WHOAAAAAAA UDAH LAMA BENER NGGA UPDATE BLOG INI. WELL. KKARENA SATU DUA OBROLAN BLOG DENGAN TEMAN YANG BAIK HATI KARENA SUDAH MEMBERIKAN TUMPANGAN WIFI-AN GRATIS, HAHAHA.
WELL INI SIH SEBENERNYA TUGAS WAKTU SEMESTER EMPAT KEMARIN, TELAAH PUISI I YANG SANGAT BERFAEDAH. HAHA. WELL. SAYA SHARE INI SEMOGA BERMANFAAT YA. MONGGO DICEK~~
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puisi
adalah salah satu genre atau jenis
sastra. Seringkali istilah”puisi” disamakan
dngan “sajak”. Akan tetapi,
sebenarnya tidak sama, puisi merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak,
sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggris, puisi
adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah puisi,
istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastra (puisi) ataupun individu sastra
(sajak) (Pradopo, 2010: 278).
Sebuah
puisi dikatakan estetis ketika dalam strukturnya ditemukan unsur-unsur
pembangun puisi yang mengandung nilai estetika. Identik dengan padanan
kata-kata yang mendayu-dayu, puisi secara aklamasi dicirikan wajib mengandung
diksi yang indah. Pun dengan syariat bentuk puisi yang terdiri minimal empat
baris (puisi lama), seiring dengan perkembangan jaman struktur puisi tidak
hanya terpaku pada empat baris perbait melainkan bentuk-bentuk artifisial yang
membentuk makna (lihat puisi Sinka Winka
karya Gunawan Moehamad) atau bahkan hanya terdiri dari satu baris saja.
Hal
ini tentu merujuk lagi pada preferensi penyair dalam berkarya. Puisi bukanlah
susunan kata-kata yang membentuk baris dan bait, melainkan sesuatu yang
terkandung di dalam kata, baris dan bait itu. Tegasnya, puisi adalah keindahan
dan suasana tertentu yang tekandung di dalam kata-kata (Kleden). Puisi pada
dasarnya adalah bahasa kiasan, terkonsentrasi sehingga bentuk kedua ekspresif
dan menggugah (Harold Bloom). Namun pandangan lain yang kurang lebih sepadan
muncul dari pujangga dunia sekaliber William Shakespeare, yakni puisi adalah
lirik karena membingungkan berbagai bentuk, seperti perbuatan rumit dengan
emosi sendiri dan pandangan penulis.
Dalam
praktek kepenulisannya, puisi memiliki banyak ragam bentuk mengitkuti
perkembangan jaman seperti yang diungkapkan Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi
selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep
estetiknya. Keragaman puisi disebabkan oleh perbedan jaman dan generasi yang
terus menciptakan karya-karya baru, misalnya adalah perkembangan kesusastraan
Indonesia yang mengikuti arus politik, reformasi, dan pergolakan yang terjadi
pada era itu. Puisi diciptakan pada awalnya untuk mengungkapkan perasaan dan
mengisahkan pengalaman. Selain itu, akhirnya juga sebagai kritik sosial maupun
kritik terhadap pemerintah.
Salah
satu penyair kenamaan Indonesia yang terkenal lainnya adalah Sitor Situmorang.
Dia adalah seorang wartawan, penyair, dan dosen. Puisi-puisi Sitor oleh banyak
pengamat disebut sebagai tonggak yang mewakili perkembangan puisi modern Indonesia.
Harry
Aveling, Direktur Asian Studies School of
Social Science La Trobe University, Australia, melihat bahwa sajak Sitor
Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya sebagai
pemeluk agama Kristen. Dia menjuluki Sitor Situmorang "penyair agung" karena dia terus berkarya selama lebih
dari 60 tahun dan menghasilkan lebih dari 600 sajak. Tidak hanya puisi, Sitor
juga terlibat dalam dunia penerjemahan. Dia menerjemahkan karya John Wyndham, E. Du Perron, R. S. Maenocol, M. Nijhof.
Beragam karya sastra Sitor Situmorang yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama
Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran
dan Salju di Paris (1956). Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan,
antara lain puisi Zaman Baru (1962),
cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra
Revolusioner inilah yang menjebloskan Sitor
Situmorang di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta, tanpa melalui
proses peradilan. Beliau dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan
terlibat pemberontakan. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa
kesalahannya. Sitor tidak diizinkan masuk tahanan dengan membawa pena atau
kertas. Namun demikian, walaupun berada dalam penjara Sitor tetap mencari akal
untuk berkarya. Dia berhasil merilis dua karya sastra yang berhasil dia gubah
selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu
(1976) dan Peta Perjalanan (1977) (http://pelitaku.sabda.org/sitor_situmorang).
Sajak
Malam Lebaran pertama kali
dimunculkan dalam kumpulan puisi Dalam
Sajak, diterbitkan pada 1955. Puisi itu lahir ketika Sitor hendak
mengunjungi salah satu temannya beberapa hari setelah Lebaran. Sitor, dalam
pengakuan puteranya Gulontam mengatakan, jalan yang musti ia ambil menuju rumah
temannya itu memang melewati kuburan di daerah Karet. Saat itu daerah yang
dilewati masih belum ada penerangan listrik. Mendadak, bulan muncul dari balik
awan. Sitor sendiri tidak terlalu memusingkan perdebatan seputar sajaknya. Setiap
persona berhak untuk menginterpretasikan arti dan makna itu dalam berbagai
kaidah. Sitor pribadi hanya ingin menuangkan seni dari pengalaman sehari-hari
yang dirasakannya.
Sitor
terkenal dengan beberapa karya kumpulan puisi yang menggambarkan pengalaman
hidupnya berkelana di ranah asing hingga pengasingan di negeri sendiri. Puisi
karya Sitor berciri khas menggunakan bahasa yang sederhana dan lugas. Bahasa
yang Sitor gunakan merupakan ciri puisi objektif. Hal ini yang membedakannya
dari puisi ekspresionisme (bahasa puisi dituturkan dengan penuh perasaan dan
muluk-muluk).
Oleh
sebab itu, dari banyaknya puisi mahakarya gubahan Sitor Situmorang, penulis
memilih Malam Lebaran. Meskipun hanya
diisi oleh satu baris, kata-kata yang dituangkan juga begitu sederhana dan
lugas, puisi tersebut justru sangat menarik untuk dikaji makna dan artinya
secara bersamaan.
Namun
daripada itu, puisi yang isinya begitu sederhana dan lugas tidak berarti miskin
makna. Sastrawan Jerman, Bertolt Brecht, menegaskan bahwa puisi bukanlah
sebatas penggambaran perasaan yang sarat akan suka dan duka saja. Puisi pun
mampu diarahkan menuju kejadian-kejadian atau pengalaman yang logis dan nyata,
nampak dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan memang benar, bahwa karya
sastra sekaliber puisi tidak serta merta lahir dalam kekosongan budaya.
Badrun
(1989: 2) menyatakan, bahwa selain bersifat puitis, bahasa puisi juga merupakan
bahasa multidimensional, yang mampu menembus pikiran, perasaan, dan imajinasi
manusia. Puisi juga merupakan karya seni yang memiliki sifat dan ciri
tersendiri. Dengan sifat dan ciri khususnya itu menyebabkan puisi berbeda
dengan karya-karya lain. Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan jenis
karya sastra lain terletak pada kepadatan bahasa yang digunakan.
Biasanya
penikmat puisi merasa kesulitan dalam memahami maksud penyair. Salah satu
penyebab dalam kesulitan tersebut adalah karena bahasa yang digunakan pengarang
seringkali menyimpang dari arti sebenarnya atau semantik. Penyimpangan semantik
berarti bahwa bahasa yang digunakan seringkali tidak menunjuk pada suatu makna,
melainkan memiliki makna ganda atau kias (Waluyo, 1991: 68). Hal itu dipertegas
oleh Riffaterre (1978: 1), bahwa sejalan perkembangannya, puisi selalu berubah
dikarenakan perbedaan konsep estetik dan perubahan selera. Akan tetapi ada satu
ciri yang tetap, bahwa puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, atau
bisa disebut sebagai ekspresi tidak langsung.
Bahasa
puisi berbeda dengan pemakaian bahasa umum. Puisi menggunakan bahasa sehari-hari,
tetapi memiliki makna lain. Artinya suatu karya puisi mengatakan satu hal dan
memaksudkan hal lain. Puisi mengekspresikan konsep dan pikiran melalui
ketidaklangsungan. Karena ketidaklangsungan ekspresi itu, pembaca atau penikmat
puisi sulit untuk memahami makna yang diinginkan pengarang.
Dalam
puisi terdapat tanda-tanda yang secara tidak langsung memiliki makna, yang jika
digali akan mendapatkan tema puisi yang sesungguhnya. Dalam analisis
ini, pemaknaan puisi Malam Lebaran
dilakukan dengan cara mencari tanda-tanda penting yang terdapat dalam puisi
kemudian memaknainya. Untuk mencari tanda-tanda tersebut tentu saja tidak bisa
dilakukan dengan satu, dua atau tiga kali baca saja, tetapi membutuhkan
pembacaan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, peneliti harus menelusuri
kata-kata pada puisi untuk mencari tanda-tanda yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran dan tanda-tanda tersebut
diberi makna. Dengan demikian, dapat ditelusuri tenunan-tenunan benang
maknanya.
Oleh
karena itu, teori yang cocok digunakan guna mendukung landasan analisis puisi Malam Lebaran ini adalah teori yang
mempelajari tentang tanda atau semiotik. Dalam hal ini peneliti menggunakan
analisis semiotika Riffaterre. Menurut Pradopo (2001: 4), dalam menganalisis
puisi, Riffaterre menggunakan metode pemaknaan khusus. Namun pemaknaannya tidak
terlepas dari pemaknaan semiotik pada umumnya, bahwa bagaimanapun juga, karya
sastra merupakan dialektika antara teks dan pembaca. Dengan kata lain, pembaca
memegang peran penting dalam pemaknaan karya sastra.
Penelitian
mengenai analisis semiotika Riffaterre pada puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang belum pernah dilakukan di
Universitas Pamulang, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menambah
referensi penelitian karya sastra. Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat
terhadap materi kesusastraan Indonesia di kelas, yakni berusaha memberikan
kontribusi terhadap pengajaran puisi di Sekolah Menengah Atas dan dapat
dijadikan media untuk pembelajaran Literatur (Sastra Indonesia) kepada peserta
didik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka fokus msalah penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana
unsur-unsur intrinsik puisi Malam Lebaran
karya Sitor Situmorang?
2. Bagaimana
pembacaan heuristik dan hermeneutik puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang?
3. Bagaimana
ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
4. Bagaimana
matriks, model, dan varian dalam puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang?
5. Bagaimana
hipogram dari Malam Lebaran karya
Sitor Situmorang?
C.
Tujuan
Berdasarkan masalah yang akan dibahas,
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
unsur-unsur intrinsik puisi Malam Lebaran
karya Sitor Situmorang.
2. Mendeskripsikan
pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
3. Mendeskripsikan
ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
4. Mendeskripsikan
matriks, model, dan varian dalam puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang.
5. Mendeskripsikan
hipogram dari puisi Malam Lebaran
karya Sitor Situmorang.
D.
Manfaat
Penelitian
Adanya
kegiatan penelitian terhadap karya sastra diharapkan mampu menjembatani
pemahaman antara karya sastra dan pembacanya. Oleh karena itu, ada beberapa
manfaat yang dapat diambil dari analisis ini, seperti berikut:
1.
Manfaat
Teoretis
a. Menambah
pengetahuan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia tentang puisi karya Sitor
Situmorang.
b. Dapat
menjadi referensi yang relevan untuk penelitian selanjutnya yang akan meneliti
karya sastra dengan teori Riffaterre.
2.
Manfaat
Praktis
a. Mengetahui
dan memahami pesan dan makna yang terkandung dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
b. Menambah
referensi dalam kekayaan makna dari puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian
Puisi
Puisi
sebagai sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya.
Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu
adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana
kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji melalui jenis-jenis atau ragam-ragamnya,
mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari
sudut kesejarahannya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca
orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan (Pradopo,
2010: 1). Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi
ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) (Teeuw dalam Pradopo,
2010: 1).
Berdasarkan
pendapat beberapa pakarnya, puisi memiliki pengertian sebagai berikut. Menurut
Sayuti (1985: 1) puisi merupakan hasil kreativitas manusia yang diwujudkan
lewat susunan kata yang mempunyai makna. Puisi selalu berubah-ubah sesuai
dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Riffaterre dalam
Pradopo, 2010: 1). Altenbernd (dalam Pradopo 2010: 5) menambahkan, bahwa puisi
adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam
bahasa berirama (bermetrum).
Dalam
poetika (ilmu sastra), sesungguhnya hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah
itu mencakup semua karya sastra, baik prosa maupun puisi. Jadi, puisi itu sama
dengan karya sastra, khususnya prosa dan puisi (Wellek dalam Pradopo, 2010:
11). Hal itu dipertegas oleh Reeves (dalam Waluyo, 1991: 22) bahwa puisi itu
adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra
bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang
(majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat
konotatif. Bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini
disebabkan terjadinya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa
di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat.
Definisi
di atas ditambahkan oleh Subagio Sastrowardoyo (dalam Pradopo, 1997: 62) yang
menyebutkan bahwa puisi adalah inti pernyataan sastra. Menurut sejarahnya,
pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada masa
perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan
ialah puisi. Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada
puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan
hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra,
yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.
Dari
beberapa pendapat-pendapat beberapa tokoh sastrawan, Pradopo (2010: 7)
menyimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan,
dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling
berkesan.
Puisi
merupakan ekspresi dari pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan, merangsang
imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu
yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan
memberi kesan (Pradopo, 2007: 7). Dengan begitu, puisi merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman penting manusia yang dikemas dalam wujud yang paling
berkesan. Pradopo (2007: 13) menambahkan, bahwa puisi itu merupakan karya seni
yang puitis. Kata puitis itu sendiri sudah mengandung keindahan yang khusus
untuk puisi. Karya sastra dikatakan puitis jika karya tersebut dapat
membangkitkan perasaan, menarik perhatian, dan menimbulkan tanggapan yang
jelas.
Bagaimanapun
pembacaan puisi butuh interpretasi. Interpretasi awal akan menentukan
keberhasilan pembaca. Interpretasi akan menyelami sebuah puisi secara total.
Interpretasi itu bebas dan dapat berubah-ubah. Tiap orang dapat melakukan
interpretasi. Bahkan ada kalanya seorang pembaca mengikuti interpretasi orang
lain (Endraswara, 2008: 82). Pembacaan puisi secara individual, bisa jadi juga
dilakukan oleh seorang peneliti. Lalu, ia secara tidak sadar memasuki puisi
sesuai dengan kebutuhan atau ‘pola’ yang telah mereka tentukan sebelumnya.
Seperti, ingin mencari nilai-nilai moral puisi, kritik sosial, nilai profetik,
religius, dan sebagainya (Endraswara, 2008: 92).
Interpretasi
adalah istilah yang tepat untuk semua prosedur berikut. Bukannya kita tiba-tiba
menyatukan prosedur-prosedur itu dan mengerjakan sesuatu yang baru, untuk
setiap tahap kita sebelumnya telah mengira setiap hal yang telah datang.
Penafsiran, penjelasan, penguraian adalah cara-cara sederhana dalam menjelaskan
kepada diri kita apa yang keliru saat kita terhenti atau merasa samar.
Terminologi tersebut boleh dilupakan selama kita bisa mengingat bagaimana
terminologi itu membantu kita keluar dari kesulitan (Chatman, 1968: 75).
B.
Semiotika
1.
Semiotika
secara Umum
Semiotika atau semiologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu semeion yang berarti tanda atau
seme yang berarti penafsiran. Tokoh
yang dianggap sebagai pendiri semiotika adalah ahli linguistik Ferdinand De
Saussure (1857-1913) dan ahli filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914).
Semiotika atau semiologi merupakan ilmu tentang tanda pada umumnya. Semiologi
sering disebut juga dengan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari
tanda-tanda.
Pendiri semiotik di Amerika, yaitu filsuf C.S.
Pierce, membedakan adanya tiga jenis dasar tanda. Ada ‘ikonis’, di mana tanda
mirip dengan apa yang diwakilinya (foto mewakili orang, misalnya);
‘indeksikal’, dimana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap
dengan api, bercak dengan campak), dan ‘simbolis’, di mana, seperti halnya
menurut Saussure, tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional
dengan rujukannya.
Semiotik mengambil pendapat ini dan banyak
klasifikasi lain: ia membedakan antara ‘denotasi’ (apa yang dimaksud oleh
tanda) dan ‘konotasi’ (tanda-tanda lain yang diasosiakan dengannya); antara
kode (struktur yang menuruti peraturan dan menghasilkan makna) dan pesan yang
ditransmisikan oleh kode; antara ‘paradigmatik’ (sekelompok tanda yang dapat
saling mewakili satu sama lain) dan ‘sintagmatik’ (di mana tanda-tanda
dipasangkan satu sama lain dalam sebuah ‘rantai’). Semiotik menyebut adanya
‘metabahasa’, di mana satu sistem tanda memaknai sistem tanda lain (hubungan
antara kritik sastra dan kesusastraan, misalnya), tanda ‘polisemik’ yang
memiliki lebih dari satu makna (Eagleton, 2010: 145).
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan
antara sign (tanda-tanda) berdasarkan
kode-kode tertentu. Aart van Zoest dan Sudjiman (1992: 5) mendefinisikan
semiotika merupakan studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya:
cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya
oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika menurut Pierce (dalam Ratna, 2009:
256) bersinonim dengan logika karena pemahaman mengenai tanda-tandalah yang
justru memungkinkan manusia untuk berpikir dan bernalar. Dalam perkembangan
berikutnya semiotika didefinisikan sebagai studi sistematis yang melibatkan
produksi dan interpretasi tanda dalam proses pemaknaan.
Bagi semiotika, teks sastra sebagai realitas yang
dihadirkan di hadapan pembaca, di dalamnya pastilah sudah ada potensi
komunikatif. Pemilikan potensi konunikatif itu salah satunya ditandai dengan
digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya. Akan tetapi, berbeda
dengan lambang-lambang yang digunakan dalam bahasa komunikasi keseharian pada
umumnya, lambang yang terdapat dalam teks sastra adalah lambang yang sifatnya
artistik. Bila lambang dalam bahasa sehari-hari itu bersifat natural atau dalam
kondisi ordinary language, maka bahasa dalam teks sastra hadir dengan didahului
oleh motivasi subjektif pengarangnya sehingga lebih banyak bersifat “arbitrer”
(Aminuddin, 2009: 124).
2.
Semiotika
Riffaterre
Riffaterre (1978:1) mengatakan, bahwa yang menjadi
faktor pembedaan antara puisi dan bukan puisi adalah cara sebuah teks puisi
membawa maknanya. Dari pengertian tersebut Riffaterre lebih lanjut memberikan
sebuah pengertian yang lebih sederhana mengenai struktur makna sebuah puisi.
Bagi Riffaterre, fenomena sastra merupakan dialektika antara teks dan pembaca.
Konsep ini memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi para pembaca.
Artinya, pembaca memiliki kebebasan memaknai dan menafsirkan puisi tanpa harus
merasa terikat oleh maksud pengarang.
Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 281) dalam bukunya,
Semiotics of Poetry, mengemukakan
empat hal yang pokok untuk memproduksi makna/ konkretisasi puisi, yaitu: (1)
ketaklangsungan ekspresi, (2) pembacaan heuristik dan retroaktif atau
hermeneutik, (3) matrix atau kata
kunci (key word), dan hypogram (hipogram berkenaan dengan
prinsip intertekstual).
a.
Ketidaklangsungan
Ekspresi
Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut
Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 210) disebabkan oleh tiga hal: penggantian
arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning),
dan penciptaan arti (creating of meaning).
Sebuah puisi mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang dikandungnya
(Riffaterre dalam Christomy, 2004: 251).
Puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau
hal-hal secra tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang
lain (Riffaterre dalam Pradopo, 2010: 210).
b.
Pembacaan
Heuristik dan Hermeunitik
Dalam rangka memahami dan mengungkap
“sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra, dikenal adanya istilah heuristik
(heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic). Kedua istilah itu, yang
secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik,
biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Hubungan antara heuristik dengan
hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab
kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan
heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai
pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis
(Nurgiyantoro, 2009: 33).
1)
Pembacaan
Heuristik
Menurut Nurgiyantoro (2009: 33) kerja
heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat
pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa
(yang bersangkutan). Jadi, bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang
sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Kerja heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. Namun
dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
pengarang justru diungkapan hanya secara tersirat, dan inilah yang disebut
sebagai makna intensional, intentional meaning.
Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra
haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu berupa pemahaman karya pada
tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja
heuristik di atas, ditafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya. Jika pada
tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada
tataran hermeneustik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain,
khususnya kode sastra dan kode budaya.
Jika kerja analisis kesastraan dimaksudkan
untuk memahami secara lebih baik sebuah karya, merebut makna (pursuit of
signs, menurut istilah Culler), menafsirkan makna berdasarkan berbagai
kemungkinannya, analisis tersebut sebenarnya telah melibatkan kerja
hermeneutik. Hermeneutik menurut Teuuw (dalam Nurgiyantoro, 2009: 33), adalah
ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang
lebih luas menurut maksudnya. Namun, teknik hermeneutik itu sendiri dapat
diterapkan dalam karya-karya yang lain selain karya sastra, misalnya dalam hal
penafsiran kitab suci (justru dari sinilah awal mulanya teori hermeneutik
berkembang).
Penafsiran karya sastra secara lebih
baik, di samping memerlukan pengetahuan (dan atau kompetensi) kode bahasa dan
kode sastra di atas, juga memerlukan kode budaya (lengkapnya: sosial-budaya).
Pengetahuan kode budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran,
mengingat karya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan
kondisi (baca: sistem) sosial-budaya masyarakat tersebut.
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak
dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan
bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Sajak dibaca secara linear
sebagai dibaca menurut struktur normatif bahasa.
Oleh karena itu, dalam pembacaan ini
semua yang tidak biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasikan (Culler dalam
Pradopo, 2010: 296) sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu,
kata-kata diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan
kalimat-kalimat puisi menjadi jelas. Begitu juga, logika yang tidak biasa
dikembangkan pada logika bahasa yang biasa. Hal ini mengingat bahwa puisi itu
menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
2)
Pembacaan
Hermeneutik
Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran
karya sastra, menurut Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 2009: 34) dilakukan dengan
pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman
unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dari sinilah kemudian, antara lain,
muncul istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutic
circle).
Pemahaman karya sastra dengan teknik
tersebut dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pemahaman secara
keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan
pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur
intrinsiknya, jadi bagian per bagian.
Pradopo (2010: 297) menyebutkan bahwa
pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai
akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan
konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak
langsung, dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan
pengorganisasian ruang teks (tanda-tanda visual).
c.
Matriks,
Model, dan Varian
Sebuah puisi berawal dari adanya matriks.
Puisi merupakan hasil dari penjabaran sebuah matriks. Matriks ini dapat berupa
satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana, yang
dijabarkan menjadi satu penjabaran yang lebih panjang dan kompleks (Riffaterre,
1978: 25). Itu berarti, matriks memberi makna kesatuan sebuah puisi, sehingga
dengan diketahuinya matriks pada puisi, dapat dikatakan bahwa pembaca telah
mengetahui tema puisi tersebut.
Riffaterre mengibaratkan sebuah puisi
dengan donat. Donat memiliki dua bagian yang tak terpisahkan, yaitu daging
donat dan ruang kosong yang menopang donat tersebut. Kedua bagian tersebut
saling mendukung dan saling memberi arti, yakni ruang kosong yang ada di tengah
daging tersebut justru menopang arti dari donat itu sendiri.
Begitu juga dengan sebuah puisi, bahwa
ruang kosong dalam puisi, sesuatu yang tidak hadir dalam teks puisi, sebenarnya
justru yang menopang lahir dan diciptakannya sebuah puisi. Dalam ruang kosong
tersebut terdapat pusat makna dari sebuah puisi. Riffaterre menyebut pusat makna
ini sebagai matriks. Oleh karena matriks diibaratkan sebagai ruang kosong, maka
matriks jarang terdapat dalam teks puisi. Matriks, di luar teks puisi,
ditentukan sendiri oleh pembaca. Dalam pembacaan puisi, pembaca hanya akan
menjumpai bentuk penjabaran (aktualisasi) dari matriks, yaitu model dan varian.
Model dan varian ini yang akan menyalurkan wujud nyata dari matriks.
Model adalah aktualisasi pertama dari
matriks. Model ini bisa berupa kata atau kalimat yang terdapat dalam bait
puisi, yang sekiranya dapat mewakili inti dari matriks. Untuk menemukan model
dalam puisi, dapat diketahui dari tingkat kepuitisan kata atau kalimat
tersebut. Kata atau kalimat yang dikatakan model memiliki tingkat kualitas
kepuitisan yang tinggi. Artinya, kata atau kalimat tersebut besifat monumental,
yang dapat mewakili keseluruhan makna teks dan menjadi latar penciptaan puisi.
Matriks dan model kemudian diaktualisasikan menjadi varian-varian. Bisa
dikatakan varian-varian ini merupakan bentuk penjabaran model yang terdapat dalam
setiap bait atau baris dalam puisi.
d.
Hubungan
Intertekstual (Hipogram)
Ada cara yang lain untuk memproduksi
makna karya sastra secara semiotik, yaitu prinsip intertekstualitas. Prinsip
intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Dikemukakan oleh
Riffaterre (dalam Pradopo: 2010: 300) bahwa sajak itu adalah response (jawaban, tanggapan) terhadap
sajak sebelumnya. Tanpa menempatkan sajak pada urutan kesejarahan, maka sifat
fundamental sajak itu tidak terungkap.
Hipogram adalah teks yang menjadi latar
penciptaan teks lain atau sajak yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain.
Seringkali sebuah sajak baru mendapat makna hakikinya bila dijajarkan dengan
sajak yang menjadi hipogramnya. Jadi, puisi itu tidak dapat dilepaskan dari
hubungan kesejarahannya dengan puisi sebelumnya. Pemaknaan puisi memang
berdasarkan pada analisis struktural untuk pertama kalinya, yaitu analisis
struktur intrinsiknya. Akan tetapi, seringkali makna strukturalnya ini belum
mencakup semua maknanya yang terkandung dalam sajak yang dianalisis tersebut.
Maknanya baru menjadi lebih sempurna bila dikontraskan dengan hipogramnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Unsur-unsur
Intrinsik dalam Puisi Malam Lebaran karya
Sitor Situmorang
Puisi merupakan karya sastra dengan
bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu
dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata harus terpilih agar
memiliki kekuatan pengucapan. Puisi dapat tercipta dengan indah karena ada
unsur-unsur penting yang mendukung di dalamnya. Dick Hartoko (1984, dalam
Herman J. Waluyo, 1987: 27) menyebutkan adanya dua unsur penting dalam puisi
yakni unsur tematik atau semantik puisi dengan unsur sintaksis puisi. Unsur
tematik atau semantik menunjuk ke arah struktur batin, sedangkan unsur
sintaksis mengacu ke struktur fisik. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat
ditelaah unsur-unsurnya hanya kaitannya dengan keseluruhan puisi. Selanjutnya,
Dick Hartoko menyebutkan unsur-unsur yang lazim dimasukkan ke dalam metode
puisi, yakni apa yang disebut verifikasi (didalamnya terdapat rima, ritma dan
metrum) dan tipografi.
Hutagalung (1967, dalam Zulfahnur, dkk.
1997: 18) mengungkapkan bahwa dalam penelitian tentang puisi dibangun oleh dua
unsur pokok, yaitu struktur dan tema serta amanat. Di dalam struktur mencakup
musikalitas korespondensi dan gaya. Tema mencakup kekayaan imajinasi,
kecendikiawanan, kearifan dan keaslian. Kedua unsur tersebut adalah unsur yang
saling menunjang dalam pemahaman puisi. Sebuah puisi seharusnya dipahami secara
keseluruhan yang melibatkan beberapa unsur sehingga didapat makna yang utuh.
MALAM LEBARAN
Bulan
di atas kuburan
1955
1.
Struktur
Batin dari Puisi Malam Lebaran karya
Sitor Situmorang
a.
Perwajahan
Puisi (Tipografi)
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti
halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya,
hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda titik.
Pada puisi Malam Lebaran, perwajahan
puisi yang ditampilkan begitu sederhana dan hanya terdiri dari dua baris. Puisi
yang tergabung dalam kumpulan puisi Sitor, Dalam
Sajak, yang diterbitkan pada tahun 1955 ini memiliki rata baris ke kiri.
Untuk baris kedua, —di atas kuburan,
preposisi —di tidak ditulis dengan huruf kapital seolah ia menyatu dengan baris
pertama meskipun diberi sekat oleh yang namanya loncatan baris.
Malam
Lebaran merupakan genre karya sastra puisi yang bentuknya
modern dan bebas dari aturan berpuisi, tidak bersajak, dan merdeka.
b.
Diksi
Sudah seperti hukum wajib bagi para
pembaca ataupun penyair, puisi yang indah tidak lepas dari diksi yang
terkandung. Katakan, para pembaca tersihir akan keindahan puisi yang sarat akan
kata-kata indah nan emosional yang mendayu-dayu. Diksi sendiri merupakan
pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisi, digunakan sebagai
senjata penyingkap emosi yang digambarkan sang penyair. Oleh sebab itu, diksi
dengan jenis karya sastra seperti puisi memiliki keterkaitan berupa keselarasan
makna, arti, dan amanat dari puisi itu sendiri.
Unsur diksi adalah pilihan kata atau
frase dalam karya sastra (Abrams, 1981). Setiap penyair akan memilih kata-kata
yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang
ingin dicapai. Diksi juga sering menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman
tertentu. Aspek leksikal sangatlah penting dalam karya sastra. Aspek leksikal
adalah satuan bentuk terkecil dalam konteks struktur sintaksis dan wacana
(Nurgiyantoro, 2014: 172).
Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang diciptakan bersamaan dengan
kurang lebih pengalaman yang memang benar terjadi di kehidupannya sehingga pemilihan
kata-kata yang ada cenderung sederhana dan sering digunakan dalam percakapan
sehari-hari.
Lebih dari pada itu, sebuah jenis karya
sastra seperti puisi, pemilihan kata-kata yang diterapkan tidak melulu
menampilkan makna yang sesungguhnya. Kembali lagi pada sifat kodrati sastra
yang arbriter, makna dan arti itu tidak terpaku kepada satu pemahaman persona
saja.
c.
Imaji
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata
yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran,
dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif),
imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji
dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan
seperti apa yang dialami penyair.
Meskipun mendapatkan predikat sebagai
puisi paling singkat yang pernah ada, Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang tidak lepas dari adanya imaji yang memacu
para pembaca untuk ikut memvisualisasikan situasi yang digambarkan dalam puisi.
Melalui judul saja sudah menimbulkan
imaji penglihatan mengenai suasana malam lebaran yang bisa ramai atau sepi.
Seperti halnya bulan yang bertengger di langit malam tepat di atas sebuah
kuburan tentu tidak sulit untuk dibayangkan. Serta bagaimana keadaan kuburan
pada saat malam hari menimbulkan imaji tersendiri bagi para pembaca seperti,
angker, sepi, dan berhantu.
Akan tetapi yang menjadi catatan adalah
fakta bahwa bulan tidak muncul pada saat malam lebaran karena bersifat bulan
baru. Hal ini lebih jelas akan dibahas dalam pembahasan semiotik.
d.
Kata
Konkret
Kata konkret yaitu kata yang digunakan
penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan
maksud untuk membangkitkan imaji pembaca.
Penggunaan kata konkret pada genre
sastra menimbulkan imaji yang akan menjalar di dalam benak pembaca serta sarat
akan lambang atau makna. Demikian yang nampak pada kata-kata konkret dalam Malam Lebaran seperti:
Malam,
masa
setelah matahari terbenam hingga terbit, raja kegelapan, masa yang tepat bagi
hati dan jiwa untuk berkontemplasi.
Lebaran,
hari
kemenangan bagi umat muslim setelah sebulan berpuasa, penuh dengan kebahagian,
masa puncak bagi keluarga dan teman berkumpul.
Bulan,
melambangkan kesepian, jauh dari keramaian, bayangan yang selalu mengikuti bumi
dan matahari, kesendirian, kehampaan.
Kuburan,
tanah tempat menguburkan mayat, kematian.
e.
Gaya
Bahasa
Gaya Bahasa yaitu penggunaan bahasa yang
dapat meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna.
Seringkali puisi itu menyatakan sesuatu
secara kebalikannya. Hal ini untuk membuat para pembaca berfikir dan terfokus
pada apa yang dikatakan pada puisi. Kontradiksi atau pertentangan ini
disebabkan oleh paradoks dan ironi. Menurut Pradopo (2007: 288), paradoks
adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan
dalam wujud bentuknya.
Malam
Lebaran memang murni tercipta dan berasal dari pengalaman
pribadi Sitor namun apa yang diungkapkan menimbulkan pertentangan pada realita.
Seperti hal yang diketahui secara umum, bulan tidak akan terlihat pada malam
lebaran atau bulan Syawal. Dan, kenyataan yang ada itu pun terkontras dengan
apa yang dikemukakan Sitor dalam potongan sajaknya, Bulan di atas kuburan.
Selain itu, dalam sepotong sajak itu
juga terdapat bahasa kiasan sinekdoke yaitu gaya bahasa untuk menyebutkan satu
bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri
(Altenbernd dalam Pradopo, 2007: 78). Hal ini pun dengan jelas nampak pada Bulan di atas kuburan yang termasuk ke
dalam sinekdoke totum pro parte,
bahasa kiasan yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Kata bulan merupakan totum pro parte yang menyebutkan bulan secara umum sebagai
pengganti bulan yang terlihat oleh tokoh aku dalam puisi tersebut.
f.
Rima
Rima atau persajakan adalah perulangan
bunyi yang sama dan teratur dalam puisi. Rima itu secara linguistik tidak
memiliki arti, tetapi menimbulkan makna yang mendalam. Rima dapat menunjukkan
perasaan senang, sedih, tertekan, menderita, kecewa, marah, dan lainnya.
Hal eksentrik lainnya yang ada pada Malam Lebaran karya Sitor ini ialah rima
kembar yang ada dalam dua baris sajaknya. Rima kembar (a a b b), yaitu apabila
kalimat dalam dua baris dalam bait berirama sama. Rima kembar terhubung satu
sama lain secara langsung dalam dua baris di setiap bait.
Bulan
di
atas kuburan
2.
Struktur
Batin dalam Puisi Malam Lebaran karya
Sitor Situmorang
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan penyair dan stuktur batin puisi mengungkapkan apa
yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya
(Herman J.Waluyo, 1987:102). I.A.Richards dalam J.Waluyo (1991:106) menyebutkan
makna atau stuktur batin itu dengan istilah hakekat puisi.
a.
Tema
Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia (2004:803)
tema adalah gagasan, ide pokok, atau pokok persoalan yang menjadi dasar cerita.
Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Stanton dan Jenny C (via
Nurgiantoro, 2002:67) berpendapat bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita. Persoalan yang ada pada puisi ini adalah tema kemanusiaan dan
spiritual.
b.
Rasa
Pengungkapan rasa yang tepat oleh penyair melalui
karyanya tidak hanya mengacu pada diksi, citraan, ataupun gaya bahasa. Pengaruh
yang melekat terhadap bagaimana tersampaikannya rasa penyair itu erat kaitannya
dengan pengalaman, latar belakang sosiologis dan psikologis sang peyair itu
sendiri.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Malam Lebaran hadir sebagai interpretasi
pengembangan pengalaman pribadi yang sudah Sitor alami. Perasaan yang
terekspresikan melalui pemilihan kata-kata dalam sajak Malam Lebaran menera sebuah keadaan hampa di tengah keramaian dan
kehangatan sebuah malam bertajuk malam lebaran. Rasa kesepian itu diwakili oleh
sang Bulan yang bertengger seorang
diri di atas sebuah makam. Makam atau
kuburan mengingatkan kita akan
keadaan sunyi dan senyap setelah mati.
c.
Nada
Nada pada puisi Malam
Lebaran bernada rendah. Dibutuhkan sikap untuk mendalami perasaan yang
terwarna dalam setiap katanya. Penyair menceritakan pengalaman yang pernah
dialami dalam dimensi yang berbeda dan mengingatkan kita akan kesunyian yang
memang menjadi teman akrab suasana kuburan serta sang bulan yang menggantung di
atasnya.
d.
Amanat
Pesan yang Sitor harap bisa kita terima melalui
puisi ini ialah sebuah masa yang kurang lebih akan kita hadapai sebagai makhluk
bernyawa. Kesendirian yang pasti pernah ada pada tiap diri manusia tidak akan
bertahan selamanya, setiap waktu pasti akan ada satu dua persona atau hal yang
akan bertahan dan menemani hingga akhir. Penyair seolah mengingatkan bahwa
tidak selamanya manusia akan merasa bahagia meskipun di luar terlihat bahagia.
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM
PUISI MALAM LEBARAN KARYA SITOR
SITUMORANG
A.
Deskripsi
Puisi Malam Lebaran
Sajak Malam Lebaran Sitor pertama kali
dimunculkan dalam kumpulan puisi Dalam
Sajak, diterbitkan pada 1955. Puisi itu lahir ketika Sitor hendak
mengunjungi salah satu temannya beberapa hari setelah lebaran. Sitor, dalam
pengakuan puteranya Gulontam mengatakan, jalan yang musti ia ambil menuju rumah
temannya itu memang melewati kuburan di daerah Karet. Saat itu daerah yang
dilewati masih belum ada penerangan listrik. Mendadak, bulan muncul dari balik
awan. Sitor sendiri tidak terlalu memusingkan perdebatan seputar sajaknya.
Setiap persona berhak untuk menginterpretasikan arti dan makna itu dalam
berbagai kaidah. Sitor pribadi hanya ingin menuangkan seni dari pengalaman
sehari-hari yang dirasakannya.
B.
Pembacaan
Heuristik dan Hermeneutik Puisi Malam
Lebaran
Tahap pertama dalam penelitian ini
adalah pembacaan puisi secara heuristik, artinya bahwa bahasa puisi diubah ke
dalam bahasa biasa untuk mempermudah pemahaman isi puisi sebelum analisis ke
tahap selanjutnya. Berikut pembacaan heuristik puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Pembacaan hermeneutik/retroaktif adalah
pembacaan ulang secara keseluruhan dengan penafsiran. Dalam tahap ini dilakukan
penafsiran yang lebih mendalam atau disebut pula pembacaan tingkat kedua.
Dari judulnya tampak bahwa puisi di atas
bercerita tentang penampakan bulan di atas kuburan yang terlihat pada malam
lebaran. Namun yang justru menjadi pertanyaan besar bagi logika adalah ketika melisankan
puisi tersebut dengan judul dan isi yang dibaca tanpa tanda baca, Malam lebaran Bulan di atas kuburan.
Hal itu terdengar sangat janggal. Pada
kenyataannya bulan tidak akan muncul pada malam lebaran yang jatuh pada satu
Syawal dalam pengaturan kalender Islam. Atas dasar hal tersebut, beberapa orang
memaknai jika Sitor tidak memahai kenampakan bulan sesuai dengan sistem
penanggalan Hijriyah. Hal itu pun tentu tidak dapat disalahkan, mengingat puisi
merupakan perwujudan imajeri. Kendati rasionalitas dalam pemaknaan puisi juga
tidak bisa diabaikan, maka dari itu latar belakang pembuatan puisi oleh Sitor
dijadikan sebagai referensi.
Konon, pada suatu malam sehari setelah
lebaran Sitor hendak berkunjung ke rumah salah satu sahabatnya, beliau
tersesat. Pada saat tersesat itu, Sitor melihat tembok putih lalu penasaran
terhadap apa yang ada di balik tembok itu. Setelah diperiksa ternyata adalah
sebuah taman pemakaman. Dari peristiwa tersebut muncul kata kunci Malam Lebaran dan kuburan.
Secara keseluruhan, puisi Malam Lebaran megandung absurditas dan
kemustahilan dari padanan kenyataan. Namun bukan berarti puisi tersingkat yang
pernah ada ini miskin makna serta nilai-nilai. Hal ini pun dapat ditandai
dengan melihat perumpamaan yang ada dalam puisi tersebut. Sesuatu yang sederhana dan memang terpampang
dalam tiap-tiap momen kehidupan sehari-hari namun memiliki makna yang
menakjubkan, sesuai dengan kaidah puisi ekspresif. Tembok putih yang dilihat
oleh penyair menutupi pemakaman itu diindikasikan dengan bulan sehingga terciptalah bulan
di atas kuburan.
Penggambaran sebuah kenyataan dari
penampakan bulan di atas kuburan pada malam lebaran memperkuat sisi
ungramatikal yang dikandung oleh puisi itu. Dikatakan menimbulkan
ungramtikalitas karena sekali lagi bulan tidak muncul saat malam lebaran yang
jatuh pada awal bulan Syawal dan yang membuat sajak ini menjadi faktor bagi
ungramatikalitas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, dalam menyikapi puisi
sederhana yang penuh akan makna dan imajinasi tidak pula semudah dan sesingkat
bentuknya itu sendiri. Selain logika umum, perlu pemahaman nilai-nilai
kemanusiaan dan religi yang dipadupadankan agar mencapai makna dan arti yang
diharapkan. Hal-hal ini pun lekas mendorong proses pembacaan bergerak, yang
tadinya bersifat mimetik dan lingustik menuju ke tahap pembacaan hermeneutik
yang melingkar dan berdasarkan ekstra-linguistik.
Ungramatikalitas yang terkandung dalam
puisi yang terbit pada tahun 1955 ini lantas menemukan titik terang, menyikapinya
dengan lebih humanistik dan realisitik. Dengan bantuan pemahaman itu maka
timbul penafsiran bahwa pada malam lebaran, masa di mana para umat Muslim
merayakan hari kemenangan, terdapat satu dua ketiadaan yang tak terhindari. Hal
itu pun jelas ditandai dengan bulan yang bertengger di atas kuburan. Bulan yang
menggantung di angkasa itu hanya satu dan sendiri lalu kuburan melambangkan
kehampaan dan kegelapan yang berkarib dengan kesendirian. Malam lebaran yang
seharusnya dibuat bahagia dan penuh syukur diinversikan dengan kesendirian dari
indikasi bulan dan kuburan. Lantaran sebuah puisi identik
mengantitesiskan realitas dengan puisi, tidak melulu landasan logika umum mampu
memecah nilai-nilai kehidupan yang Sitor Situmorang tuang dalam puisinya.
Dengan demikian, penampakan bulan di
atas kuburan saat malam lebaran bukan hanya saja sentilan tidak ilmiah nan
ungramatikalitas melainkan sebuah sindiran tajam yang memperkatakan nilai-nilai
spiritual yang ada pada kehidupan masyarakat di Indonesia. Lebaran dimaknai sebagai
penuntasan ujian setelah melalui satu bulan penuh berpuasa. Karena selalui
ditandai dengan kemeriahan dan kebahagiaan ramadan, euforia lebaran membuat
banyak orang terlena, mulai dari yang muda hingga tua. Mereka lantas menjadi
sejenak lupa pada penderitaan orang lain maupun diri mereka sendiri. Hal ini
tentu bekal kodrati setiap manusia yang Tuhan berikan. Euforia malam lebaran
lantas dioposisikan dengan individualitas dari gambaran bulan dan kuburan—bulan
pada konten ini memiliki makna ganda seperti kesendirian dan kesucian—,
mengejawantahkan kesedihan yang tidak sedikit masyarakat Indonesia pernah
alami.
Hal ini pun menjadi masuk akal, pada
malam lebaran masih ada sebagian dari masyarakat yang bahkan terpaksa
‘berpuasa’ dan terpaksa kelaparan. Banyak pula yang bersedih lantaran tidak
dapat mudik ke kampun halaman, berkumpul dengan keluarga dan orang-orang
terkasih. Karena dalam lebaran Allah SWT menjanjikan kehangatan dan nikmat
surgawi bagi para hamba-Nya tanpa syarat tetapi mereka justru dipaksa memilih
untuk berdiam diri saja mendengar takbir yang berkumandang di segala penjuru.
Menanggalkan momentum lebaran dalam ketiadaan hidupnya sehingga tidak
mengherankan apabila pada sajak ini terwakilkan dengan kuburan.
Malam, secara sempit memiliki persamaan
makna dengan gelap, sepi, dam sunyi. Penempatan malam sendiri tentu kaidahnya
tak lepas dari kata bulan yang tersemat, apabila tak ada bulan sekalipun tidak
dapat dipungkiri juga imajeri tak terbatas dalam puisi yang mempengaruhi.
Manusia, misalnya, selalu menjalani kehidupan yang sulit dan memilih malam
sebagai waktu berkontemplasi yang tepat sehingga tidak jarang kesedihan,
kepedihan, dan kesendirian yang bisa timbul selalu sarat akan temporalitas
bertajuk malam hari.
Secara semantik, bulan bisa berarti benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada
malam hari karena pantulan sinar matahari. Namun bulan juga memiliki makna
sebagai penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama satu
tahun. Berawal dari kajian semantik pada kata bulan ini, dapat diambil
simpulan, bulan yang bermakna benda
langit pada pengertian pertama dipakai sebagai semiotik puitika (bahasa
lambang).
Meskipun puisi Malam Lebaran sangat singkat, puisi tersebut justru memiliki intensi
dan pesan yanng besar bagi manusia. Kemeriahan malam lebaran sejenak
mendistorsi kepedulian terhadap penderitaan yang nyatanya masih saja dirasakan
oleh sesama manusia. Terlahir kembali bukan menuju fitrah melainkan ranah pengasingan diri dari pelukan Allah sehingga
kita lupa untuk bersyukur dan berbagi. Kuburan mengingatkan kita akan kelebihan
berpengeluaran di hari raya lebaran yang tidak berfaedah. Makna bulan di atas kuburan, terang di atas gelap,
meluruskan niat awal untuk selalu berbagi kepada sesama. Dengan demikian,
kebahagiaan tidak hanya dinikmati oleh sebagian orang saja, tetapi semua orang
juga berkesempatan di hari raya.
Maka sudah sepantasnya, Malam Lebaran menyajikan impresi yang
luar biasa hebat, dramatis dan religius—di luar dari Sitor Situmorang yang
seorang non-muslim—, mengingat akan kodrati seorang muslim yang sekiranya
menghempaskan jangka dan konon merayakan kemenangan atas perjuangan sebulan
penuh berpuasa.
C.
Ketidaklangsungan
Ekspresi pada Puisi Malam Lebaran
Karya Sitor Situmorang
Hal yang harus diperhatikan dalam memaknai
sebuah puisi yaitu mengartikan ketidaklangsungan-ketidaklangsungan yang
terdapat dalam puisi. Riffaterre (1978: 1) mengemukakan bahwa puisi itu dari
waktu ke waktu selalu berubah disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan
evolusi selera. Akan tetapi, ada satu sifat yang tetap, yaitu puisi menyatakan
suatu hal dengan arti yang lain. Jadi, ada ketidaklangsungan ekspresi dalam
puisi. Ketidaklangsungan itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga
hal, yaitu penggantian arti (displacing
of meaning), penyimpangan arti (distorting
of meaning), dan penciptaan arti (creating
of meaning).
Pada umumnya kata-kata kiasan
menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi
(Riffaterre dalam Pradopo, 2010: 212). Metafora itu bahasa kiasan yang
menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama
(Altenbernd dalam Pradopo, 2010: 212). Penggantian arti berarti bergantinya
suatu arti dari kata atau kalimat yang digantikan dengan arti lain melalui
bahasa kiasan. Dalam penggantian arti ini, suatu arti kata memiliki arti yang
lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang ini terdapat penggantian arti
melalui bahasa kiasan paradoks dan totum
pro parte. Penyimpangan arti terletak pada ditemukan pada puisi dan sajak
secara keseluruhan.
Malam
Lebaran memang murni tercipta dan berasal dari pengalaman
pribadi Sitor namun apa yang diungkapkan menimbulkan pertentangan pada realita.
Seperti hal yang diketahui secara umum, bulan tidak akan terlihat pada malam
lebaran atau bulan Syawal. Dan, kenyataan yang ada itu pun terkontras dengan
apa yang dikemukakan Sitor dalam potongan sajaknya, Bulan di atas kuburan.
Selain itu, dalam sepotong sajak itu
juga terdapat bahasa kiasan sinekdoke yaitu gaya bahasa untuk menyebutkan satu
bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri
(Altenbernd dalam Pradopo, 2007: 78). Hal ini pun dengan jelas nampak pada Bulan di atas kuburan yang termasuk ke
dalam sinekdoke totum pro parte,
bahasa kiasan yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Kata bulan merupakan totum pro parte yang menyebutkan bulan secara umum sebagai
pengganti bulan yang terlihat oleh tokoh aku dalam puisi tersebut.
Dikemukakan Riffaterre bahwa
penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun
nonsense (Pradopo, 2010: 213). Arti
atau makna bahasa puisi itu menyimpang atau memencong dari arti bahasa yang
tertulis (bahasa dalam teks). Penyimpangan atau pemencongan arti (makna) itu
disebabkan oleh tiga hal (Riffaterre, 1978: 2), yaitu: (1) ambiguitas
(ketaksaan), (2) kontradiksi yang disebabkan oleh ironi dan paradoks, dan (3) nonsense. Dalam puisi Malam Lebaran ditemukan penyimpangan
kontradiksi dan nonsense, sedangkan ambiguitas
tidak ditemukan. Dalam hal ini, kontradiksi disebabkan oleh ironi. Penyimpangan
arti pada puisi Malam Lebaran ditemukan
pada puisi dan sajak secara keseluruhan.
Kontradiksi pada puisi Malam Lebaran terletak pada judul hingga
baris terakhir puisi. Malam lebaran yang selalu dikaitkan dengan kemeriahan dan
kebahagiaan malah disandingkan dengan kesepian dan kesunyian yang menjelma
dalam bulan dan kuburan.
Nonsense
adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu
ciptaan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti
secara linguistik, tetapi mempunyai makna dalam puisi karena konvensi puisi.
Seperti halnya absurditas pada isi keseluruhan Malam Lebaran. Tidak masuk akal apabila pada bulan Syawal akan
muncul bulan di langit.
Bila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal
ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya
simitri, rima, enjambement, atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan-persamaan posisi
dalam bait (homologues) (Pradopo,
2010: 220). Penciptaan arti adalah terciptanya arti baru yang disebabkan oleh
bentuk visual puisi. Bentuk visual tersebut secara linguistik tidak memiliki
arti, namun jika dilihat dari segi semiotik, maka unsur-unsur tersebut
merupakan sebuah tanda yang dapat menciptakan makna baru dalam puisi.
Menurut Riffaterre (1978: 2), penciptaan
arti baru terjadi karena disebabkan oleh adanya bentuk visual puisi yang
meliputi rima, Enjambement, dan
tipografi. Dalam puisi Malam Lebaran
terdapat penciptaan arti yang disebabkan oleh Enjambement dan rima.
Enjambement
adalah pemenggalan kata ke dalam baris berikutnya. Pemenggalan ini secara tata
bahasa tidak memiliki makna, namun dalam konvensi sastra, Enjambement berfungsi sebagai penekanan/penegasan pada baris
tersebut. Pada puisi Malam Lebaran
terdapat Enjambement (Zeilensprung),
yaitu ketika kalimat itu merupakan kalimat lengkap.
MALAM
LEBARAN
Bulan,
di
atas kuburan.
Terjadi pemenggalan sehingga menimbulkan
peloncatan baris yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata
akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Hal tersebut menimbulkan
penekanan atau penegasan pada kuburan.
D.
Matriks,
Model, dan Varian dalam Puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang
Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang ini banyak mengemukakan
nilai-nilai absurditas namun humanistik. Ketidakmasukalan makna yang tidak
terterima secara logika (absurditas makna) yang secara tak langsung memandang
susunan kata dalam teks dianggap absurd. Dalam artian timbulnya absurditas
makna karena dipandang adanya ketidakmasukakalan kata-kata (absurditas teks)
tertuang pada sebuah puisi, sehingga seringkali menjadikan citraan yang
diinginkan para seniman maupun penyair meninggalkan beragam asumsi pada
penikmat baca/penghayat apabila tidak boleh dikatakan menimbulkan satu
penolakan visualisasi dari citraan yang ditimbulkan oleh teks puisi yang
dimaksud (Imam Tohari dalam Jurnal Online,
Absurditas Makna Simbol Puisi “Malam Lebaran”
Sitor Situmrang: 2013).
Malam lebaran jatuh pada bulan Syawal
dan pada saat itu bulan tidak akan muncul. Kenyataan ini pada dasarnya adalah
absurditas teks dan ungramatikalitas. Selain itu, isi keseluruhan yang dipaparkan
Bulan di atas kuburan sebagai bahasa
kiasan atas makna dan arti yang dibelokkan sepantasnya menghasilkan makna
artifisial baru. Kesendirian di dalam kemeriahan, momentum kesepian dalam
ketiadaan di tengah masyarakat.
Matriks pada puisi Malam Lebaran adalah reinkarnasi Sitor Situmorang terhadap
pengalaman personal yang memang pernah terjadi. Matriks ini pun
ditransformasikan menjadi model malam
lebaran. Dan, model tersebut ditransformasikan menjadi varian-varian yang
terjelaskan pada sajak puisi Malam
Lebaran.
Oleh sebab itu, segenap absurditas teks
merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linier di
dalam teks, yaitu absurditas teks yang mengandung sebuah kedalaman nilai
kontemplasi seorang manusia, spritualistik, dan mengutamakan perasaan.
E.
Hipogram
dalam Puisi Malam Lebaran Karya Sitor
Situmorang
Matriks
absurditas teks yang mengandung sebuah kedalaman nilai kontemplasi seorang
manusia, spiritualistik dan mengutamakan dapat dikatakan sebagai hipogram. Demikian
hipogram untuk matriks yang satu ini secara tekstual mengingatkan kapanpun dan
di manapun keindahan senantiasa diingatkan dengan kematian. Absurditas teks
yang menyajikan hipogram di atas pun secara jelas menyatakan bahwa kehidupan
adalah dua mata koin, two side of coins.
BAB V
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan
analisis pada puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pembacaan
heuristik menimbulkan absurditas teks atas pengalaman Sitor secara personal
mengenai tembok putih yang menutupi pemakaman dikondisikan secara puitika
menjadi bahasa kiasan Bulan di atas
kuburan. Selanjutnya, pembacaan hermeneutik menghasilkan kedalaman
nilai-nilai moral yang ada pada masyarakat dan memang teraktualisasikan di
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Ketidaklangsungan
ekspresi dalam Malam Lebaran meliputi
penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti
melalui bahasa figuratif paradoks dan totum
pro parte. Penyimpangan arti ditandai dengan paradoks yang menghasilkan
kontradiksi dan nonsense dari
absurditas teks yang terkandung. Serta penciptaan arti ditandai dengan Enjambement (Zeilensprung).
3. Matriks,
model, dan varian-varian dalam puisi Malam
Lebaran yakni perwujudan pengalaman personal serta kedalaman nilai moral,
spritualistik, dan perasaan manusia ke dalam ketidakmasukakalan makna
(absurditas teks). Sehingga dapat disimpulkan tema dari puisi Malam Lebaran adalah humanistik dan
spritiualistik.
4. Hipogram
dalam puisi Malam Lebaran ini
merupakan hipogram esensial yang merupakan rainkarnasi pengalaman pribadi Sitor
Situmorang setelah tersesat di dekat pekuburan saat berkunjung ke rumah
sahabatnya, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah karya sastra berjenis
puisi.
B.
Saran
1. Penelitian
terhadap karya sastra (puisi) dengan menggunakan analisis semiotika Riffaterre
di Program Studi Sastra Indonesia masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, akan
lebih baik jika pada penelitian karya sastra (puisi) selanjutnya juga menggunakan
teori semiotika Riffaterre agar lebih banyak tersedia litetatur mengenai
menganalisis karya sastra (puisi) dengan melalui tahapan-tahapan (empat aspek)
yang sudah ditentukan, sehingga akan diperoleh makna yang lebih mendalam dan
utuh.
2. Menganalisis
secara semiotik adalah kerja besar. Oleh karena itu perlu keseriusan,
pemahaman, dan ketelitian yang baik guna memperoleh hasil yang baik dan
pemahaman yang mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Arfan,
Khusnul. SKRIPSI: ANALISIS SEMIOTIKA
RIFFATERRE DALAM PUISI DAS THEATER, STÄTTE DER TRÄUME KARYA BERTOLT BRECHT.
2013. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas
Negeri Yogyakarta
------------.
Diktat Semiotika Riffaterre dalam Telaah
Puisi I. 2016.
Tohari,
Imam. Jurnal Online: Absurditas Makna
Simbol Puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang. 2013. https://web.facebook.com/notes/imron-tohari/absurditas-makna-simbol-puisi-malam-lebaran-sitor-situmorang/10151282981678174/?_rdr
27/07/2016 11:34 AM
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160120122601-241-105523/malam-lebaran-sajak-ikonik-sitor-situmorang/
05/08/2016 10:50 AM
Sabda,
Pelitaku. Sitor Situmorang. http://pelitaku.sabda.org/sitor_situmorang 05/08/2016 10:51 AM
Sunardian.
Malam Lebaran Bulan di Atas Kuburan.
2013. http://sunardian.blogspot.co.id/2013/08/malam-lebaran-bulan-di-atas-kuburan.html
14/08/2016 08:37 PM
kata kunci: sastra, sastra indonesia, telaah puisi, semiotika, rifaterre, sitor situmorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar