menjelang UAS dosen gemar menghadiahi para mahasiswa/inya dnegan tugas. nah, untuk matkul Pengantar Kajian Sastra juga begitu. hadeuh nih tuga bener2 bikin kepala gue amburadul isinya. sebulan gue ngerjain lima halaman doang.. payah bener.
tapi bagusnya gue ini ga copast! bagus sih tapi lama bener cuy...
yasudah semoga ini bermanfaat sebagai referensi lah. cekidottt >>>
Kajian Puisi dalam Antologi Puisi Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
1966
Dari Catatan Seorang Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
1966
Depan Sekretariat Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Membuka baretnya
Airmata tak tertahan
Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal awan.
1966
Kajian Puisi
Ternyata, dalam memahami puisi
tidak hanya dapat dilakukan dengan meninjau unsur fisiknya saja, melainkan ada
unsur lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami. Begitu pula dengan
kegiatan yang sudah saya kerjakan selama beberapa waktu kebelakang. Yakni,
mengkaji suatu unsur batin yang terkandung dalam puisi.
Dalam
tugas pengkajian puisi di semester ini saya akan mengangkat tiga puisi yang
saya ambil dari antologi puisi Tirani dan
Benteng karya Taufiq Ismail yang memiliki tema yang saling berkaitan satu
sama lain, antara lain Karangan Bunga, Dari Catatan Seorang Demonstran, dan
Depan Sekretariat Negara.
Sastrawan
lulusan FKHP-UI Bogor pada 1963 ini mengangkat tema perjuangan melawan
kediktatoran pemerintah yang saat itu sangatlah tabu. Kata – kata yang tertuang
secara gamblang menggambarkan bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi.
Perasaan
simpati dan empati yang disampaikan dalam puisi Karangan Bunga adalah salah
satunya.
Penyair tidak
menggunakan kiasan yang hiperbolis dan terkesan sederhana sehingga memudahkan
para pembaca untuk mengerti pesan yang ingin disampaikan. Frasa /Tiga anak kecil/ dalam
konteks ini memuat arti anak-anak kecil yang akan menjadi generasi selanjutnya
di masa depan.
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Anak kecil biasanya membawa kesan
seseorang yang pemalu dan agak canggung. Kepolosan yang dimilikinya juga
memiliki andil besar dalam karakterisasi Tiga Anak Kecil yang dimaksudkan oleh
penyair. Itulah sebabnya penyair menuliskan /Dalam
langkah malu-malu/ yang sangat menginterpestasikan sosok seorang anak kecil
yang sesungguhnya.
Pada zamannya, Salemba terkenal
sebagai daerah pergejolakan para mahasiswa. Sebab, gedung kampus Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia memang bermarkas di sana. Dan kala itu,
mahasiswa merupakan ujung tombak masyarakat dalam melawan kediktatoran
pemerintah. Mungkin karena itu penyair memilih Salemba sebagai destinasi di
dalam sajaknya.
Setting yang dipakai oleh penyair
yakni pada waktu sore hari. /Sore itu/
maksudnya saat sore hari di mana matahari yang mulai condong ke arah timur. Menjelang
terbenamnya matahari akan menimbulkan semburat warna jingga. Moment tersebut sangat
lekat sekali dengan perasaan sendu yang mendalam.
Penyair pun menggunakan sudut pandang
orang ketiga yang memposisikan dirinya sebagai orang yang tahu segalanya. Hal
tersebutlah yang menambah kesan yang mendukung.
Pada bait kedua sekaligus menjadi
yang terakhir, penyair memilih membuat semacam dialog yang diucapkan oleh salah
seorang anak kecil tersebut. Berikut
penggalannya,
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Pita hitam sendiri ialah lambang
sebuah perasaan duka akibat kepergian seseorang. Penyair pun juga menyertakan
keterangan kapan sang kakak meninggal. Guna mendukung kesan duka yang
diciptakannya.
Dalam puisi ini, penyair memilih
menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Hal ini dimaksudkan agar
pesan yang ada di dalamnya tersampaikan secara utuh.
Masih mengangkat tema mengenai
perlawanan terhadap pemerintah. Pada puisi Catatan Seorang Demonstran, Taufiq
mencoba mengangkat gambaran para demonstran yang kala itu bergerilya menentang
kediktatoran pemerintah.. Mereka digambarkan layaknya akan berperang. Hal itu
jelas terdapat pada bait pertama puisi berikut.
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Peperangan tanpa jenderal dan
senapan melukiskan seorang yang tidak dilengkapi perbekalan yang cukup sehingga
kemungkinan besar untuk kalah sangatlah tinggi. Maka dari itu, kesan lemah
rakyat yang melawan pemerintah pada masa itu dituangkan ke dalam bentuk kiasan
seperti itu.
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Penggunaan diksi diatas sangat jelas
sekali mengarah pada ketidakberdayaan masyarakat yang menentang pemerintah kala
itu jika ditilik dari realitas. Pada frasa di baris ketiga, /Pada
hari-hari yang mendung/ merujuk pada suatu timing kesedihan. Mendung
didominasi oleh goresan mega bernuansa kelabu. Harapan untuk menang seakan
tiada. Itulah mengapa perasaan ketidakadilan sangat terasa melalui pilihan kata
di baris keempat darialinea pertama sajak ini.
Dalam sajak modern banyak mengandung ironi. Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Penyair berusaha memasukkan unsur ironi dalam sajaknya, seperti pada bait berikut.
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
1966
1966
Secara pribadi penulis merasakan sebuah perasaan
ketidaksukaan penyair terhadap pemerintah kala itu. Dalam upaya melawan
dibutuhkan power dan courage. Kekuatan dan keberanian. Penyair menyatakan
secara terang-terangan bahwa melawan pemerintah layaknya menguji keberanian.
Penulis dapat menangkap perasaan yang nyinyir terhadap diksi yang digunakan
oleh penyair. Satu sisi ia tidak suka dengan kekuasaan tak terbatas pemerintah
kala itu namun di satu sisi, ia juga merasa pesimis mengenai perlawanan para
demonstran kala itu.
Keputus-asaan yang sangat
menyedihkan yang sesungguhnya sangat terasa baik di alinea satu ataupun kedua
seperti factor x yang dimiliki oleh sajak ini. Terlebih perasaan tersebut
tergambar jelas pada diksi yang digunakan antara lain: Pada hari-hari berkabung. Di depan menghadang ribuan
lawan.
Beranjak dari pusi kedua menuju ke
puisi terakhir yang penulis kaji yang berjudul Depan Sekretariat Negara. Dengan
kesamaan tema seperti sepasang puisi sebelumnya. Penyair kali ini mengangkat
sebuah kisah duka para demonstran yang tewas akibat perlawanan dari pihak
lawan. Lagi, bahasa yang lugas dan tidak terlalu KBBI-isme kembali diusut oleh
Taufiq. Hal itu didukung dengan diksi yang terdapat pada larik pertama pusi
tersebut:
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
Perasaan
duka kembali menyelimuti tatkala penulis sampai pada larik kedua. Layaknya
memberikan penghormatan terakhir kepada rekan sejawat yang gugur di medan
perang lagu Gugur Bunga pun disenandungkan. Tokoh Kami di sini mewakilkan para
rekan sejawat almarhum yang ditinggalkan. Penggunaan tokoh Kami adapun
maksudnya penyair menekankan bahwa banyak orang yang merasa kegalauan
sepeninggalan orang tersebut.
Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Depan
Sekretariat Negara selain menjadi judul dari puisi yang penulis kaji, merupakan
latar utama penyebab munculnya segelumit perasaan sendu kala membacanya. Di
depan sekretariat Negara kala itu terjadi bentrok antara pihak kepolisian dan
masyarakat yang mayoritasnya mahasiswa.
Sebagai
antiklimaks, penyair pun memilih penggunaan majas personifikasi pada larik
penutup berikut. Perasaan bumi berduka seakan kuat sekali tatkala penyair
membawa Dwiwarna sebagai perwakilan. Hal-hal di atas benar adanya dan bisa
dibuktikan. Berikut bukti penggunaan diksi dan majas, antara lain:
Di puncak Gayatri
Menunduklah
bendera
Di belakangnya segumpal awan.
Point
terakhir, yang paling penting dari setiap karya puisi adalah amanat atau pesan.
Baik itu tersirat ataupun tidak tersirat. Kesimpulan dari seluruh puisi yang
memiliki kesamaan yang bersifat satu ini ialah: Setiap pengorbanan yang
dilakukan pasti menghasilkan konsekuensi. Kemungkinan besar dua konsekuensi.
Baik itu konsekuensi yang menyesakkan ataupun melegakan dada. Dan ada baiknya
apapun kita terima sebaik-baiknya. Karena, Tuhan pun pasti telah merencanakan
sesuatu di balik peristiwa itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar