Senin, 12 Desember 2016

ANALISIS SEMIOTIK RIFATERRE DALAM PUISI MALAM LEBARAN KARYA SITOR SITUMORANG

WHOAAAAAAA UDAH LAMA BENER NGGA UPDATE BLOG INI. WELL. KKARENA SATU DUA OBROLAN BLOG DENGAN TEMAN YANG BAIK HATI KARENA SUDAH MEMBERIKAN TUMPANGAN WIFI-AN GRATIS, HAHAHA.
WELL INI SIH SEBENERNYA TUGAS WAKTU SEMESTER EMPAT KEMARIN, TELAAH PUISI I YANG SANGAT BERFAEDAH. HAHA. WELL. SAYA SHARE INI SEMOGA BERMANFAAT YA. MONGGO DICEK~~




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Puisi adalah salah satu genre atau jenis sastra. Seringkali istilah”puisi” disamakan dngan “sajak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak sama, puisi merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggris, puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastra (puisi) ataupun individu sastra (sajak) (Pradopo, 2010: 278).
Sebuah puisi dikatakan estetis ketika dalam strukturnya ditemukan unsur-unsur pembangun puisi yang mengandung nilai estetika. Identik dengan padanan kata-kata yang mendayu-dayu, puisi secara aklamasi dicirikan wajib mengandung diksi yang indah. Pun dengan syariat bentuk puisi yang terdiri minimal empat baris (puisi lama), seiring dengan perkembangan jaman struktur puisi tidak hanya terpaku pada empat baris perbait melainkan bentuk-bentuk artifisial yang membentuk makna (lihat puisi Sinka Winka karya Gunawan Moehamad) atau bahkan hanya terdiri dari satu baris saja.
Hal ini tentu merujuk lagi pada preferensi penyair dalam berkarya. Puisi bukanlah susunan kata-kata yang membentuk baris dan bait, melainkan sesuatu yang terkandung di dalam kata, baris dan bait itu. Tegasnya, puisi adalah keindahan dan suasana tertentu yang tekandung di dalam kata-kata (Kleden). Puisi pada dasarnya adalah bahasa kiasan, terkonsentrasi sehingga bentuk kedua ekspresif dan menggugah (Harold Bloom). Namun pandangan lain yang kurang lebih sepadan muncul dari pujangga dunia sekaliber William Shakespeare, yakni puisi adalah lirik karena membingungkan berbagai bentuk, seperti perbuatan rumit dengan emosi sendiri dan pandangan penulis.
Dalam praktek kepenulisannya, puisi memiliki banyak ragam bentuk mengitkuti perkembangan jaman seperti yang diungkapkan Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Keragaman puisi disebabkan oleh perbedan jaman dan generasi yang terus menciptakan karya-karya baru, misalnya adalah perkembangan kesusastraan Indonesia yang mengikuti arus politik, reformasi, dan pergolakan yang terjadi pada era itu. Puisi diciptakan pada awalnya untuk mengungkapkan perasaan dan mengisahkan pengalaman. Selain itu, akhirnya juga sebagai kritik sosial maupun kritik terhadap pemerintah.
Salah satu penyair kenamaan Indonesia yang terkenal lainnya adalah Sitor Situmorang. Dia adalah seorang wartawan, penyair, dan dosen. Puisi-puisi Sitor oleh banyak pengamat disebut sebagai tonggak yang mewakili perkembangan puisi modern Indonesia.
Harry Aveling, Direktur Asian Studies School of Social Science La Trobe University, Australia, melihat bahwa sajak Sitor Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya sebagai pemeluk agama Kristen. Dia menjuluki Sitor Situmorang "penyair agung" karena dia terus berkarya selama lebih dari 60 tahun dan menghasilkan lebih dari 600 sajak. Tidak hanya puisi, Sitor juga terlibat dalam dunia penerjemahan. Dia menerjemahkan karya John Wyndham, E. Du Perron, R. S. Maenocol, M. Nijhof. Beragam karya sastra Sitor Situmorang yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner inilah yang menjebloskan Sitor Situmorang di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta, tanpa melalui proses peradilan. Beliau dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya. Sitor tidak diizinkan masuk tahanan dengan membawa pena atau kertas. Namun demikian, walaupun berada dalam penjara Sitor tetap mencari akal untuk berkarya. Dia berhasil merilis dua karya sastra yang berhasil dia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977) (http://pelitaku.sabda.org/sitor_situmorang).
Sajak Malam Lebaran pertama kali dimunculkan dalam kumpulan puisi Dalam Sajak, diterbitkan pada 1955. Puisi itu lahir ketika Sitor hendak mengunjungi salah satu temannya beberapa hari setelah Lebaran. Sitor, dalam pengakuan puteranya Gulontam mengatakan, jalan yang musti ia ambil menuju rumah temannya itu memang melewati kuburan di daerah Karet. Saat itu daerah yang dilewati masih belum ada penerangan listrik. Mendadak, bulan muncul dari balik awan. Sitor sendiri tidak terlalu memusingkan perdebatan seputar sajaknya. Setiap persona berhak untuk menginterpretasikan arti dan makna itu dalam berbagai kaidah. Sitor pribadi hanya ingin menuangkan seni dari pengalaman sehari-hari yang dirasakannya.
Sitor terkenal dengan beberapa karya kumpulan puisi yang menggambarkan pengalaman hidupnya berkelana di ranah asing hingga pengasingan di negeri sendiri. Puisi karya Sitor berciri khas menggunakan bahasa yang sederhana dan lugas. Bahasa yang Sitor gunakan merupakan ciri puisi objektif. Hal ini yang membedakannya dari puisi ekspresionisme (bahasa puisi dituturkan dengan penuh perasaan dan muluk-muluk).
Oleh sebab itu, dari banyaknya puisi mahakarya gubahan Sitor Situmorang, penulis memilih Malam Lebaran. Meskipun hanya diisi oleh satu baris, kata-kata yang dituangkan juga begitu sederhana dan lugas, puisi tersebut justru sangat menarik untuk dikaji makna dan artinya secara bersamaan.
Namun daripada itu, puisi yang isinya begitu sederhana dan lugas tidak berarti miskin makna. Sastrawan Jerman, Bertolt Brecht, menegaskan bahwa puisi bukanlah sebatas penggambaran perasaan yang sarat akan suka dan duka saja. Puisi pun mampu diarahkan menuju kejadian-kejadian atau pengalaman yang logis dan nyata, nampak dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan memang benar, bahwa karya sastra sekaliber puisi tidak serta merta lahir dalam kekosongan budaya.
Badrun (1989: 2) menyatakan, bahwa selain bersifat puitis, bahasa puisi juga merupakan bahasa multidimensional, yang mampu menembus pikiran, perasaan, dan imajinasi manusia. Puisi juga merupakan karya seni yang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Dengan sifat dan ciri khususnya itu menyebabkan puisi berbeda dengan karya-karya lain. Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan jenis karya sastra lain terletak pada kepadatan bahasa yang digunakan.
Biasanya penikmat puisi merasa kesulitan dalam memahami maksud penyair. Salah satu penyebab dalam kesulitan tersebut adalah karena bahasa yang digunakan pengarang seringkali menyimpang dari arti sebenarnya atau semantik. Penyimpangan semantik berarti bahwa bahasa yang digunakan seringkali tidak menunjuk pada suatu makna, melainkan memiliki makna ganda atau kias (Waluyo, 1991: 68). Hal itu dipertegas oleh Riffaterre (1978: 1), bahwa sejalan perkembangannya, puisi selalu berubah dikarenakan perbedaan konsep estetik dan perubahan selera. Akan tetapi ada satu ciri yang tetap, bahwa puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, atau bisa disebut sebagai ekspresi tidak langsung.
Bahasa puisi berbeda dengan pemakaian bahasa umum. Puisi menggunakan bahasa sehari-hari, tetapi memiliki makna lain. Artinya suatu karya puisi mengatakan satu hal dan memaksudkan hal lain. Puisi mengekspresikan konsep dan pikiran melalui ketidaklangsungan. Karena ketidaklangsungan ekspresi itu, pembaca atau penikmat puisi sulit untuk memahami makna yang diinginkan pengarang.
Dalam puisi terdapat tanda-tanda yang secara tidak langsung memiliki makna, yang jika digali akan mendapatkan tema puisi yang sesungguhnya. Dalam analisis ini, pemaknaan puisi Malam Lebaran dilakukan dengan cara mencari tanda-tanda penting yang terdapat dalam puisi kemudian memaknainya. Untuk mencari tanda-tanda tersebut tentu saja tidak bisa dilakukan dengan satu, dua atau tiga kali baca saja, tetapi membutuhkan pembacaan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, peneliti harus menelusuri kata-kata pada puisi untuk mencari tanda-tanda yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran dan tanda-tanda tersebut diberi makna. Dengan demikian, dapat ditelusuri tenunan-tenunan benang maknanya.
Oleh karena itu, teori yang cocok digunakan guna mendukung landasan analisis puisi Malam Lebaran ini adalah teori yang mempelajari tentang tanda atau semiotik. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis semiotika Riffaterre. Menurut Pradopo (2001: 4), dalam menganalisis puisi, Riffaterre menggunakan metode pemaknaan khusus. Namun pemaknaannya tidak terlepas dari pemaknaan semiotik pada umumnya, bahwa bagaimanapun juga, karya sastra merupakan dialektika antara teks dan pembaca. Dengan kata lain, pembaca memegang peran penting dalam pemaknaan karya sastra.
Penelitian mengenai analisis semiotika Riffaterre pada puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang belum pernah dilakukan di Universitas Pamulang, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menambah referensi penelitian karya sastra. Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat terhadap materi kesusastraan Indonesia di kelas, yakni berusaha memberikan kontribusi terhadap pengajaran puisi di Sekolah Menengah Atas dan dapat dijadikan media untuk pembelajaran Literatur (Sastra Indonesia) kepada peserta didik.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka fokus msalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana unsur-unsur intrinsik puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
2.      Bagaimana pembacaan heuristik dan hermeneutik puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
3.      Bagaimana ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
4.      Bagaimana matriks, model, dan varian dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
5.      Bagaimana hipogram dari Malam Lebaran karya Sitor Situmorang?
C.    Tujuan
Berdasarkan masalah yang akan dibahas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
2.      Mendeskripsikan pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
3.      Mendeskripsikan ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
4.      Mendeskripsikan matriks, model, dan varian dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
5.      Mendeskripsikan hipogram dari puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
D.    Manfaat Penelitian
Adanya kegiatan penelitian terhadap karya sastra diharapkan mampu menjembatani pemahaman antara karya sastra dan pembacanya. Oleh karena itu, ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari analisis ini, seperti berikut:
1.      Manfaat Teoretis
a.       Menambah pengetahuan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia tentang puisi karya Sitor Situmorang.
b.      Dapat menjadi referensi yang relevan untuk penelitian selanjutnya yang akan meneliti karya sastra dengan teori Riffaterre.
2.      Manfaat Praktis
a.       Mengetahui dan memahami pesan dan makna yang terkandung dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
b.      Menambah referensi dalam kekayaan makna dari puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.


BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Puisi
Puisi sebagai sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji melalui jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan (Pradopo, 2010: 1). Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) (Teeuw dalam Pradopo, 2010: 1).
Berdasarkan pendapat beberapa pakarnya, puisi memiliki pengertian sebagai berikut. Menurut Sayuti (1985: 1) puisi merupakan hasil kreativitas manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna. Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Riffaterre dalam Pradopo, 2010: 1). Altenbernd (dalam Pradopo 2010: 5) menambahkan, bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum).
Dalam poetika (ilmu sastra), sesungguhnya hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah itu mencakup semua karya sastra, baik prosa maupun puisi. Jadi, puisi itu sama dengan karya sastra, khususnya prosa dan puisi (Wellek dalam Pradopo, 2010: 11). Hal itu dipertegas oleh Reeves (dalam Waluyo, 1991: 22) bahwa puisi itu adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat.
Definisi di atas ditambahkan oleh Subagio Sastrowardoyo (dalam Pradopo, 1997: 62) yang menyebutkan bahwa puisi adalah inti pernyataan sastra. Menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan ialah puisi. Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.
Dari beberapa pendapat-pendapat beberapa tokoh sastrawan, Pradopo (2010: 7) menyimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Puisi merupakan ekspresi dari pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan (Pradopo, 2007: 7). Dengan begitu, puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman penting manusia yang dikemas dalam wujud yang paling berkesan. Pradopo (2007: 13) menambahkan, bahwa puisi itu merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis itu sendiri sudah mengandung keindahan yang khusus untuk puisi. Karya sastra dikatakan puitis jika karya tersebut dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, dan menimbulkan tanggapan yang jelas.
Bagaimanapun pembacaan puisi butuh interpretasi. Interpretasi awal akan menentukan keberhasilan pembaca. Interpretasi akan menyelami sebuah puisi secara total. Interpretasi itu bebas dan dapat berubah-ubah. Tiap orang dapat melakukan interpretasi. Bahkan ada kalanya seorang pembaca mengikuti interpretasi orang lain (Endraswara, 2008: 82). Pembacaan puisi secara individual, bisa jadi juga dilakukan oleh seorang peneliti. Lalu, ia secara tidak sadar memasuki puisi sesuai dengan kebutuhan atau ‘pola’ yang telah mereka tentukan sebelumnya. Seperti, ingin mencari nilai-nilai moral puisi, kritik sosial, nilai profetik, religius, dan sebagainya (Endraswara, 2008: 92).
Interpretasi adalah istilah yang tepat untuk semua prosedur berikut. Bukannya kita tiba-tiba menyatukan prosedur-prosedur itu dan mengerjakan sesuatu yang baru, untuk setiap tahap kita sebelumnya telah mengira setiap hal yang telah datang. Penafsiran, penjelasan, penguraian adalah cara-cara sederhana dalam menjelaskan kepada diri kita apa yang keliru saat kita terhenti atau merasa samar. Terminologi tersebut boleh dilupakan selama kita bisa mengingat bagaimana terminologi itu membantu kita keluar dari kesulitan (Chatman, 1968: 75).
B.     Semiotika
1.      Semiotika secara Umum
Semiotika atau semiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsiran. Tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotika adalah ahli linguistik Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan ahli filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914). Semiotika atau semiologi merupakan ilmu tentang tanda pada umumnya. Semiologi sering disebut juga dengan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda.
Pendiri semiotik di Amerika, yaitu filsuf C.S. Pierce, membedakan adanya tiga jenis dasar tanda. Ada ‘ikonis’, di mana tanda mirip dengan apa yang diwakilinya (foto mewakili orang, misalnya); ‘indeksikal’, dimana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api, bercak dengan campak), dan ‘simbolis’, di mana, seperti halnya menurut Saussure, tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya.
Semiotik mengambil pendapat ini dan banyak klasifikasi lain: ia membedakan antara ‘denotasi’ (apa yang dimaksud oleh tanda) dan ‘konotasi’ (tanda-tanda lain yang diasosiakan dengannya); antara kode (struktur yang menuruti peraturan dan menghasilkan makna) dan pesan yang ditransmisikan oleh kode; antara ‘paradigmatik’ (sekelompok tanda yang dapat saling mewakili satu sama lain) dan ‘sintagmatik’ (di mana tanda-tanda dipasangkan satu sama lain dalam sebuah ‘rantai’). Semiotik menyebut adanya ‘metabahasa’, di mana satu sistem tanda memaknai sistem tanda lain (hubungan antara kritik sastra dan kesusastraan, misalnya), tanda ‘polisemik’ yang memiliki lebih dari satu makna (Eagleton, 2010: 145).
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sign (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu. Aart van Zoest dan Sudjiman (1992: 5) mendefinisikan semiotika merupakan studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika menurut Pierce (dalam Ratna, 2009: 256) bersinonim dengan logika karena pemahaman mengenai tanda-tandalah yang justru memungkinkan manusia untuk berpikir dan bernalar. Dalam perkembangan berikutnya semiotika didefinisikan sebagai studi sistematis yang melibatkan produksi dan interpretasi tanda dalam proses pemaknaan.
Bagi semiotika, teks sastra sebagai realitas yang dihadirkan di hadapan pembaca, di dalamnya pastilah sudah ada potensi komunikatif. Pemilikan potensi konunikatif itu salah satunya ditandai dengan digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya. Akan tetapi, berbeda dengan lambang-lambang yang digunakan dalam bahasa komunikasi keseharian pada umumnya, lambang yang terdapat dalam teks sastra adalah lambang yang sifatnya artistik. Bila lambang dalam bahasa sehari-hari itu bersifat natural atau dalam kondisi ordinary language, maka bahasa dalam teks sastra hadir dengan didahului oleh motivasi subjektif pengarangnya sehingga lebih banyak bersifat “arbitrer” (Aminuddin, 2009: 124).
2.      Semiotika Riffaterre
Riffaterre (1978:1) mengatakan, bahwa yang menjadi faktor pembedaan antara puisi dan bukan puisi adalah cara sebuah teks puisi membawa maknanya. Dari pengertian tersebut Riffaterre lebih lanjut memberikan sebuah pengertian yang lebih sederhana mengenai struktur makna sebuah puisi. Bagi Riffaterre, fenomena sastra merupakan dialektika antara teks dan pembaca. Konsep ini memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi para pembaca. Artinya, pembaca memiliki kebebasan memaknai dan menafsirkan puisi tanpa harus merasa terikat oleh maksud pengarang.
Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 281) dalam bukunya, Semiotics of Poetry, mengemukakan empat hal yang pokok untuk memproduksi makna/ konkretisasi puisi, yaitu: (1) ketaklangsungan ekspresi, (2) pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik, (3) matrix atau kata kunci (key word), dan hypogram (hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstual).
a.      Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2010: 210) disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Sebuah puisi mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang dikandungnya (Riffaterre dalam Christomy, 2004: 251).
Puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau hal-hal secra tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang lain (Riffaterre dalam Pradopo, 2010: 210).
b.      Pembacaan Heuristik dan Hermeunitik
Dalam rangka memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic). Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2009: 33).
1)      Pembacaan Heuristik
Menurut Nurgiyantoro (2009: 33) kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Jadi, bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. Namun dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang justru diungkapan hanya secara tersirat, dan inilah yang disebut sebagai makna intensional, intentional meaning.
Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu berupa pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, ditafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran hermeneustik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan kode budaya.
Jika kerja analisis kesastraan dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah karya, merebut makna (pursuit of signs, menurut istilah Culler), menafsirkan makna berdasarkan berbagai kemungkinannya, analisis tersebut sebenarnya telah melibatkan kerja hermeneutik. Hermeneutik menurut Teuuw (dalam Nurgiyantoro, 2009: 33), adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Namun, teknik hermeneutik itu sendiri dapat diterapkan dalam karya-karya yang lain selain karya sastra, misalnya dalam hal penafsiran kitab suci (justru dari sinilah awal mulanya teori hermeneutik berkembang).
Penafsiran karya sastra secara lebih baik, di samping memerlukan pengetahuan (dan atau kompetensi) kode bahasa dan kode sastra di atas, juga memerlukan kode budaya (lengkapnya: sosial-budaya). Pengetahuan kode budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran, mengingat karya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan kondisi (baca: sistem) sosial-budaya masyarakat tersebut.
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Sajak dibaca secara linear sebagai dibaca menurut struktur normatif bahasa.
Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasikan (Culler dalam Pradopo, 2010: 296) sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas. Begitu juga, logika yang tidak biasa dikembangkan pada logika bahasa yang biasa. Hal ini mengingat bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
2)      Pembacaan Hermeneutik
Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, menurut Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 2009: 34) dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle).
Pemahaman karya sastra dengan teknik tersebut dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian.
Pradopo (2010: 297) menyebutkan bahwa pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung, dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian ruang teks (tanda-tanda visual).
c.       Matriks, Model, dan Varian
Sebuah puisi berawal dari adanya matriks. Puisi merupakan hasil dari penjabaran sebuah matriks. Matriks ini dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana, yang dijabarkan menjadi satu penjabaran yang lebih panjang dan kompleks (Riffaterre, 1978: 25). Itu berarti, matriks memberi makna kesatuan sebuah puisi, sehingga dengan diketahuinya matriks pada puisi, dapat dikatakan bahwa pembaca telah mengetahui tema puisi tersebut.
Riffaterre mengibaratkan sebuah puisi dengan donat. Donat memiliki dua bagian yang tak terpisahkan, yaitu daging donat dan ruang kosong yang menopang donat tersebut. Kedua bagian tersebut saling mendukung dan saling memberi arti, yakni ruang kosong yang ada di tengah daging tersebut justru menopang arti dari donat itu sendiri.
Begitu juga dengan sebuah puisi, bahwa ruang kosong dalam puisi, sesuatu yang tidak hadir dalam teks puisi, sebenarnya justru yang menopang lahir dan diciptakannya sebuah puisi. Dalam ruang kosong tersebut terdapat pusat makna dari sebuah puisi. Riffaterre menyebut pusat makna ini sebagai matriks. Oleh karena matriks diibaratkan sebagai ruang kosong, maka matriks jarang terdapat dalam teks puisi. Matriks, di luar teks puisi, ditentukan sendiri oleh pembaca. Dalam pembacaan puisi, pembaca hanya akan menjumpai bentuk penjabaran (aktualisasi) dari matriks, yaitu model dan varian. Model dan varian ini yang akan menyalurkan wujud nyata dari matriks.
Model adalah aktualisasi pertama dari matriks. Model ini bisa berupa kata atau kalimat yang terdapat dalam bait puisi, yang sekiranya dapat mewakili inti dari matriks. Untuk menemukan model dalam puisi, dapat diketahui dari tingkat kepuitisan kata atau kalimat tersebut. Kata atau kalimat yang dikatakan model memiliki tingkat kualitas kepuitisan yang tinggi. Artinya, kata atau kalimat tersebut besifat monumental, yang dapat mewakili keseluruhan makna teks dan menjadi latar penciptaan puisi. Matriks dan model kemudian diaktualisasikan menjadi varian-varian. Bisa dikatakan varian-varian ini merupakan bentuk penjabaran model yang terdapat dalam setiap bait atau baris dalam puisi.
d.      Hubungan Intertekstual (Hipogram)
Ada cara yang lain untuk memproduksi makna karya sastra secara semiotik, yaitu prinsip intertekstualitas. Prinsip intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo: 2010: 300) bahwa sajak itu adalah response (jawaban, tanggapan) terhadap sajak sebelumnya. Tanpa menempatkan sajak pada urutan kesejarahan, maka sifat fundamental sajak itu tidak terungkap.
Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau sajak yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain. Seringkali sebuah sajak baru mendapat makna hakikinya bila dijajarkan dengan sajak yang menjadi hipogramnya. Jadi, puisi itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kesejarahannya dengan puisi sebelumnya. Pemaknaan puisi memang berdasarkan pada analisis struktural untuk pertama kalinya, yaitu analisis struktur intrinsiknya. Akan tetapi, seringkali makna strukturalnya ini belum mencakup semua maknanya yang terkandung dalam sajak yang dianalisis tersebut. Maknanya baru menjadi lebih sempurna bila dikontraskan dengan hipogramnya.


BAB III
PEMBAHASAN
A.    Unsur-unsur Intrinsik dalam Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang
Puisi merupakan karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata harus terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Puisi dapat tercipta dengan indah karena ada unsur-unsur penting yang mendukung di dalamnya. Dick Hartoko (1984, dalam Herman J. Waluyo, 1987: 27) menyebutkan adanya dua unsur penting dalam puisi yakni unsur tematik atau semantik puisi dengan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik atau semantik menunjuk ke arah struktur batin, sedangkan unsur sintaksis mengacu ke struktur fisik. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya kaitannya dengan keseluruhan puisi. Selanjutnya, Dick Hartoko menyebutkan unsur-unsur yang lazim dimasukkan ke dalam metode puisi, yakni apa yang disebut verifikasi (didalamnya terdapat rima, ritma dan metrum) dan tipografi.
Hutagalung (1967, dalam Zulfahnur, dkk. 1997: 18) mengungkapkan bahwa dalam penelitian tentang puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yaitu struktur dan tema serta amanat. Di dalam struktur mencakup musikalitas korespondensi dan gaya. Tema mencakup kekayaan imajinasi, kecendikiawanan, kearifan dan keaslian. Kedua unsur tersebut adalah unsur yang saling menunjang dalam pemahaman puisi. Sebuah puisi seharusnya dipahami secara keseluruhan yang melibatkan beberapa unsur sehingga didapat makna yang utuh.
MALAM LEBARAN
Bulan
di atas kuburan
1955
1.      Struktur Batin dari Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang
a.      Perwajahan Puisi (Tipografi)
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
Pada puisi Malam Lebaran, perwajahan puisi yang ditampilkan begitu sederhana dan hanya terdiri dari dua baris. Puisi yang tergabung dalam kumpulan puisi Sitor, Dalam Sajak, yang diterbitkan pada tahun 1955 ini memiliki rata baris ke kiri. Untuk baris kedua, ­—di atas kuburan, preposisi —di tidak ditulis dengan huruf kapital seolah ia menyatu dengan baris pertama meskipun diberi sekat oleh yang namanya loncatan baris.
Malam Lebaran merupakan genre karya sastra puisi yang bentuknya modern dan bebas dari aturan berpuisi, tidak bersajak, dan merdeka.
b.      Diksi
Sudah seperti hukum wajib bagi para pembaca ataupun penyair, puisi yang indah tidak lepas dari diksi yang terkandung. Katakan, para pembaca tersihir akan keindahan puisi yang sarat akan kata-kata indah nan emosional yang mendayu-dayu. Diksi sendiri merupakan pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisi, digunakan sebagai senjata penyingkap emosi yang digambarkan sang penyair. Oleh sebab itu, diksi dengan jenis karya sastra seperti puisi memiliki keterkaitan berupa keselarasan makna, arti, dan amanat dari puisi itu sendiri.
Unsur diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra (Abrams, 1981). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi juga sering menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. Aspek leksikal sangatlah penting dalam karya sastra. Aspek leksikal adalah satuan bentuk terkecil dalam konteks struktur sintaksis dan wacana (Nurgiyantoro, 2014: 172).
Malam Lebaran karya Sitor Situmorang diciptakan bersamaan dengan kurang lebih pengalaman yang memang benar terjadi di kehidupannya sehingga pemilihan kata-kata yang ada cenderung sederhana dan sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Lebih dari pada itu, sebuah jenis karya sastra seperti puisi, pemilihan kata-kata yang diterapkan tidak melulu menampilkan makna yang sesungguhnya. Kembali lagi pada sifat kodrati sastra yang arbriter, makna dan arti itu tidak terpaku kepada satu pemahaman persona saja.
c.       Imaji
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
Meskipun mendapatkan predikat sebagai puisi paling singkat yang pernah ada, Malam Lebaran karya Sitor Situmorang tidak lepas dari adanya imaji yang memacu para pembaca untuk ikut memvisualisasikan situasi yang digambarkan dalam puisi.
Melalui judul saja sudah menimbulkan imaji penglihatan mengenai suasana malam lebaran yang bisa ramai atau sepi. Seperti halnya bulan yang bertengger di langit malam tepat di atas sebuah kuburan tentu tidak sulit untuk dibayangkan. Serta bagaimana keadaan kuburan pada saat malam hari menimbulkan imaji tersendiri bagi para pembaca seperti, angker, sepi, dan berhantu.
Akan tetapi yang menjadi catatan adalah fakta bahwa bulan tidak muncul pada saat malam lebaran karena bersifat bulan baru. Hal ini lebih jelas akan dibahas dalam pembahasan semiotik.
d.      Kata Konkret
Kata konkret yaitu kata yang digunakan penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca.
Penggunaan kata konkret pada genre sastra menimbulkan imaji yang akan menjalar di dalam benak pembaca serta sarat akan lambang atau makna. Demikian yang nampak pada kata-kata konkret dalam Malam Lebaran seperti:
Malam, masa setelah matahari terbenam hingga terbit, raja kegelapan, masa yang tepat bagi hati dan jiwa untuk berkontemplasi.
Lebaran, hari kemenangan bagi umat muslim setelah sebulan berpuasa, penuh dengan kebahagian, masa puncak bagi keluarga dan teman berkumpul.
Bulan, melambangkan kesepian, jauh dari keramaian, bayangan yang selalu mengikuti bumi dan matahari, kesendirian, kehampaan.
Kuburan, tanah tempat menguburkan mayat, kematian.
e.       Gaya Bahasa
Gaya Bahasa yaitu penggunaan bahasa yang dapat meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
Seringkali puisi itu menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal ini untuk membuat para pembaca berfikir dan terfokus pada apa yang dikatakan pada puisi. Kontradiksi atau pertentangan ini disebabkan oleh paradoks dan ironi. Menurut Pradopo (2007: 288), paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya.
Malam Lebaran memang murni tercipta dan berasal dari pengalaman pribadi Sitor namun apa yang diungkapkan menimbulkan pertentangan pada realita. Seperti hal yang diketahui secara umum, bulan tidak akan terlihat pada malam lebaran atau bulan Syawal. Dan, kenyataan yang ada itu pun terkontras dengan apa yang dikemukakan Sitor dalam potongan sajaknya, Bulan di atas kuburan.
Selain itu, dalam sepotong sajak itu juga terdapat bahasa kiasan sinekdoke yaitu gaya bahasa untuk menyebutkan satu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd dalam Pradopo, 2007: 78). Hal ini pun dengan jelas nampak pada Bulan di atas kuburan yang termasuk ke dalam sinekdoke totum pro parte, bahasa kiasan yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Kata bulan merupakan totum pro parte yang menyebutkan bulan secara umum sebagai pengganti bulan yang terlihat oleh tokoh aku dalam puisi tersebut.
f.       Rima
Rima atau persajakan adalah perulangan bunyi yang sama dan teratur dalam puisi. Rima itu secara linguistik tidak memiliki arti, tetapi menimbulkan makna yang mendalam. Rima dapat menunjukkan perasaan senang, sedih, tertekan, menderita, kecewa, marah, dan lainnya.
Hal eksentrik lainnya yang ada pada Malam Lebaran karya Sitor ini ialah rima kembar yang ada dalam dua baris sajaknya. Rima kembar (a a b b), yaitu apabila kalimat dalam dua baris dalam bait berirama sama. Rima kembar terhubung satu sama lain secara langsung dalam dua baris di setiap bait.
Bulan
di atas kuburan
2.      Struktur Batin dalam Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair dan stuktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya (Herman J.Waluyo, 1987:102). I.A.Richards dalam J.Waluyo (1991:106) menyebutkan makna atau stuktur batin itu dengan istilah hakekat puisi.
a.      Tema
Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia (2004:803) tema adalah gagasan, ide pokok, atau pokok persoalan yang menjadi dasar cerita. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Stanton dan Jenny C (via Nurgiantoro, 2002:67) berpendapat bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Persoalan yang ada pada puisi ini adalah tema kemanusiaan dan spiritual.
b.      Rasa
Pengungkapan rasa yang tepat oleh penyair melalui karyanya tidak hanya mengacu pada diksi, citraan, ataupun gaya bahasa. Pengaruh yang melekat terhadap bagaimana tersampaikannya rasa penyair itu erat kaitannya dengan pengalaman, latar belakang sosiologis dan psikologis sang peyair itu sendiri.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Malam Lebaran hadir sebagai interpretasi pengembangan pengalaman pribadi yang sudah Sitor alami. Perasaan yang terekspresikan melalui pemilihan kata-kata dalam sajak Malam Lebaran menera sebuah keadaan hampa di tengah keramaian dan kehangatan sebuah malam bertajuk malam lebaran. Rasa kesepian itu diwakili oleh sang Bulan yang bertengger seorang diri di atas sebuah makam. Makam atau kuburan mengingatkan kita akan keadaan sunyi dan senyap setelah mati.
c.       Nada
Nada pada puisi Malam Lebaran bernada rendah. Dibutuhkan sikap untuk mendalami perasaan yang terwarna dalam setiap katanya. Penyair menceritakan pengalaman yang pernah dialami dalam dimensi yang berbeda dan mengingatkan kita akan kesunyian yang memang menjadi teman akrab suasana kuburan serta sang bulan yang menggantung di atasnya.
d.      Amanat
Pesan yang Sitor harap bisa kita terima melalui puisi ini ialah sebuah masa yang kurang lebih akan kita hadapai sebagai makhluk bernyawa. Kesendirian yang pasti pernah ada pada tiap diri manusia tidak akan bertahan selamanya, setiap waktu pasti akan ada satu dua persona atau hal yang akan bertahan dan menemani hingga akhir. Penyair seolah mengingatkan bahwa tidak selamanya manusia akan merasa bahagia meskipun di luar terlihat bahagia.






BAB IV
ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM PUISI MALAM LEBARAN KARYA SITOR SITUMORANG
A.    Deskripsi Puisi Malam Lebaran
Sajak Malam Lebaran Sitor pertama kali dimunculkan dalam kumpulan puisi Dalam Sajak, diterbitkan pada 1955. Puisi itu lahir ketika Sitor hendak mengunjungi salah satu temannya beberapa hari setelah lebaran. Sitor, dalam pengakuan puteranya Gulontam mengatakan, jalan yang musti ia ambil menuju rumah temannya itu memang melewati kuburan di daerah Karet. Saat itu daerah yang dilewati masih belum ada penerangan listrik. Mendadak, bulan muncul dari balik awan. Sitor sendiri tidak terlalu memusingkan perdebatan seputar sajaknya. Setiap persona berhak untuk menginterpretasikan arti dan makna itu dalam berbagai kaidah. Sitor pribadi hanya ingin menuangkan seni dari pengalaman sehari-hari yang dirasakannya.
B.     Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Puisi Malam Lebaran
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembacaan puisi secara heuristik, artinya bahwa bahasa puisi diubah ke dalam bahasa biasa untuk mempermudah pemahaman isi puisi sebelum analisis ke tahap selanjutnya. Berikut pembacaan heuristik puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Pembacaan hermeneutik/retroaktif adalah pembacaan ulang secara keseluruhan dengan penafsiran. Dalam tahap ini dilakukan penafsiran yang lebih mendalam atau disebut pula pembacaan tingkat kedua.
Dari judulnya tampak bahwa puisi di atas bercerita tentang penampakan bulan di atas kuburan yang terlihat pada malam lebaran. Namun yang justru menjadi pertanyaan besar bagi logika adalah ketika melisankan puisi tersebut dengan judul dan isi yang dibaca tanpa tanda baca, Malam lebaran Bulan di atas kuburan.
Hal itu terdengar sangat janggal. Pada kenyataannya bulan tidak akan muncul pada malam lebaran yang jatuh pada satu Syawal dalam pengaturan kalender Islam. Atas dasar hal tersebut, beberapa orang memaknai jika Sitor tidak memahai kenampakan bulan sesuai dengan sistem penanggalan Hijriyah. Hal itu pun tentu tidak dapat disalahkan, mengingat puisi merupakan perwujudan imajeri. Kendati rasionalitas dalam pemaknaan puisi juga tidak bisa diabaikan, maka dari itu latar belakang pembuatan puisi oleh Sitor dijadikan sebagai referensi.
Konon, pada suatu malam sehari setelah lebaran Sitor hendak berkunjung ke rumah salah satu sahabatnya, beliau tersesat. Pada saat tersesat itu, Sitor melihat tembok putih lalu penasaran terhadap apa yang ada di balik tembok itu. Setelah diperiksa ternyata adalah sebuah taman pemakaman. Dari peristiwa tersebut muncul kata kunci Malam Lebaran dan kuburan.
Secara keseluruhan, puisi Malam Lebaran megandung absurditas dan kemustahilan dari padanan kenyataan. Namun bukan berarti puisi tersingkat yang pernah ada ini miskin makna serta nilai-nilai. Hal ini pun dapat ditandai dengan melihat perumpamaan yang ada dalam puisi tersebut.  Sesuatu yang sederhana dan memang terpampang dalam tiap-tiap momen kehidupan sehari-hari namun memiliki makna yang menakjubkan, sesuai dengan kaidah puisi ekspresif. Tembok putih yang dilihat oleh penyair menutupi pemakaman itu diindikasikan dengan bulan sehingga terciptalah bulan di atas kuburan.
Penggambaran sebuah kenyataan dari penampakan bulan di atas kuburan pada malam lebaran memperkuat sisi ungramatikal yang dikandung oleh puisi itu. Dikatakan menimbulkan ungramtikalitas karena sekali lagi bulan tidak muncul saat malam lebaran yang jatuh pada awal bulan Syawal dan yang membuat sajak ini menjadi faktor bagi ungramatikalitas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, dalam menyikapi puisi sederhana yang penuh akan makna dan imajinasi tidak pula semudah dan sesingkat bentuknya itu sendiri. Selain logika umum, perlu pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan religi yang dipadupadankan agar mencapai makna dan arti yang diharapkan. Hal-hal ini pun lekas mendorong proses pembacaan bergerak, yang tadinya bersifat mimetik dan lingustik menuju ke tahap pembacaan hermeneutik yang melingkar dan berdasarkan ekstra-linguistik.
Ungramatikalitas yang terkandung dalam puisi yang terbit pada tahun 1955 ini lantas menemukan titik terang, menyikapinya dengan lebih humanistik dan realisitik. Dengan bantuan pemahaman itu maka timbul penafsiran bahwa pada malam lebaran, masa di mana para umat Muslim merayakan hari kemenangan, terdapat satu dua ketiadaan yang tak terhindari. Hal itu pun jelas ditandai dengan bulan yang bertengger di atas kuburan. Bulan yang menggantung di angkasa itu hanya satu dan sendiri lalu kuburan melambangkan kehampaan dan kegelapan yang berkarib dengan kesendirian. Malam lebaran yang seharusnya dibuat bahagia dan penuh syukur diinversikan dengan kesendirian dari indikasi bulan dan kuburan. Lantaran sebuah puisi identik mengantitesiskan realitas dengan puisi, tidak melulu landasan logika umum mampu memecah nilai-nilai kehidupan yang Sitor Situmorang tuang dalam puisinya.
Dengan demikian, penampakan bulan di atas kuburan saat malam lebaran bukan hanya saja sentilan tidak ilmiah nan ungramatikalitas melainkan sebuah sindiran tajam yang memperkatakan nilai-nilai spiritual yang ada pada kehidupan masyarakat di Indonesia. Lebaran dimaknai sebagai penuntasan ujian setelah melalui satu bulan penuh berpuasa. Karena selalui ditandai dengan kemeriahan dan kebahagiaan ramadan, euforia lebaran membuat banyak orang terlena, mulai dari yang muda hingga tua. Mereka lantas menjadi sejenak lupa pada penderitaan orang lain maupun diri mereka sendiri. Hal ini tentu bekal kodrati setiap manusia yang Tuhan berikan. Euforia malam lebaran lantas dioposisikan dengan individualitas dari gambaran bulan dan kuburan—bulan pada konten ini memiliki makna ganda seperti kesendirian dan kesucian—, mengejawantahkan kesedihan yang tidak sedikit masyarakat Indonesia pernah alami.
Hal ini pun menjadi masuk akal, pada malam lebaran masih ada sebagian dari masyarakat yang bahkan terpaksa ‘berpuasa’ dan terpaksa kelaparan. Banyak pula yang bersedih lantaran tidak dapat mudik ke kampun halaman, berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terkasih. Karena dalam lebaran Allah SWT menjanjikan kehangatan dan nikmat surgawi bagi para hamba-Nya tanpa syarat tetapi mereka justru dipaksa memilih untuk berdiam diri saja mendengar takbir yang berkumandang di segala penjuru. Menanggalkan momentum lebaran dalam ketiadaan hidupnya sehingga tidak mengherankan apabila pada sajak ini terwakilkan dengan kuburan.
Malam, secara sempit memiliki persamaan makna dengan gelap, sepi, dam sunyi. Penempatan malam sendiri tentu kaidahnya tak lepas dari kata bulan yang tersemat, apabila tak ada bulan sekalipun tidak dapat dipungkiri juga imajeri tak terbatas dalam puisi yang mempengaruhi. Manusia, misalnya, selalu menjalani kehidupan yang sulit dan memilih malam sebagai waktu berkontemplasi yang tepat sehingga tidak jarang kesedihan, kepedihan, dan kesendirian yang bisa timbul selalu sarat akan temporalitas bertajuk malam hari.
Secara semantik, bulan bisa berarti benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari. Namun bulan juga memiliki makna sebagai penunjuk adanya satu waktu penting dari rentang waktu selama satu tahun. Berawal dari kajian semantik pada kata bulan ini, dapat diambil simpulan, bulan yang bermakna benda langit pada pengertian pertama dipakai sebagai semiotik puitika (bahasa lambang).
Meskipun puisi Malam Lebaran sangat singkat, puisi tersebut justru memiliki intensi dan pesan yanng besar bagi manusia. Kemeriahan malam lebaran sejenak mendistorsi kepedulian terhadap penderitaan yang nyatanya masih saja dirasakan oleh sesama manusia. Terlahir kembali bukan menuju fitrah melainkan ranah pengasingan diri dari pelukan Allah sehingga kita lupa untuk bersyukur dan berbagi. Kuburan mengingatkan kita akan kelebihan berpengeluaran di hari raya lebaran yang tidak berfaedah. Makna bulan di atas kuburan, terang di atas gelap, meluruskan niat awal untuk selalu berbagi kepada sesama. Dengan demikian, kebahagiaan tidak hanya dinikmati oleh sebagian orang saja, tetapi semua orang juga berkesempatan di hari raya.
Maka sudah sepantasnya, Malam Lebaran menyajikan impresi yang luar biasa hebat, dramatis dan religius—di luar dari Sitor Situmorang yang seorang non-muslim—, mengingat akan kodrati seorang muslim yang sekiranya menghempaskan jangka dan konon merayakan kemenangan atas perjuangan sebulan penuh berpuasa.
C.    Ketidaklangsungan Ekspresi pada Puisi Malam Lebaran Karya Sitor Situmorang
Hal yang harus diperhatikan dalam memaknai sebuah puisi yaitu mengartikan ketidaklangsungan-ketidaklangsungan yang terdapat dalam puisi. Riffaterre (1978: 1) mengemukakan bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Akan tetapi, ada satu sifat yang tetap, yaitu puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang lain. Jadi, ada ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi. Ketidaklangsungan itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre dalam Pradopo, 2010: 212). Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dalam Pradopo, 2010: 212). Penggantian arti berarti bergantinya suatu arti dari kata atau kalimat yang digantikan dengan arti lain melalui bahasa kiasan. Dalam penggantian arti ini, suatu arti kata memiliki arti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Dalam puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang ini terdapat penggantian arti melalui bahasa kiasan paradoks dan totum pro parte. Penyimpangan arti terletak pada ditemukan pada puisi dan sajak secara keseluruhan.
Malam Lebaran memang murni tercipta dan berasal dari pengalaman pribadi Sitor namun apa yang diungkapkan menimbulkan pertentangan pada realita. Seperti hal yang diketahui secara umum, bulan tidak akan terlihat pada malam lebaran atau bulan Syawal. Dan, kenyataan yang ada itu pun terkontras dengan apa yang dikemukakan Sitor dalam potongan sajaknya, Bulan di atas kuburan.
Selain itu, dalam sepotong sajak itu juga terdapat bahasa kiasan sinekdoke yaitu gaya bahasa untuk menyebutkan satu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd dalam Pradopo, 2007: 78). Hal ini pun dengan jelas nampak pada Bulan di atas kuburan yang termasuk ke dalam sinekdoke totum pro parte, bahasa kiasan yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Kata bulan merupakan totum pro parte yang menyebutkan bulan secara umum sebagai pengganti bulan yang terlihat oleh tokoh aku dalam puisi tersebut.
Dikemukakan Riffaterre bahwa penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense (Pradopo, 2010: 213). Arti atau makna bahasa puisi itu menyimpang atau memencong dari arti bahasa yang tertulis (bahasa dalam teks). Penyimpangan atau pemencongan arti (makna) itu disebabkan oleh tiga hal (Riffaterre, 1978: 2), yaitu: (1) ambiguitas (ketaksaan), (2) kontradiksi yang disebabkan oleh ironi dan paradoks, dan (3) nonsense. Dalam puisi Malam Lebaran ditemukan penyimpangan kontradiksi dan nonsense, sedangkan ambiguitas tidak ditemukan. Dalam hal ini, kontradiksi disebabkan oleh ironi. Penyimpangan arti pada puisi Malam Lebaran ditemukan pada puisi dan sajak secara keseluruhan.
Kontradiksi pada puisi Malam Lebaran terletak pada judul hingga baris terakhir puisi. Malam lebaran yang selalu dikaitkan dengan kemeriahan dan kebahagiaan malah disandingkan dengan kesepian dan kesunyian yang menjelma dalam bulan dan kuburan.
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu ciptaan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna dalam puisi karena konvensi puisi. Seperti halnya absurditas pada isi keseluruhan Malam Lebaran. Tidak masuk akal apabila pada bulan Syawal akan muncul bulan di langit.
Bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjambement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues) (Pradopo, 2010: 220). Penciptaan arti adalah terciptanya arti baru yang disebabkan oleh bentuk visual puisi. Bentuk visual tersebut secara linguistik tidak memiliki arti, namun jika dilihat dari segi semiotik, maka unsur-unsur tersebut merupakan sebuah tanda yang dapat menciptakan makna baru dalam puisi.
Menurut Riffaterre (1978: 2), penciptaan arti baru terjadi karena disebabkan oleh adanya bentuk visual puisi yang meliputi rima, Enjambement, dan tipografi. Dalam puisi Malam Lebaran terdapat penciptaan arti yang disebabkan oleh Enjambement dan rima.
Enjambement adalah pemenggalan kata ke dalam baris berikutnya. Pemenggalan ini secara tata bahasa tidak memiliki makna, namun dalam konvensi sastra, Enjambement berfungsi sebagai penekanan/penegasan pada baris tersebut. Pada puisi Malam Lebaran terdapat Enjambement (Zeilensprung), yaitu ketika kalimat itu merupakan kalimat lengkap.
MALAM LEBARAN
Bulan,
di atas kuburan.
Terjadi pemenggalan sehingga menimbulkan peloncatan baris yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Hal tersebut menimbulkan penekanan atau penegasan pada kuburan.
D.    Matriks, Model, dan Varian dalam Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang
Puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang ini banyak mengemukakan nilai-nilai absurditas namun humanistik. Ketidakmasukalan makna yang tidak terterima secara logika (absurditas makna) yang secara tak langsung memandang susunan kata dalam teks dianggap absurd. Dalam artian timbulnya absurditas makna karena dipandang adanya ketidakmasukakalan kata-kata (absurditas teks) tertuang pada sebuah puisi, sehingga seringkali menjadikan citraan yang diinginkan para seniman maupun penyair meninggalkan beragam asumsi pada penikmat baca/penghayat apabila tidak boleh dikatakan menimbulkan satu penolakan visualisasi dari citraan yang ditimbulkan oleh teks puisi yang dimaksud (Imam Tohari dalam Jurnal Online, Absurditas Makna Simbol Puisi “Malam Lebaran” Sitor Situmrang: 2013).
Malam lebaran jatuh pada bulan Syawal dan pada saat itu bulan tidak akan muncul. Kenyataan ini pada dasarnya adalah absurditas teks dan ungramatikalitas. Selain itu, isi keseluruhan yang dipaparkan Bulan di atas kuburan sebagai bahasa kiasan atas makna dan arti yang dibelokkan sepantasnya menghasilkan makna artifisial baru. Kesendirian di dalam kemeriahan, momentum kesepian dalam ketiadaan di tengah masyarakat.
Matriks pada puisi Malam Lebaran adalah reinkarnasi Sitor Situmorang terhadap pengalaman personal yang memang pernah terjadi. Matriks ini pun ditransformasikan menjadi model malam lebaran. Dan, model tersebut ditransformasikan menjadi varian-varian yang terjelaskan pada sajak puisi Malam Lebaran.
Oleh sebab itu, segenap absurditas teks merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linier di dalam teks, yaitu absurditas teks yang mengandung sebuah kedalaman nilai kontemplasi seorang manusia, spritualistik, dan mengutamakan perasaan.
E.     Hipogram dalam Puisi Malam Lebaran Karya Sitor Situmorang
Matriks absurditas teks yang mengandung sebuah kedalaman nilai kontemplasi seorang manusia, spiritualistik dan mengutamakan dapat dikatakan sebagai hipogram. Demikian hipogram untuk matriks yang satu ini secara tekstual mengingatkan kapanpun dan di manapun keindahan senantiasa diingatkan dengan kematian. Absurditas teks yang menyajikan hipogram di atas pun secara jelas menyatakan bahwa kehidupan adalah dua mata koin, two side of coins.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.    Simpulan
Berdasarkan analisis pada puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pembacaan heuristik menimbulkan absurditas teks atas pengalaman Sitor secara personal mengenai tembok putih yang menutupi pemakaman dikondisikan secara puitika menjadi bahasa kiasan Bulan di atas kuburan. Selanjutnya, pembacaan hermeneutik menghasilkan kedalaman nilai-nilai moral yang ada pada masyarakat dan memang teraktualisasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Ketidaklangsungan ekspresi dalam Malam Lebaran meliputi penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti melalui bahasa figuratif paradoks dan totum pro parte. Penyimpangan arti ditandai dengan paradoks yang menghasilkan kontradiksi dan nonsense dari absurditas teks yang terkandung. Serta penciptaan arti ditandai dengan Enjambement (Zeilensprung).
3.      Matriks, model, dan varian-varian dalam puisi Malam Lebaran yakni perwujudan pengalaman personal serta kedalaman nilai moral, spritualistik, dan perasaan manusia ke dalam ketidakmasukakalan makna (absurditas teks). Sehingga dapat disimpulkan tema dari puisi Malam Lebaran adalah humanistik dan spritiualistik.
4.      Hipogram dalam puisi Malam Lebaran ini merupakan hipogram esensial yang merupakan rainkarnasi pengalaman pribadi Sitor Situmorang setelah tersesat di dekat pekuburan saat berkunjung ke rumah sahabatnya, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah karya sastra berjenis puisi.
B.     Saran
1.      Penelitian terhadap karya sastra (puisi) dengan menggunakan analisis semiotika Riffaterre di Program Studi Sastra Indonesia masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pada penelitian karya sastra (puisi) selanjutnya juga menggunakan teori semiotika Riffaterre agar lebih banyak tersedia litetatur mengenai menganalisis karya sastra (puisi) dengan melalui tahapan-tahapan (empat aspek) yang sudah ditentukan, sehingga akan diperoleh makna yang lebih mendalam dan utuh.
2.      Menganalisis secara semiotik adalah kerja besar. Oleh karena itu perlu keseriusan, pemahaman, dan ketelitian yang baik guna memperoleh hasil yang baik dan pemahaman yang mendalam.





DAFTAR PUSTAKA
Arfan, Khusnul. SKRIPSI: ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM PUISI DAS THEATER, STÄTTE DER TRÄUME KARYA BERTOLT BRECHT. 2013. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
------------. Diktat Semiotika Riffaterre dalam Telaah Puisi I. 2016.
Tohari, Imam. Jurnal Online: Absurditas Makna Simbol Puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang. 2013. https://web.facebook.com/notes/imron-tohari/absurditas-makna-simbol-puisi-malam-lebaran-sitor-situmorang/10151282981678174/?_rdr 27/07/2016 11:34 AM
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160120122601-241-105523/malam-lebaran-sajak-ikonik-sitor-situmorang/ 05/08/2016 10:50 AM
Sabda, Pelitaku. Sitor Situmoranghttp://pelitaku.sabda.org/sitor_situmorang  05/08/2016 10:51 AM

Sunardian. Malam Lebaran Bulan di Atas Kuburan. 2013. http://sunardian.blogspot.co.id/2013/08/malam-lebaran-bulan-di-atas-kuburan.html 14/08/2016 08:37 PM

kata kunci: sastra, sastra indonesia, telaah puisi, semiotika, rifaterre, sitor situmorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar