untuk memenuhi syarat agar bisa mengikuti UAS Manusia dan Kebudayaan Indonesia, gue diperintahkan oleh bunda untuk buat cerpen. and tada! i made it! alhamdulillah ga butuh waktu lama. hehe... (sok banget kauuu)
cerpen ini berisi materi yang kelompok presentasi gue dapet untuk presentasi. Integrasi dan Unsur-unsur Kebudayaan. Semoga aja nyambung dah ya sama cerita yang gue buat.hehe
PERHATIAN!! Cerita ini murni buatan GUE SENDIRI!! No copast!
semoga bermanfaat!
This Is Who I Am
Ratnawati
Matahari
senja menghiasi
langit Jakarta di ufuk barat kota metropolitan tersebut. Begitupula dengan gumpalan
awan yang semakin menipis sehingga menampilkan cakrawala dengan semburat jingga
sang surya. Pemandangan matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar
langit ibukota pun menjadi santapan sore Raina. Gadis muda berperawakan mungil
tersebut menikmati detik-detik sang surya kembali menuju ke peradabannya.
Suara muadzin yang saling
bersahutan untuk menyerukan adzan maghrib menjadi sound effect dari visualisasi yang direkam oleh kedua indera
penglihatan dan pendengarannya. Gadis dengan surai yang dikuncir kuda itu pun
memejamkan kedua matanya lalu merentangkan kedua tangannya ke udara. Meresapi
dalam-dalam setiap getaran seruan yang dikumandangkan untuk mengajak umat
muslim agar menunaikan ibadah sholat maghrib.
Sambil menurunkan kedua tangannya
dari udara, Raina membuka kedua matanya lalu mengucapkan perpisahan kepada sang
mentari yang telah kembali ke peraduannya. Setelah itu ia beranjak dari duduknya
di atas box yang tak terpakai. Kemudian ia membereskan alat tulis dan
kertas-kertas yang tercecer di dekatnya. Setelah dikira semuanya selesai, gadis
berparas oriental itu bergegas turun dari atap gedung kantornya dan menuju ke musholla
untuk segera menuntaskan kebutuhannya sebagai seorang muslim.
∞
Dalam perjalanan pulang menuju
kediamannya di selatan ibukota menggunakan bus umum bercorak hijau putih ini,
Rania membuang pandangannya ke arah jalan protokol ibukota yang didesaki
berbagai jenis transportasi.
Motor-motor beralih menerobos
trotoar pejalan kaki dengan dalih ingin cepat sampai tujuan. Pun mobil-mobil
pribadi yang berjalan pelan di kondisi padat merayap dengan kecepatan tak lebih
dari 10 km/jam. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya
di trotoar pejalan kaki.
Tak ingin kalah dengan pengendara
motor, para pedagang ini berdalih mengais rezeki di tengah ibukota dan
kemacetannya di jam-jam pulang kantor seperti ini. Berbagai jajanan seperti
bakso, mie ayam, somay, batagor, hingga pedagang minuman pun menjejali trotoar
yang lebarnya tak lebih dari ukuran bajaj ini. Pemandangan seperti ini pun
sudah menjadi hal yang lumrah di ibukota ini.
Di tengah lamunannya, Rania jadi
teringat percakapannya di kantor tadi bersama Darma. Itu semua bermuara pada narasi
berita yang terlalu singkat padat dan kelewat tidak jelas yang disuguhkan pria
penggila serial Mahabharata tersebut kepadanya. Meningatnya pun membuat ia jadi
ingin loncat dari kopaja yang ditumpanginya saat itu juga.
Flashback
“Na menurut lo narasi gue bisa
disisipin ke headline news nanti
malem ngga? Coba baca deh,” tanya pria maniak kemeja kotak-kotak tersebut
seraya menyodorkan kertas berisi coretan ceker ayamnya tersebut. Pun meminta
pendapat Rania yang sedang mengoreksi setumpuk skrip talkshow utama di tangannya.
Raina pun mengambil kertas yang
disodorkan oleh rekan kerjanya tersebut. Raut wajah gadis itu berubah saat
membacanya. Jelas sekali ia menahan tawanya agar tidak pecah.
“Gimana Na? Bisa ga kira-kira?”
Raina menaruh selembar kertas
yang agak lecak tersebut di atas meja kerja miliknya. Setelah itu ia menatap
Darma yang sedang berdiri di depannya.
“Lo. Lebih. Baik. Tetep. Jadi. Kameramen.
Aja. Titik.” Tandas gadis itu cepat. “Tapi, kalo lo ngotot pengen naskah lo
dipake buat headline news nanti
malem, bisa. Siap-siap ditendang juga dari sini abis itu oke.”
“Hahahaha. Emang narasi gue fatal
banget apa?”
Raina mendelik ke arah pria yang
memangku dagunya dengan kedua tangannya itu. “Ok. Gue tanya nih sama lo, apa
korelasi antara korupsi dengan budaya?”
“Hm… Korupsi itu udah kaya budaya
bangsa ini akhir-akhir ini menurut gua. Itu korelasinya. Korupsi ialah hasil
dari proses budaya di negeri kita ini.” jawab Darma santai.
“Kaya integrasi lho Na. Ibarat
kata, instanitas yang dimiliki para wakil rakyat kita di senayan terus
digabungin sama nafsu setan dalem diri mereka sendiri. Dari situ udah keliatan
banget kalo mereka berupaya untuk menghasilkan fungsi yang sebaik-baiknya atas
jabatan yang mereka pegang dan baam!
Lahirlah sebuah korupsi!”
Raina ingin sekali rasanya
menendang wajah laki-laki yang berstatus sebagai temannya ini saat itu juga.
Bagaimanapun juga, jawaban Darma tidak tepat sasaran. Menurut pandangan Raina
sendiri, korupsi bukan merupakan suatu kebudayaan. Sampai lebaran gorilla pun nggak
ada budaya korupsi. Lalu dengan sabar ia pun mencoba membenarkan spekulasi
Darma dengan argumentasinya.
“Yah tapi sih menurut hemat gue
ya Dar, korupsi itu bukan hasil dari suatu budaya. Kenapa? Lo dulu waktu SMA
jurusan IPS kan? Masih inget kan pengertian budaya itu sendiri?” selidik Raina
kepada Darma yang kini berpindah posisi duduk di sebelahnya setelah menyeret
satu kursi yang tak bertuan.
“Budaya ditinjau dari susunan
kata berasal kata yaitu bahasa sansekerta, buddhayah
sebagai bentuk jamak dari buddhi yang
artinya budi atau akal. Terus budaya itu sendiri ialah – “
“ – keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” potong Darma cepat.
“Itu menurut Koentjaraningrat kan.” ucap Raina retoris. “Nah, dari situ aja kan
lo harusnya udah bisa menelaah. Apakah kita belajar korupsi waktu SD? Korupsi
emang hasil karya manusia. Tapi ga semua manusia memiliki ide buat ngebobrokin
negaranya. Dan soal integrasi antara instanitas dan nafsu setan lo emang ada
benernya. But again, it cannot be counted
as our culture.” sambung Raina.
“Integrasi itu kan penyatuan
unsur-unsur tertentu, terus juga sebagai control social atas penyimpangan yang
ada pada sebuah sistem sosial tertentu. Tetapi korupsi bukan sebuah integrasi. Please deh!” Tutur gadis itu sembari
menatap sebal Darma yang justru menampakkan ekspresi jenaka di wajahnya. “Terus
nih korupsi itu bukan pengendalian terhadap penyimpangan yang ada. Gak peduli
juga terhadap individu-individu yang pada korupsi, mau mereka dari Jawa, Sunda,
Batak, Betawi, Dayak, deesbre, deesbre. Udah jelas banget kali mereka sendiri ngga
menerima korupsi sebagai mayoritas mereka, boro-boro minoritas deh.” jelas
Raina panjang lebar kepada Darma.
Gadis yang diketahui berdarah
Tionghoa itu pun sampai haus jadinya dan langsung meneguk air mineral dari
botol bermerk Tupperware yang selalu ia bawa kemana-mana.
Lain halnya dengan Darma. Lelaki
berambut hitam legam belah tengah tersebut malah bertepuk tangan menanggapi
penjelasan terperinci yang diberikan oleh rekan sejawatnya tersebut.
“Super sekali Raina. Pantes ya lo
dipromosiin sama si boss jadi floor
director cuma dalam kurun waktu satu tahun.”
Yang diberikan komentar hanya
mendelik membalasnya.
“Apaan sih. Lo mulai ngga jelas.
Dah sana balik ke tempat lo. Dan bawa nih narasi kacau lo. Emang deh sekali
kameramen tetep aja jadi kameramen.” ujar Raina sembari mengangsurkan kertas
berisi narasi yang menjadi sumber inti perbincangan super berat mereka hari
ini.
“Siap!”
Darma menerima kertas ditangannya
dan tak lupa melampirkan senyum kepada atasannya yang tidak kenal ampun
terhadapnya. Namun juga sangat pengertian, di waktu dan kesempatan yang
berbeda.
Flashback
end.
Perbincangan ringan namun
bermakna. Selesai mengulang rekaman mengenai obrolannya dengan Darma tadi,
Raina menyenderkan kepalanya di jendela bus yang mengangkutnya. Tanpa ia sadari
penumpang di dalamnya pun mulai berdesakan. Hujan yang turun di kala itu
membuat suasana menjadi mendukung gadis berkulit pucat itu terlelap di tengah
perjalanan.
∞
Memasuki bulan November berarti
Jakarta akan terus diguyur hujan dengan intensitas tak menentu. Kadang hujan
turun dengan deras dari pagi hingga sore sehingga menyisakan udara dingin yang
menggigil. Namun tak jarang hujan gerimis yang awet, sukses membuat kita
bermalas-malasan di atas tempat tidur kita sambil bergelung dengan selimut yang
hangat.
Lain halnya dengan Keluarga
Raina. Tak peduli apapun yang terjadi mereka semua tidak bisa tidak mengabaikan
rutinitas dan kewajiban mutlak mereka untuk bangun di pagi-pagi buta.
Ayah Raina yang masih keturunan
orang Tionghoa adalah seorang mualaf. Beliau memeluk islam dan melafadzkan dua
kalimat syahadat bukan semata-mata karena beliau ingin menikahi Ibu Raina. Ayah
Raina, Wu Yi Fan – atau yang lebih dikenal sebagai Affandi (nama muslimnya) –
ialah seorang lulusan S2 Sejarah Peradaban Islam Universtas Sorbon di Perancis
ini jatuh cinta kepada islam karena logika.
Rancu memang. Tapi bagi beliau
semua hal yang berhubungan dengan sejarah, budaya, atau apapun itu dalam Islam,
cukup masuk akal. Logikanya dapat menerimanya dan bahkan ia sendiri dibuat
jatuh cinta oleh kebesaranNya.
Kembali ke paragraf awal. Bangun
di pagi buta lalu menunaikan shalat subuh berjamaah sudah menjadi candu bagi
Raina dan keluarganya. Sehabis itu Raina pun bergegas membantu ibunya di dapur
untuk menyiapkan sarapan mereka bertiga.
“Bu, saya masih penasaran…”
ungkap Raina saat mengupas 3 siung bawang merah.
“Soal apa, hm?” jawab Ibu Raina
sambil menaruh wajan di atas kompor lalu menuangkan tiga sendok minyak goreng
dan menyalakan kompornya
“Itu, soal Ibu dan Bapak.” tukas
Raina selesai mengupas bawang merah lalu menyemplungkannya ke wajan yang telah
dipanasi sebelumnya. “Walaupun Ibu sama Bapak udah nyeritain ke Raina
berulang-ulang kali, tetep aja Raina masih penasaran. Di atas segala lintas
perbedaan Ibu dan Bapak, tapi kalian bisa bersatu. Menurut Raina pribadi itu
ajaib lho Bu.”
Ibu Raina tersenyum tipis
menanggapi celotehan pagi puteri tunggalnya tersebut.
“Bhineka Tunggal Ika.
Berbeda-beda tapi tetap satu. Hihi.” Ibu pun mengeluarkan kelakar agak
garingnya menanggapi statement putrinya tersebut. “Alhamdulillah, Ayah kamu itu dikaruniai akal sama Gusti Allah yang spesial. Keluarga ayahmu
pun begitu. Dengan tangan terbuka mereka menerima Ibumu ini yang latar
belakangnya 180 derajat berbeda. Ditambah unsur-unsur budaya keluarga ayahmu
dan Ibu yang serupa tapi tak sama.” lanjut Ibu.
Raina mendengar penuturan ibunya
dengan antusias namun masih fokus terhadap masakannya. Wangi sedap bawang yang
ditumis pun menguar. Menandakan Raina untuk segera mencampur nasi putih yang
sudah dingin dan beberapa bumbu tambahan seperti garam, merica, kecap manis dan
MSG ke dalam wajan untuk disulap menjadi nasi goreng.
“Iya ya Bu. Nenek bahkan dengan
senang hati akan nginep di sini selama lebaran buat bantuin Ibu bikin dodol. Hm.”
Raina menambahkan.
Kini Ibu Raina yang
mengambil-alih wajan dari anak gadisnya itu. Ia menambah irisan daging ayam di
atasnya lalu kembali menggorengnya.
“Ibu sendiri kagum sekali sama nenekmu.
Awalnya ada beberapa kerabat ayahmu yang menentang, tapi nenekmu dengan bijak
menengahi. Toleransi antar sesama. Itulah yang paling sering ibu tekankan
kepada kita semua. Dan hasilnya lihat aja sekarang. Kita bisa hidup di atas
garis-garis budaya yang saling bersimpangan dengan harmonis.” ibu Raina
tersenyum dibuatnya.
Bayangan saat ia pertama kali ikut
serta dalam perayaan Imlek di keluarga suaminya dulu hinggap di tempurung
kepalanya. Pasangan baru menikah otomatis langsung bangkrut karena harus
membagikan angpao kepada para keponakan dan sanak saudara.
Raina mengangguk mengamini. Lalu
ia beralih mencicipi nasi goreng buatan ibunya dengan menyuapkan sesendok nasi
goreng yang masih mengepulkan asap. Setelah dirasa pas, gadis berambut sebahu
itu pun mengacungkan jempol ke arah ibunya.
“Justru perbedaan itulah yang
buat kita jadi satu.”
Selalu. Raina memang tak pernah
melewatkan sesi perbincangan pagi bersama ayah ataupun ibunya. Entah itu
hal-hal sepele yang terkadang secara random
lewat di pikiran masing-masing atau selayang pandang yang didapati mereka di
jalan. Tak sekalipun mereka pernah kehabisan pembicaraan. Malah di benak Raina
sudah terpatri bahwa obrolan pagi seperti ini sangat penting baginya dan orang
tuanya untuk merekatkan bond mereka
sebagai keluarga.
Raina pun sadar betul.
Kesibukannya sebagai floor director
di sebuah stasiun televisi swasta yang terkadang memaksakan ia harus stand by di studio selama 24 jam membuat
ia jadi kehilangan quality times
bersama keluarganya.
Lagi pula obrolan mereka yang
terkadang menyangkut hal sepele tadi tentu ada hikmah yang bisa dipetik.
Seperti obrolan pagi Raina dan Ibunya tadi. Sebuah perbedaan yang menjadi
fondasi sebuah kesatuan. Dengan latar belakang budaya yang berbeda tetapi itu
semua justru menyatu secara alami.
Meski hanya bermata-pencaharian sebagai
petani kedelai di desa, Abah dan Ambu Ibu Raina sangat menjunjung tinggi nilai
moral dan agamis kepada puterinya tersebut. Begitupun dengan Papah dan Mamah
Ayah yang tinggal di kota sebagai pedagang barang-barang elektronik. Mereka
mewajibkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ibu yang
sangat religius dan Ayah yang sangat tekun belajar pun ditakdirkan untuk
bertemu.
Diatas keragaman tersebut justru
mereka merasa saling mengisi satu sama lain. Pro dan kontra pasti akan selalu
hadir sebagai pemanis di awal. Meskipun begitu, keluhuran hati dan pikiran yang
ada dalam payung budaya dan diatasnamakan cinta akan berakhir padu. Dan yang membuat Raina berdecak kagum adalah
pada akhirnya masing-masing kedua belah pihak baik keluarga ayah maupun ibu,
menerimanya dengan senyum di bibir dan lapang di dada.
∞
Jadwal hari ini Raina akan
melakukan taping talkshow dengan tema
Hot Young Blood in Culture bersama
dua bintang tamu yang diundang. Mereka yakni diantaranya, Pradita Kamehswara – penari topeng Cirebon
yang mengharumkan nama bangsa dalam ajang internasional – dan Joshua Sibarani –
mahasiswa universitas fakultas ilmu sosial terkemuka di Bandung yang membuat
terobosan bagi suku baduy di Banten – untuk berbagi kisah suksesnya kepada
masyarakat Indonesia.
Dua jam sebelum waktu take Raina dibuat pusing oleh bagian talent yang melobi Raina bahwa penonton
bayaran yang biasa mereka pakai kali ini berhalangan hadir. Gadis itu dibuat
pusing delapan keliling. Pasalnya orang-orang yang berada di control room tak letihnya memberi Raina
ultimatum agar segera menemukan solusinya.
“Kalau ngga ada penonton. Talkshow hari ini terancam batal!”
teriak Raina kesal “Puan, coba lo contact
Rozi. Biasanya dia punya stock
penonton bayaran.” titah Raina kepada staff perempuan bernama Puan tersebut.
Darma di balik set cameranya yang
menangkap ekspresi kesal Raina hanya bisa menggeleng pasrah. Toh sejatinya ia
memang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau shooting hari ini dibatalkan dia akan merasa gondok juga.
Joey Iskandar, seorang soloist
dan aktor muda yang didapuk sebagai host
talkshownya pun berinisiatif untuk mengerahkan lebih banyak masa dari para penggemarnya untuk
datang ke taping talkshownya.
Ajaibnya, dalam kurun waktu kurang dari satu jam, studio sudah dipenuhi oleh
puluhan fans Joey. Lengkap dengan atribut lengkap mereka yang berbau Joey. Baik
itu varsitiy, kaos, handbanner, bahkan lightstick. Layaknya si idola sedang menggelar jumpa fans! Raina
sendiri pun dibuat bergidik ngeri. Ternyata efek seorang Idol itu memang
dahsyat.
Talkshow pun akhirnya tetap dilanjutkan.
Berterimakasihlah kepada sejumlah penggemar fanatik Joey yang dengan senang
hati bersedia datang ke studio TV E. Ketimbang penonton bayaran yang tidak
professional, para fans Joey justru patut diberikan apresiasi. Toh mereka akan
melakukan apapun demi sang idola.
Kembali ke proses taping. Di
tengah talkshow, Joey melemparkan
pertanyaan kepada dua narasumbernya. Dan jawaban mereka cukup membuat penonton
sesisi studio yang notabenenya fans Joey tak henti-hentinya berdecak kagum
menanggapi.
“Di usia Dita yang masih muda,
kamu sudah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional dengan bakat dewa
kamu,” Joey mengatakannya sambil tersenyum “Tolong dong kasih kita-kita tips
supaya kita bisa menjadi seperti kamu?”
“Hmm…” Dita memberi jeda pada
jawabannya sendiri. “Pertama sih kita harus mencintai kesenian daerah kita
sendiri. Terima kekurangan dan kelebihannya. Namun aku ngga menemukan secuil
kekurangan pada kesenian daerahku. Ini karena aku menilainya secara subjektif
ya. Hehe” gadis mungil itu menampakan deretan gigi putihnya lalu melanjutkannya
lagi.
“Lalu yakinin diri kamu sendiri
bahwa kesenian ini milik kita. Dan kita harus melestarikannnya. Jangan biarin
orang lain merampasnya.”
Raina yang berdiri di dekat Darma
pun menyaksikan jalannya talkshow
kali ini dengan mimik wajah serius namun tidak melupakan tugasnya sebagai floor director.
“Terakhir, lakukanlah dengan ‘lillahi ta’ala” gadis berhijab hijau
muda dengan setelan warna senada itu tersenyum mengakhiri jawabannya.
“Setuju banget sama kamu Dit, ”
Sedetik kemudian Joshua pun menambahkan. “Sejatinya kesenian itu merupakan
unsur-unsur universal budaya. Di setiap Negara di seluruh penjuru dunia, kita
pasti akan menemukannya. Lewat kesenian kita bisa mendapatkan sebuah keindahan
baik secara audio, visual, ataupun audio-visual. Melalui kesenian kita bisa
saling berintegrasi. Antar budaya yang berbeda bisa bersatu dalam sebuah
pagelaran musik. Lihat aja deh fans KPOP di Indonesia. Mereka walaupun berbeda
suku, agama, ras, dsb. tetap bersatu kan mendukung idola mereka. Terus, nilai
yang terkandung dalam kesenian tersebut merupakan unsur pendukung eksistensi
keberadaan budaya itu sendiri. Dan kita sebagai bangsa Indonesia sejati pun
harus dengan bangga memperkenalkan kesenian kita di mata dunia.”
“Benar sekali, maksud saya juga
seperti itu! Bung Josh pendapat kita sama!” ujar Joey dengan antusiasme yang terpancar di
wajahnya lalu berhighfive dengan Josh
dan memancing tawa para penonton.
“Mari kita beri apresiasi
terhadap dua bintang muda kita ini yang super sekali!” ajak Joey kepada
penonton sambil meberikan applause
kepada mereka berdua.
Joshua sendiri terlihat puas
dengan jawabannya. Raina memberi isyarat kepada penonton untuk bertepuk tangan.
Setelah itu ia pun mengepalkan tangan kirinya tanda bahwa penonton boleh
berhenti bertepuk tangan.
“We
are the young generations. We must bring the better challenge for our future.
And this theme is very related to our guests at this moment. And yes, to be
very honest I love this one. Hot Young Blood in Culture!” kata-kata tersebut diucapkan
dengan nada yang berapi-api oleh Joey namun tetap tidak melepaskan ekspresi
manisnya yang khas.
Seketika membuat para fansnya
memekik tertahan. Bukan karena mereka mengerti apa yang dimaksud pria itu
melainkan karena ekspresi wajah sang idola yang menurut mereka bak dewa eros
tersebut.
“Para generasi muda yang
berapi-api dalam membangun kembali jiwa nasionalisme dan keadaerahannya
masing-masing di tengah zaman hi-tech
seperti ini. Wah saya sangat kagum lho kepada kalian berdua.” Sambung Joey.
“Justru kita harus memanfaatkan
kemajuan teknologi ini dengan sebaik-baiknya Kak.” ucap Dita menanggapi.
“Selain itu kita harus berhenti
menjadi seorang user dan cobalah jadi
seorang maker.” Joshua menambahkan.
Si floor director sangat menikmati topik yang dibicarakan. Ia pun
kadang menjawab pertanyaan yang dilontarkan Joey kepada Ditan dan Joshua. Tapi
di dalam hati.
“Bangsa kita mempunyai sifat
negative yaitu kita cenderung menjadi bangsa konsumtif. Harusnya kita sadar,
dewasa ini kita harus melihat sikon baik-baik. Tahun depan kita akan
mengaktifkan MEA, kita harus mampu bersaing di negeri sendiri dengan
orang-orang asing. Kalau kita kekeuh menjadi seorang yang konsumtif dan ngga
jadi orang produktif apakah kita mampu bersaing nantinya?” Joshua melanjutkan.
“Saya sendiri masih seorang yang
konsumtif. Wah saya harus gimana dong? Huhu” tanggap Joey dengan nada sedih dan
merubah ekspresinya seperti ingin menangis.
Suasana yang tadinya tegang, dicairkan
oleh candaan ringan Joey dari tanggapan Joshua yang memang sangat berbobot.
“Pendapat Joshua tepat sekali.
Sebagai generasi muda yang akan menjadi tombak pembangunan Negara di masa depan,
kita harus buang jauh-jauh sifat apatis kita. Terus mulai deh berkontribusi bagi
bangsa dan Negara dengan cara yang positif. Setuju?” tanya Joey memastikan.
“SETUJUUU!!!” koor penonton
kompak diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah setelah diintruksikan oleh
Raina.
“Baik kembali ke Joshua nih. Saya
sendiri kaget lho sama prestasi kamu Josh. Tokcer banget kamu!” puji Joey
kepada mahasiswa berdarah batak tersebut. “Di usia kamu yang semuda ini, kamu
mampu membuka pikiran konservatif para suku baduy menjadi agak lebih terbuka.
Wah, hebat banget kan? Nah, itu ceritanya bagaimana Josh?”
“Kak Joey bisa aja. Hehe,” Jawab
Joshua agak malu. “Jadi begini lho, para suku baduy yang terisolasi itu ialah
suku baduy dalam lebih tepatnya. Mereka sangat antipati terhadap dunia luar.
Leluhur mereka yang menyatakannya. Kami pun sadar akan cara apa yang harus kami
ambil untuk mendekati mereka”
Joshua sendiri mengubah posisi
duduknya agar lebih nyaman. Kentara sekali kalau ia ini sangat menikmati talkshownya. Begitupun Dita. Walaupun
gadis berhijab itu seringkali tersipu malu setiap Joey melemparkan senyum
kepadanya.
“Kebetulan saya ngga bekerja
sendirian dalam pendekatan ini. Kami ada tim sendiri Kak Joey. Jadi ini murni
ide bersama ya.” jelas Joshua diikuti anggukan Joey.
“Langkah
awal yang kita ambil adalah kita berkonsultasi dengan para warga suku baduy
luar yang dipercaya sebagai tokoh adat. Beruntung sekali para tokoh adat ini
bisa bersifat kooperatif. Tapi rintangan ditemukan saat kita akan mulai
melaksanakan langkah intinya Kak. Kami berencana akan melaksanakan pendekatan
halus melalui sarana pendidikan kepada anak-anak suku baduy dalam. Awalnya
memang sangat sulit sekali. Akan tetapi kami ngga menyerah barang sedetikpun.
Dibantu para tokoh adat dan warga sekitar perlahan mereka mulai sedikit membuka
jalan bagi kami. Ini baru jalannya lho. Belum dalam tahap menerima.”
Seisi studio dibuat konsentrasi
penuh terhadap penuturan Joshua. Termasuk para crew talkshow ini. Raina malah menyilangkan tangan di depan dadanya dan
mendengarkan Joshua dengan seksama walaupun telinganya terhalang headphone besar.
“Kami ngga bermaksud merubah
sesuatu yang sudah ada di sana. Kami membawa misi pendidikan dan kemanusiaan.
Jadi dengan perlahan tapi pasti dengan niat kami dan usaha kami, Tuhan
memberikan jalan. Para warga suku baduy dalam mulai sedikit lunak terhadap kami
Kak. Karena apa? Karena memang kami jujur satu sama lain. Niat kami ini baik.
Dan kami pun berusaha untuk mengarahkan mereka secara lembut dengan
sebaik-baiknya. Bukan mengaturnya secara paksa. Kami pun banyak sekali
mendapatkan pelajaran yang ngga kami dapat dari dosen di kelas, Kak. Kewajiban
mutlak mereka yang sangat menjaga alam. Kereligiusan. Kepribadian mereka.
Organisasi kemasyarakatan mereka. Wah banyak sekali deh!” Jelas Joshua panjang
lebar.
PROK!
PROK! PROK!
Gemuruh tepuk tangan kembali
terdengar. Kali ini Raina mengintruksikan Joey agar segera menutup segment ini.
“Misi yang dilakukan oleh Joshua
CS bisa kita ibaratkan seperti, kalau kita menanam sebuah benih kebaikan yang
dipupuki oleh kecerdasan maka kita akan menghasilkan buah dari kebaikan itu
sendiri. Baik, jangan kemana-mana dulu, tetap di Joey’s Time!!”
∞
Pukul delapan malam taping
talkshow dengan Raina sebagai floor
director selesai. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada para penonton yang
telah datang melalui mikropon yang dipegangnya.
“Terima kasih atas kerja samanya
semua. Hati-hati di jalan dan salam untuk keluarga di rumah!” ujar Raina melalu
pengeras suara yang digunakannya sambil diselipi candaan.
Tak lupa gadis itu mengapresiasi
kerja rekan-rekannya dengan mengucapkan terima kasih dan melampirkan senyum
satu persatu mereka. Semuanya telah bekerja keras demi berlangsungnya talkshow
mereka ini.
“Thanks guys! You’ve worked hard! Let’s hope for the high rate and
share!” ucap Raina semanagat.
Sang aktor sekaligus host utama itu pun mengacungkan
jempolnya ke arah Raina. Lelaki jangkung itu pun sadar bahwa Raina memang
seorang yang gigih dan giat dalam bekerja walaupun agak tempramen. Sedangkan
gadis itu hanya membalasnya balik dengan ekspresi datar yang tercetak
diwajahnya.
Darma pun menghampiri Raina
setelah laki-laki yang usianya lebih tua dua tahun dari Raina itu selesai
dengan tugasnya sebagai juru rekam.
“Kayanya lo nikmatin banget topik
hari ini Na,” simpul Darma karena ia sedari tadi mendapati bahwa Raina tidak
menampakan barang secuil pun ekpresi tidak suka melainkan sangat menikmati.
“Iya nih. Ngga tau kenapa.” Raina
membeo pelan.
“Tema hari ini ide lo lagi?”
tanya Darma cepat.
Raina menggeleng pelan lalu ia
pun menunjuk Puan dengan kepalanya ke arah jam tiga yang sedang berbincang
dengan staff yang lain.
“Ohh” Darma pun hanya ber-oh ria.
Raina berjalan meninggalkan Darma
di belakangnya. Setelah urusan dengan bossnya di control room dan semua pekerjaan hari ini tuntas ia berencana akan
langsung tancap gas untuk pulang ke rumah. Gadis berzodiak Cancer itu pun memijat pelan pundaknya yang serasa mau copot.
Ternyata Darma menyusul di belakangnya dan langsung memijat punggung gadis di depannya
sambil berjalan.
“Duh enak banget. Iya di situ
Dar. Yang agak kencengan dikit dong. Tenaga lo kemanain?” pinta Raina yang
membuat Darma malah dengan sengaja memijatnya dengan tenaga yang berlebihan
“Astagfirullah! Lo mau matahin punggung gue?!”
Darma malah cekikian geli
mendengar teriakan tak terima Raina. Lalu ia pun berjalan menyamai langkahnya
dengan gadis itu. Terakhir ia melampirkan tangannya di pundak kecil gadis itu.
“Gue tahu kok. Hari ini lo seneng
banget. Karena topiknya itu relate
banget sama lo. Budaya. You are typically
girl who has the various cultures. And you enjoyed it so much.”
Raina hanya mencibir
mendengarnya. Meskipun nyatanya dalam hati ia merasa bangga akan keberagaman
budaya yang ia warisi dari kedua orang tuanya tersebut.
“Yes.
The best of me earned something new again. And it related about the culture. As
the richy culturous girl, my self really loves it so much. Haha!”
“Mulai sok inggris lagi deh lo.”
cibir Darma seraya menjawil pipi tembam gadis itu. Si empu pipi yang tidak
terima pun membalas dengan mencubit keras lengan pria tersebut.
“Yang mulai kan lo duluan!”
“Adawwww!” pekik Darma sambil
mengusap lengan atas kanannya yang agak nyut-nyutan. “Duh jangan cubit kaya
gitu lagi apa. Adinda jadi sekong nih cyin…” jawab Darma dengan nada yang
sangat melambai. Raina yang mendengarnya segera membuat gerakan muntah-muntah
di tempat.
“Oh jadi sekarang gue lagi sama
Diana bukan Darma. Yaudah, pokoknya situ mesti teraktir gue bakso wijaya kusuma
di Al – Ikhlas sekarang! Gue ngga nerima penolakan. Oke?”
Darma pun mengangguk pelan dengan
mimik sangat terpaksa.
FIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar