Rabu, 04 Februari 2015

This Is Who I Am

untuk memenuhi syarat agar bisa mengikuti UAS Manusia dan Kebudayaan Indonesia, gue diperintahkan oleh bunda untuk buat cerpen. and tada! i made it! alhamdulillah ga butuh waktu lama. hehe... (sok banget kauuu)

cerpen ini berisi materi yang kelompok presentasi gue dapet untuk presentasi. Integrasi dan Unsur-unsur Kebudayaan. Semoga aja nyambung dah ya sama cerita yang gue buat.hehe

PERHATIAN!! Cerita ini murni buatan GUE SENDIRI!! No copast! 

semoga bermanfaat!

This Is Who I Am

      Ratnawati

Matahari senja menghiasi langit Jakarta di ufuk barat kota metropolitan tersebut. Begitupula dengan gumpalan awan yang semakin menipis sehingga menampilkan cakrawala dengan semburat jingga sang surya. Pemandangan matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit ibukota pun menjadi santapan sore Raina. Gadis muda berperawakan mungil tersebut menikmati detik-detik sang surya kembali menuju ke peradabannya.
Suara muadzin yang saling bersahutan untuk menyerukan adzan maghrib menjadi sound effect dari visualisasi yang direkam oleh kedua indera penglihatan dan pendengarannya. Gadis dengan surai yang dikuncir kuda itu pun memejamkan kedua matanya lalu merentangkan kedua tangannya ke udara. Meresapi dalam-dalam setiap getaran seruan yang dikumandangkan untuk mengajak umat muslim agar menunaikan ibadah sholat maghrib.
Sambil menurunkan kedua tangannya dari udara, Raina membuka kedua matanya lalu mengucapkan perpisahan kepada sang mentari yang telah kembali ke peraduannya. Setelah itu ia beranjak dari duduknya di atas box yang tak terpakai. Kemudian ia membereskan alat tulis dan kertas-kertas yang tercecer di dekatnya. Setelah dikira semuanya selesai, gadis berparas oriental itu bergegas turun dari atap gedung kantornya dan menuju ke musholla untuk segera menuntaskan kebutuhannya sebagai seorang muslim.
Dalam perjalanan pulang menuju kediamannya di selatan ibukota menggunakan bus umum bercorak hijau putih ini, Rania membuang pandangannya ke arah jalan protokol ibukota yang didesaki berbagai jenis transportasi.
Motor-motor beralih menerobos trotoar pejalan kaki dengan dalih ingin cepat sampai tujuan. Pun mobil-mobil pribadi yang berjalan pelan di kondisi padat merayap dengan kecepatan tak lebih dari 10 km/jam. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di trotoar pejalan kaki.
Tak ingin kalah dengan pengendara motor, para pedagang ini berdalih mengais rezeki di tengah ibukota dan kemacetannya di jam-jam pulang kantor seperti ini. Berbagai jajanan seperti bakso, mie ayam, somay, batagor, hingga pedagang minuman pun menjejali trotoar yang lebarnya tak lebih dari ukuran bajaj ini. Pemandangan seperti ini pun sudah menjadi hal yang lumrah di ibukota ini.
Di tengah lamunannya, Rania jadi teringat percakapannya di kantor tadi bersama Darma. Itu semua bermuara pada narasi berita yang terlalu singkat padat dan kelewat tidak jelas yang disuguhkan pria penggila serial Mahabharata tersebut kepadanya. Meningatnya pun membuat ia jadi ingin loncat dari kopaja yang ditumpanginya saat itu juga.
Flashback
“Na menurut lo narasi gue bisa disisipin ke headline news nanti malem ngga? Coba baca deh,” tanya pria maniak kemeja kotak-kotak tersebut seraya menyodorkan kertas berisi coretan ceker ayamnya tersebut. Pun meminta pendapat Rania yang sedang mengoreksi setumpuk skrip talkshow utama di tangannya.
Raina pun mengambil kertas yang disodorkan oleh rekan kerjanya tersebut. Raut wajah gadis itu berubah saat membacanya. Jelas sekali ia menahan tawanya agar tidak pecah.
“Gimana Na? Bisa ga kira-kira?”
Raina menaruh selembar kertas yang agak lecak tersebut di atas meja kerja miliknya. Setelah itu ia menatap Darma yang sedang berdiri di depannya.
“Lo. Lebih. Baik. Tetep. Jadi. Kameramen. Aja. Titik.” Tandas gadis itu cepat. “Tapi, kalo lo ngotot pengen naskah lo dipake buat headline news nanti malem, bisa. Siap-siap ditendang juga dari sini abis itu oke.”
“Hahahaha. Emang narasi gue fatal banget apa?”
Raina mendelik ke arah pria yang memangku dagunya dengan kedua tangannya itu. “Ok. Gue tanya nih sama lo, apa korelasi antara korupsi dengan budaya?”
“Hm… Korupsi itu udah kaya budaya bangsa ini akhir-akhir ini menurut gua. Itu korelasinya. Korupsi ialah hasil dari proses budaya di negeri kita ini.” jawab Darma santai.
“Kaya integrasi lho Na. Ibarat kata, instanitas yang dimiliki para wakil rakyat kita di senayan terus digabungin sama nafsu setan dalem diri mereka sendiri. Dari situ udah keliatan banget kalo mereka berupaya untuk menghasilkan fungsi yang sebaik-baiknya atas jabatan yang mereka pegang dan baam! Lahirlah sebuah korupsi!”
Raina ingin sekali rasanya menendang wajah laki-laki yang berstatus sebagai temannya ini saat itu juga. Bagaimanapun juga, jawaban Darma tidak tepat sasaran. Menurut pandangan Raina sendiri, korupsi bukan merupakan suatu kebudayaan. Sampai lebaran gorilla pun nggak ada budaya korupsi. Lalu dengan sabar ia pun mencoba membenarkan spekulasi Darma dengan argumentasinya.
“Yah tapi sih menurut hemat gue ya Dar, korupsi itu bukan hasil dari suatu budaya. Kenapa? Lo dulu waktu SMA jurusan IPS kan? Masih inget kan pengertian budaya itu sendiri?” selidik Raina kepada Darma yang kini berpindah posisi duduk di sebelahnya setelah menyeret satu kursi yang tak bertuan.
“Budaya ditinjau dari susunan kata berasal kata yaitu bahasa sansekerta, buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi yang artinya budi atau akal. Terus budaya itu sendiri ialah – “
“ – keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” potong Darma cepat.
“Itu menurut Koentjaraningrat kan.” ucap Raina retoris. “Nah, dari situ aja kan lo harusnya udah bisa menelaah. Apakah kita belajar korupsi waktu SD? Korupsi emang hasil karya manusia. Tapi ga semua manusia memiliki ide buat ngebobrokin negaranya. Dan soal integrasi antara instanitas dan nafsu setan lo emang ada benernya. But again, it cannot be counted as our culture.” sambung Raina.
“Integrasi itu kan penyatuan unsur-unsur tertentu, terus juga sebagai control social atas penyimpangan yang ada pada sebuah sistem sosial tertentu. Tetapi korupsi bukan sebuah integrasi. Please deh!” Tutur gadis itu sembari menatap sebal Darma yang justru menampakkan ekspresi jenaka di wajahnya. “Terus nih korupsi itu bukan pengendalian terhadap penyimpangan yang ada. Gak peduli juga terhadap individu-individu yang pada korupsi, mau mereka dari Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Dayak, deesbre, deesbre. Udah jelas banget kali mereka sendiri ngga menerima korupsi sebagai mayoritas mereka, boro-boro minoritas deh.” jelas Raina panjang lebar kepada Darma.
Gadis yang diketahui berdarah Tionghoa itu pun sampai haus jadinya dan langsung meneguk air mineral dari botol bermerk Tupperware yang selalu ia bawa kemana-mana.
Lain halnya dengan Darma. Lelaki berambut hitam legam belah tengah tersebut malah bertepuk tangan menanggapi penjelasan terperinci yang diberikan oleh rekan sejawatnya tersebut.
“Super sekali Raina. Pantes ya lo dipromosiin sama si boss jadi floor director cuma dalam kurun waktu satu tahun.”
Yang diberikan komentar hanya mendelik membalasnya.
“Apaan sih. Lo mulai ngga jelas. Dah sana balik ke tempat lo. Dan bawa nih narasi kacau lo. Emang deh sekali kameramen tetep aja jadi kameramen.” ujar Raina sembari mengangsurkan kertas berisi narasi yang menjadi sumber inti perbincangan super berat mereka hari ini.
“Siap!”
Darma menerima kertas ditangannya dan tak lupa melampirkan senyum kepada atasannya yang tidak kenal ampun terhadapnya. Namun juga sangat pengertian, di waktu dan kesempatan yang berbeda.
Flashback end.
Perbincangan ringan namun bermakna. Selesai mengulang rekaman mengenai obrolannya dengan Darma tadi, Raina menyenderkan kepalanya di jendela bus yang mengangkutnya. Tanpa ia sadari penumpang di dalamnya pun mulai berdesakan. Hujan yang turun di kala itu membuat suasana menjadi mendukung gadis berkulit pucat itu terlelap di tengah perjalanan.

Memasuki bulan November berarti Jakarta akan terus diguyur hujan dengan intensitas tak menentu. Kadang hujan turun dengan deras dari pagi hingga sore sehingga menyisakan udara dingin yang menggigil. Namun tak jarang hujan gerimis yang awet, sukses membuat kita bermalas-malasan di atas tempat tidur kita sambil bergelung dengan selimut yang hangat.
Lain halnya dengan Keluarga Raina. Tak peduli apapun yang terjadi mereka semua tidak bisa tidak mengabaikan rutinitas dan kewajiban mutlak mereka untuk bangun di pagi-pagi buta.
Ayah Raina yang masih keturunan orang Tionghoa adalah seorang mualaf. Beliau memeluk islam dan melafadzkan dua kalimat syahadat bukan semata-mata karena beliau ingin menikahi Ibu Raina. Ayah Raina, Wu Yi Fan – atau yang lebih dikenal sebagai Affandi (nama muslimnya) – ialah seorang lulusan S2 Sejarah Peradaban Islam Universtas Sorbon di Perancis ini jatuh cinta kepada islam karena logika.
Rancu memang. Tapi bagi beliau semua hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, atau apapun itu dalam Islam, cukup masuk akal. Logikanya dapat menerimanya dan bahkan ia sendiri dibuat jatuh cinta oleh kebesaranNya.
Kembali ke paragraf awal. Bangun di pagi buta lalu menunaikan shalat subuh berjamaah sudah menjadi candu bagi Raina dan keluarganya. Sehabis itu Raina pun bergegas membantu ibunya di dapur untuk menyiapkan sarapan mereka bertiga.
“Bu, saya masih penasaran…” ungkap Raina saat mengupas 3 siung bawang merah.
“Soal apa, hm?” jawab Ibu Raina sambil menaruh wajan di atas kompor lalu menuangkan tiga sendok minyak goreng dan menyalakan kompornya
“Itu, soal Ibu dan Bapak.” tukas Raina selesai mengupas bawang merah lalu menyemplungkannya ke wajan yang telah dipanasi sebelumnya. “Walaupun Ibu sama Bapak udah nyeritain ke Raina berulang-ulang kali, tetep aja Raina masih penasaran. Di atas segala lintas perbedaan Ibu dan Bapak, tapi kalian bisa bersatu. Menurut Raina pribadi itu ajaib lho Bu.”
Ibu Raina tersenyum tipis menanggapi celotehan pagi puteri tunggalnya tersebut.
“Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Hihi.” Ibu pun mengeluarkan kelakar agak garingnya menanggapi statement putrinya tersebut. “Alhamdulillah, Ayah kamu itu dikaruniai akal sama Gusti Allah yang spesial. Keluarga ayahmu pun begitu. Dengan tangan terbuka mereka menerima Ibumu ini yang latar belakangnya 180 derajat berbeda. Ditambah unsur-unsur budaya keluarga ayahmu dan Ibu yang serupa tapi tak sama.” lanjut Ibu.
Raina mendengar penuturan ibunya dengan antusias namun masih fokus terhadap masakannya. Wangi sedap bawang yang ditumis pun menguar. Menandakan Raina untuk segera mencampur nasi putih yang sudah dingin dan beberapa bumbu tambahan seperti garam, merica, kecap manis dan MSG ke dalam wajan untuk disulap menjadi nasi goreng.
“Iya ya Bu. Nenek bahkan dengan senang hati akan nginep di sini selama lebaran buat bantuin Ibu bikin dodol. Hm.” Raina menambahkan.
Kini Ibu Raina yang mengambil-alih wajan dari anak gadisnya itu. Ia menambah irisan daging ayam di atasnya lalu kembali menggorengnya.
“Ibu sendiri kagum sekali sama nenekmu. Awalnya ada beberapa kerabat ayahmu yang menentang, tapi nenekmu dengan bijak menengahi. Toleransi antar sesama. Itulah yang paling sering ibu tekankan kepada kita semua. Dan hasilnya lihat aja sekarang. Kita bisa hidup di atas garis-garis budaya yang saling bersimpangan dengan harmonis.” ibu Raina tersenyum dibuatnya.
Bayangan saat ia pertama kali ikut serta dalam perayaan Imlek di keluarga suaminya dulu hinggap di tempurung kepalanya. Pasangan baru menikah otomatis langsung bangkrut karena harus membagikan angpao kepada para keponakan dan sanak saudara.
Raina mengangguk mengamini. Lalu ia beralih mencicipi nasi goreng buatan ibunya dengan menyuapkan sesendok nasi goreng yang masih mengepulkan asap. Setelah dirasa pas, gadis berambut sebahu itu pun mengacungkan jempol ke arah ibunya.
“Justru perbedaan itulah yang buat kita jadi satu.”
Selalu. Raina memang tak pernah melewatkan sesi perbincangan pagi bersama ayah ataupun ibunya. Entah itu hal-hal sepele yang terkadang secara random lewat di pikiran masing-masing atau selayang pandang yang didapati mereka di jalan. Tak sekalipun mereka pernah kehabisan pembicaraan. Malah di benak Raina sudah terpatri bahwa obrolan pagi seperti ini sangat penting baginya dan orang tuanya untuk merekatkan bond mereka sebagai keluarga.
Raina pun sadar betul. Kesibukannya sebagai floor director di sebuah stasiun televisi swasta yang terkadang memaksakan ia harus stand by di studio selama 24 jam membuat ia jadi kehilangan quality times bersama keluarganya.
Lagi pula obrolan mereka yang terkadang menyangkut hal sepele tadi tentu ada hikmah yang bisa dipetik. Seperti obrolan pagi Raina dan Ibunya tadi. Sebuah perbedaan yang menjadi fondasi sebuah kesatuan. Dengan latar belakang budaya yang berbeda tetapi itu semua justru menyatu secara alami.
Meski hanya bermata-pencaharian sebagai petani kedelai di desa, Abah dan Ambu Ibu Raina sangat menjunjung tinggi nilai moral dan agamis kepada puterinya tersebut. Begitupun dengan Papah dan Mamah Ayah yang tinggal di kota sebagai pedagang barang-barang elektronik. Mereka mewajibkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ibu yang sangat religius dan Ayah yang sangat tekun belajar pun ditakdirkan untuk bertemu.
Diatas keragaman tersebut justru mereka merasa saling mengisi satu sama lain. Pro dan kontra pasti akan selalu hadir sebagai pemanis di awal. Meskipun begitu, keluhuran hati dan pikiran yang ada dalam payung budaya dan diatasnamakan cinta akan berakhir padu.  Dan yang membuat Raina berdecak kagum adalah pada akhirnya masing-masing kedua belah pihak baik keluarga ayah maupun ibu, menerimanya dengan senyum di bibir dan lapang di dada.
Jadwal hari ini Raina akan melakukan taping talkshow dengan tema Hot Young Blood in Culture bersama dua bintang tamu yang diundang. Mereka yakni diantaranya,  Pradita Kamehswara – penari topeng Cirebon yang mengharumkan nama bangsa dalam ajang internasional – dan Joshua Sibarani – mahasiswa universitas fakultas ilmu sosial terkemuka di Bandung yang membuat terobosan bagi suku baduy di Banten – untuk berbagi kisah suksesnya kepada masyarakat Indonesia.
Dua jam sebelum waktu take Raina dibuat pusing oleh bagian talent yang melobi Raina bahwa penonton bayaran yang biasa mereka pakai kali ini berhalangan hadir. Gadis itu dibuat pusing delapan keliling. Pasalnya orang-orang yang berada di control room tak letihnya memberi Raina ultimatum agar segera menemukan solusinya.
“Kalau ngga ada penonton. Talkshow hari ini terancam batal!” teriak Raina kesal “Puan, coba lo contact Rozi. Biasanya dia punya stock penonton bayaran.” titah Raina kepada staff perempuan bernama Puan tersebut.
Darma di balik set cameranya yang menangkap ekspresi kesal Raina hanya bisa menggeleng pasrah. Toh sejatinya ia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau shooting hari ini dibatalkan dia akan merasa gondok juga.
Joey Iskandar, seorang soloist dan aktor muda yang didapuk sebagai host talkshownya pun berinisiatif untuk mengerahkan  lebih banyak masa dari para penggemarnya untuk datang ke taping talkshownya. Ajaibnya, dalam kurun waktu kurang dari satu jam, studio sudah dipenuhi oleh puluhan fans Joey. Lengkap dengan atribut lengkap mereka yang berbau Joey. Baik itu varsitiy, kaos, handbanner, bahkan lightstick. Layaknya si idola sedang menggelar jumpa fans! Raina sendiri pun dibuat bergidik ngeri. Ternyata efek seorang Idol itu memang dahsyat.  
Talkshow pun akhirnya tetap dilanjutkan. Berterimakasihlah kepada sejumlah penggemar fanatik Joey yang dengan senang hati bersedia datang ke studio TV E. Ketimbang penonton bayaran yang tidak professional, para fans Joey justru patut diberikan apresiasi. Toh mereka akan melakukan apapun demi sang idola.
Kembali ke proses taping. Di tengah talkshow, Joey melemparkan pertanyaan kepada dua narasumbernya. Dan jawaban mereka cukup membuat penonton sesisi studio yang notabenenya fans Joey tak henti-hentinya berdecak kagum menanggapi.
“Di usia Dita yang masih muda, kamu sudah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional dengan bakat dewa kamu,” Joey mengatakannya sambil tersenyum “Tolong dong kasih kita-kita tips supaya kita bisa menjadi seperti kamu?”
“Hmm…” Dita memberi jeda pada jawabannya sendiri. “Pertama sih kita harus mencintai kesenian daerah kita sendiri. Terima kekurangan dan kelebihannya. Namun aku ngga menemukan secuil kekurangan pada kesenian daerahku. Ini karena aku menilainya secara subjektif ya. Hehe” gadis mungil itu menampakan deretan gigi putihnya lalu melanjutkannya lagi.
“Lalu yakinin diri kamu sendiri bahwa kesenian ini milik kita. Dan kita harus melestarikannnya. Jangan biarin orang lain merampasnya.”
Raina yang berdiri di dekat Darma pun menyaksikan jalannya talkshow kali ini dengan mimik wajah serius namun tidak melupakan tugasnya sebagai floor director.
“Terakhir, lakukanlah dengan ‘lillahi ta’ala” gadis berhijab hijau muda dengan setelan warna senada itu tersenyum mengakhiri jawabannya.
“Setuju banget sama kamu Dit, ” Sedetik kemudian Joshua pun menambahkan. “Sejatinya kesenian itu merupakan unsur-unsur universal budaya. Di setiap Negara di seluruh penjuru dunia, kita pasti akan menemukannya. Lewat kesenian kita bisa mendapatkan sebuah keindahan baik secara audio, visual, ataupun audio-visual. Melalui kesenian kita bisa saling berintegrasi. Antar budaya yang berbeda bisa bersatu dalam sebuah pagelaran musik. Lihat aja deh fans KPOP di Indonesia. Mereka walaupun berbeda suku, agama, ras, dsb. tetap bersatu kan mendukung idola mereka. Terus, nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut merupakan unsur pendukung eksistensi keberadaan budaya itu sendiri. Dan kita sebagai bangsa Indonesia sejati pun harus dengan bangga memperkenalkan kesenian kita di mata dunia.”
“Benar sekali, maksud saya juga seperti itu! Bung Josh pendapat kita sama!”  ujar Joey dengan antusiasme yang terpancar di wajahnya lalu berhighfive dengan Josh dan memancing tawa para penonton.
“Mari kita beri apresiasi terhadap dua bintang muda kita ini yang super sekali!” ajak Joey kepada penonton sambil meberikan applause kepada mereka berdua.
Joshua sendiri terlihat puas dengan jawabannya. Raina memberi isyarat kepada penonton untuk bertepuk tangan. Setelah itu ia pun mengepalkan tangan kirinya tanda bahwa penonton boleh berhenti bertepuk tangan.
“We are the young generations. We must bring the better challenge for our future. And this theme is very related to our guests at this moment. And yes, to be very honest I love this one. Hot Young Blood in Culture!” kata-kata tersebut diucapkan dengan nada yang berapi-api oleh Joey namun tetap tidak melepaskan ekspresi manisnya yang khas.
Seketika membuat para fansnya memekik tertahan. Bukan karena mereka mengerti apa yang dimaksud pria itu melainkan karena ekspresi wajah sang idola yang menurut mereka bak dewa eros tersebut.
“Para generasi muda yang berapi-api dalam membangun kembali jiwa nasionalisme dan keadaerahannya masing-masing di tengah zaman hi-tech seperti ini. Wah saya sangat kagum lho kepada kalian berdua.” Sambung Joey.
“Justru kita harus memanfaatkan kemajuan teknologi ini dengan sebaik-baiknya Kak.” ucap Dita menanggapi.
“Selain itu kita harus berhenti menjadi seorang user dan cobalah jadi seorang maker.” Joshua menambahkan.
Si floor director sangat menikmati topik yang dibicarakan. Ia pun kadang menjawab pertanyaan yang dilontarkan Joey kepada Ditan dan Joshua. Tapi di dalam hati.
“Bangsa kita mempunyai sifat negative yaitu kita cenderung menjadi bangsa konsumtif. Harusnya kita sadar, dewasa ini kita harus melihat sikon baik-baik. Tahun depan kita akan mengaktifkan MEA, kita harus mampu bersaing di negeri sendiri dengan orang-orang asing. Kalau kita kekeuh menjadi seorang yang konsumtif dan ngga jadi orang produktif apakah kita mampu bersaing nantinya?” Joshua melanjutkan.
“Saya sendiri masih seorang yang konsumtif. Wah saya harus gimana dong? Huhu” tanggap Joey dengan nada sedih dan merubah ekspresinya seperti ingin menangis.
Suasana yang tadinya tegang, dicairkan oleh candaan ringan Joey dari tanggapan Joshua yang memang sangat berbobot.
“Pendapat Joshua tepat sekali. Sebagai generasi muda yang akan menjadi tombak pembangunan Negara di masa depan, kita harus buang jauh-jauh sifat apatis kita. Terus mulai deh berkontribusi bagi bangsa dan Negara dengan cara yang positif. Setuju?”  tanya Joey memastikan.
“SETUJUUU!!!” koor penonton kompak diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah setelah diintruksikan oleh Raina.
“Baik kembali ke Joshua nih. Saya sendiri kaget lho sama prestasi kamu Josh. Tokcer banget kamu!” puji Joey kepada mahasiswa berdarah batak tersebut. “Di usia kamu yang semuda ini, kamu mampu membuka pikiran konservatif para suku baduy menjadi agak lebih terbuka. Wah, hebat banget kan? Nah, itu ceritanya bagaimana Josh?”
“Kak Joey bisa aja. Hehe,” Jawab Joshua agak malu. “Jadi begini lho, para suku baduy yang terisolasi itu ialah suku baduy dalam lebih tepatnya. Mereka sangat antipati terhadap dunia luar. Leluhur mereka yang menyatakannya. Kami pun sadar akan cara apa yang harus kami ambil untuk mendekati mereka”
Joshua sendiri mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. Kentara sekali kalau ia ini sangat menikmati talkshownya. Begitupun Dita. Walaupun gadis berhijab itu seringkali tersipu malu setiap Joey melemparkan senyum kepadanya.
“Kebetulan saya ngga bekerja sendirian dalam pendekatan ini. Kami ada tim sendiri Kak Joey. Jadi ini murni ide bersama ya.” jelas Joshua diikuti anggukan Joey.
            “Langkah awal yang kita ambil adalah kita berkonsultasi dengan para warga suku baduy luar yang dipercaya sebagai tokoh adat. Beruntung sekali para tokoh adat ini bisa bersifat kooperatif. Tapi rintangan ditemukan saat kita akan mulai melaksanakan langkah intinya Kak. Kami berencana akan melaksanakan pendekatan halus melalui sarana pendidikan kepada anak-anak suku baduy dalam. Awalnya memang sangat sulit sekali. Akan tetapi kami ngga menyerah barang sedetikpun. Dibantu para tokoh adat dan warga sekitar perlahan mereka mulai sedikit membuka jalan bagi kami. Ini baru jalannya lho. Belum dalam tahap menerima.”
Seisi studio dibuat konsentrasi penuh terhadap penuturan Joshua. Termasuk para crew talkshow ini. Raina malah menyilangkan tangan di depan dadanya dan mendengarkan Joshua dengan seksama walaupun telinganya terhalang headphone besar.
“Kami ngga bermaksud merubah sesuatu yang sudah ada di sana. Kami membawa misi pendidikan dan kemanusiaan. Jadi dengan perlahan tapi pasti dengan niat kami dan usaha kami, Tuhan memberikan jalan. Para warga suku baduy dalam mulai sedikit lunak terhadap kami Kak. Karena apa? Karena memang kami jujur satu sama lain. Niat kami ini baik. Dan kami pun berusaha untuk mengarahkan mereka secara lembut dengan sebaik-baiknya. Bukan mengaturnya secara paksa. Kami pun banyak sekali mendapatkan pelajaran yang ngga kami dapat dari dosen di kelas, Kak. Kewajiban mutlak mereka yang sangat menjaga alam. Kereligiusan. Kepribadian mereka. Organisasi kemasyarakatan mereka. Wah banyak sekali deh!” Jelas Joshua panjang lebar.
PROK! PROK! PROK!
Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar. Kali ini Raina mengintruksikan Joey agar segera menutup segment ini.
“Misi yang dilakukan oleh Joshua CS bisa kita ibaratkan seperti, kalau kita menanam sebuah benih kebaikan yang dipupuki oleh kecerdasan maka kita akan menghasilkan buah dari kebaikan itu sendiri. Baik, jangan kemana-mana dulu, tetap di Joey’s Time!!”
Pukul delapan malam taping talkshow dengan Raina sebagai floor director selesai. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada para penonton yang telah datang melalui mikropon yang dipegangnya.
“Terima kasih atas kerja samanya semua. Hati-hati di jalan dan salam untuk keluarga di rumah!” ujar Raina melalu pengeras suara yang digunakannya sambil diselipi candaan.
Tak lupa gadis itu mengapresiasi kerja rekan-rekannya dengan mengucapkan terima kasih dan melampirkan senyum satu persatu mereka. Semuanya telah bekerja keras demi berlangsungnya talkshow mereka ini.
Thanks guys! You’ve worked hard! Let’s hope for the high rate and share!” ucap Raina semanagat.
Sang aktor sekaligus host utama itu pun mengacungkan jempolnya ke arah Raina. Lelaki jangkung itu pun sadar bahwa Raina memang seorang yang gigih dan giat dalam bekerja walaupun agak tempramen. Sedangkan gadis itu hanya membalasnya balik dengan ekspresi datar yang tercetak diwajahnya.
Darma pun menghampiri Raina setelah laki-laki yang usianya lebih tua dua tahun dari Raina itu selesai dengan tugasnya sebagai juru rekam.
“Kayanya lo nikmatin banget topik hari ini Na,” simpul Darma karena ia sedari tadi mendapati bahwa Raina tidak menampakan barang secuil pun ekpresi tidak suka melainkan sangat menikmati.
“Iya nih. Ngga tau kenapa.” Raina membeo pelan.
“Tema hari ini ide lo lagi?” tanya Darma cepat.
Raina menggeleng pelan lalu ia pun menunjuk Puan dengan kepalanya ke arah jam tiga yang sedang berbincang dengan staff yang lain.
“Ohh” Darma pun hanya ber-oh ria.
Raina berjalan meninggalkan Darma di belakangnya. Setelah urusan dengan bossnya di control room dan semua pekerjaan hari ini tuntas ia berencana akan langsung tancap gas untuk pulang ke rumah. Gadis berzodiak Cancer itu pun memijat pelan pundaknya yang serasa mau copot. Ternyata Darma menyusul di belakangnya dan langsung memijat punggung gadis di depannya sambil berjalan.
“Duh enak banget. Iya di situ Dar. Yang agak kencengan dikit dong. Tenaga lo kemanain?” pinta Raina yang membuat Darma malah dengan sengaja memijatnya dengan tenaga yang berlebihan
Astagfirullah! Lo mau matahin punggung gue?!”
Darma malah cekikian geli mendengar teriakan tak terima Raina. Lalu ia pun berjalan menyamai langkahnya dengan gadis itu. Terakhir ia melampirkan tangannya di pundak kecil gadis itu.
“Gue tahu kok. Hari ini lo seneng banget. Karena topiknya itu relate banget sama lo. Budaya. You are typically girl who has the various cultures. And you enjoyed it so much.”
Raina hanya mencibir mendengarnya. Meskipun nyatanya dalam hati ia merasa bangga akan keberagaman budaya yang ia warisi dari kedua orang tuanya tersebut.
“Yes. The best of me earned something new again. And it related about the culture. As the richy culturous girl, my self really loves it so much. Haha!”
“Mulai sok inggris lagi deh lo.” cibir Darma seraya menjawil pipi tembam gadis itu. Si empu pipi yang tidak terima pun membalas dengan mencubit keras lengan pria tersebut.
“Yang mulai kan lo duluan!”
“Adawwww!” pekik Darma sambil mengusap lengan atas kanannya yang agak nyut-nyutan. “Duh jangan cubit kaya gitu lagi apa. Adinda jadi sekong nih cyin…” jawab Darma dengan nada yang sangat melambai. Raina yang mendengarnya segera membuat gerakan muntah-muntah di tempat.
“Oh jadi sekarang gue lagi sama Diana bukan Darma. Yaudah, pokoknya situ mesti teraktir gue bakso wijaya kusuma di Al – Ikhlas sekarang! Gue ngga nerima penolakan. Oke?”
Darma pun mengangguk pelan dengan mimik sangat terpaksa.

FIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar