Nak, jangan. Ini pekerjaan
ibu yang terakhir untuk anaknya. Harus sahaya lakukan sendiri. Sudi kiranya
Anak pindah ke tempat lain?” (BM: 457)
Dan
beberapa kutipan yang mendukung latar budaya seperti:
“Atau memang begitu macam latihan bagi calon
ambtenar? Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja? Apa kau
tidak diajar peradaban baru? Peradaban modern? Mau jadi raja yang bisa bikin
semau sendiri, raja-raja nenek moyangmu?” (BM: 192)
“Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak
mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih
berkuasa.”
“Ah, Bunda jangan hukum sahaya. Sahaya hormati
yang lebih benar.”
“Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua,
lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani
mengalah, Gus. Nyanyian itu pun mungkin kau sudah tak tahu lagi barangkali.”
(BM: 193)
5. Sudut
Pandang
Posisi
pengarang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam cerita diartikan
sebagai sudut pandang (Kenney sebagaimana dikutip oleh Rahmanto dan Hariyanto).
Pram menyajikan cerita dengan bumbu tokoh, latar, tindakan serta peristiwa
lainnya menggunakan tipe sudut pandang orang pertama sentral atau yang dikenal
dengan akuan-sertaan. Dalam roman karangannya, Pram memerankan Aku; terlibat
langsung di dalam keseluruhan cerita.
Pram
membawa pembaca ke dalam fiksinya dengan sihir dari gaya penceritaan langsung
yang naratif namun deksriptif. Setiap solah-tingkah tokoh maupun perisitiwa
dalam roman ini dikemukaan isinya sembari mengembangkan unsur-unsurnya. Dan hal
inilah yang justru menjadi ciri khasnya seorang Pramoedya Ananta Toer.
6. Nilai
Moral
Sebuah
cerita yang baik pasti memiliki pesan yang baik pula. Begitu juga dengan roman
karangan Pram ini yang memiliki berbagai nilai moral yang bisa diteladani baik
dan buruknya. Dan nilai-nilai moral tersebut antara lain, sebagai berikut:
NO
|
Interaksi
|
Moral Baik
|
Moral Buruk
|
1
|
Nyai Ontosoroh dengan Orangtua
|
Para tetangga sering bilang: lebih baik dan paling baik adalah memohon
pada Allah; sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang kulit putih
pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu—agar ia dapat
membebaskan diri dari kekuasaannya yang memalukan. (BM: 117)
|
Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan
tamu Tuan, sudah aku usir.” (BM: 131)
Aku akan berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dulu tak mampu
mempertahankan aku, maka dia tidak patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku
sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orangutan.
(BM: 128)
|
2
|
Nyai Ontosoroh dengan Suami
|
Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara
tentang hargadiri, apalagi smeuda itu. papamu yang mengajari, Ann. (BM: 130)
Ah, betapa berbahagia dengannya, Ann. Betapa dia pandai memuji
dan membesarkan hati. maka aku rela serahkan seluruh jiwa dan ragaku padanya.
(BM: 135)
|
“Nyai!” sebut Tuan Mellema.
“Eropa gila sama dengan Pribumi gila, “ sembur Nyai tetap dalam
Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. “Tak ada hak
apa-apa kau di rumah ini. kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai menunjuk ke
suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing.
…..
”Apa perlu kupanggilkan Darsam?” ancam Nyai.
|
3
|
Nyai Ontosoroh dengan Menantu
|
“Mama,” aku mendahului, “kami berdua mengucapkan
banyak-banyak terimakasih atas segala yang telah Mama limpahkan pada kamu,
yang telah Mama usahakan, prihatinkan dan Mama pikirkan untuk kami, kami akan
tetap mengingat-ingat dan takkan melupakannya.” (BM: 475)
|
-
|
4
|
Nyai Ontosoroh dengan Anak
|
Annelies: “Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk
selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. tak mengalami
kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi
sahabat. (BM: 109)
|
Annelies: Aku merasa sangat, sangat berdosa telah
mengeluarkan kau dari sekolah. Aku telah paksa kau bekerja seberat itu
sebelum kau cukup umur, bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman
atau sahabat, karena memang kau tak boleh punya demi perusahaan ini. (BM:
150)
Robert: Ia lari ke dalam rumah, menurunkan potret Mama dari
bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur. (BM: 152)
Dua bulan setleah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S. dia tak
pernah memberitahukan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli.
|
5
|
Nyai Ontosoroh dengan Karyawan
|
“Jangan Nyai kuatr. Semua beres. Darsam ini, Nyai,
percayalah padanya.”
Ternyata dia memang bisa dipercaya. (BM: 149)
|
Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruhnya mencuri
buat kepentingannya. (BM: 153)
Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak
boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka. (BM:
150)
|
BAB II
A. Kesimpulan
Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur
pembangun sebuah prosa yang terdiri dari tema, penokohan, latar, alur, sudut
pandang, hingga amanat. Dan dalam roman karangan Pram ini, hal-hal tersebut
diracik sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah sistem yang padu dalam
merangkai jalinan sebuah peristiwa dalam cerita yang kuat. Keterkaitan dari
satu peristiwa dengan persona tokoh sangat kuat dilukiskan oleh pria kelahiran
Blora ini.
Karakterisasi setiap tokohnya bukan
candaan. Bagaimana dengan detilnya, tanpa berbelit-belit, Pram mampu membius
kita ke dalam Wonokromo beserta isi-isinya dan tak gentar melahap roman setebal
kurang lebih 534 lembar ini.
Sentimentil, begitu banyak orang
berbicara mengenai bagaimana Pram menulis kisah Minke dengan segala prahara
yang menimpa. Dan keindahan sebuah tulisan tangan semasa dibui ini menjadi
sebuah santapan empuk bagi para penikmat sastra dan berbagai kalangan.
B. Kritik
dan Saran
Sebagaimana diketahui sebelumnya, roman
karangan Pram ini bersifat inspirasional nan kontoversial. Sempat dilarang
beredar semasa Orde Baru lantaran karya sastra ini didapuk menyindir pemerintah
dan Pram sendiri dituduh sebagai kaki tangan dari jaringan Komunis di Indonesia
pada saat itu (dikutip dari berbagai pihak). Namun kritik dan saran justru
tidak terletak bukan pad akarya sastra ini melainkan para penikmatnya,
pembacanya.
Kritik dilayangkan kepada kita semua
yang akan, sedang, atau telah membaca karya ini agar lebih bijak dalam
berpandangan. Lantaran sifat alamiah dari sastra yang arbriter.
DAFTAR
PUSTAKA
Toer,
Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia.
Jakarta: Lentera Dipantara.
Rodiah,
Ita. Modul Telaah Novel I. Pamulang.
kata kunci: sastra, sastra indonesia, unsur-unsur intrinsik, novel, bumi manusia, pramoedya ananta toer, telaah novel, analisis
pakai teorinya saipa ne analisisnya?
BalasHapuspenerapannya bagaimana?
Analisis dilakukan berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya saja, Mas.
Hapushalo kak. Ini analisanya bagus banget, dan aku mau pake tugas kakak ini buat salah satu resources dalam esai aku. kalau aku mau cite, ini termasuk dalam tugas kelas biasa atau kyk tesis gitu ya? dan boleh minta data-data untuk aku cite tugas kakaknya? thank u bgt sebelumnya :))
BalasHapusTHANKS BRO, SUDAH MEMBANTU TUTU TUGASKU, Sebetulnya saya bukunya Pram Ada semua. Tapi, kata dosen cari saja di Internet. Ya, terpaksalah saya cari di Internet walaupun sesungguhnya saya sendiri tidak pernah menyukai mencari tugas di Internet. Thanks brow, ttp semangat.
BalasHapusBagaimana unsur intrinsik nya
BalasHapusAnalisislah novel bumi manusia
BalasHapusApa Makna dari cerita novel bumi manusia
BalasHapus