Rabu, 04 Februari 2015

Kajian Puisi dalam Antologi Puisi Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail

menjelang UAS dosen gemar menghadiahi para mahasiswa/inya dnegan tugas. nah, untuk matkul Pengantar Kajian Sastra juga begitu. hadeuh nih tuga bener2 bikin kepala gue amburadul isinya. sebulan gue ngerjain lima halaman doang.. payah bener. 
tapi bagusnya gue ini ga copast! bagus sih tapi lama bener cuy...

yasudah semoga ini bermanfaat sebagai referensi lah. cekidottt >>>


Kajian Puisi dalam Antologi Puisi Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail 



Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
1966


Dari Catatan Seorang Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan

Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
1966


Depan Sekretariat Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan

Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan

Perajurit ini
Membuka baretnya
Airmata tak tertahan

Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal awan.

1966

Kajian Puisi

Ternyata, dalam memahami puisi tidak hanya dapat dilakukan dengan meninjau unsur fisiknya saja, melainkan ada unsur lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami. Begitu pula dengan kegiatan yang sudah saya kerjakan selama beberapa waktu kebelakang. Yakni, mengkaji suatu unsur batin yang terkandung dalam puisi.
Dalam tugas pengkajian puisi di semester ini saya akan mengangkat tiga puisi yang saya ambil dari antologi puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail yang memiliki tema yang saling berkaitan satu sama lain, antara lain Karangan Bunga, Dari Catatan Seorang Demonstran, dan Depan Sekretariat Negara.

Sastrawan lulusan FKHP-UI Bogor pada 1963 ini mengangkat tema perjuangan melawan kediktatoran pemerintah yang saat itu sangatlah tabu. Kata – kata yang tertuang secara gamblang menggambarkan bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi.

Perasaan simpati dan empati yang disampaikan dalam puisi Karangan Bunga adalah salah satunya.

Penyair tidak menggunakan kiasan yang hiperbolis dan terkesan sederhana sehingga memudahkan para pembaca untuk mengerti pesan yang ingin disampaikan. Frasa /Tiga anak kecil/ dalam konteks ini memuat arti anak-anak kecil yang akan menjadi generasi selanjutnya di masa depan.


Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.

Anak kecil biasanya membawa kesan seseorang yang pemalu dan agak canggung. Kepolosan yang dimilikinya juga memiliki andil besar dalam karakterisasi Tiga Anak Kecil yang dimaksudkan oleh penyair. Itulah sebabnya penyair menuliskan /Dalam langkah malu-malu/ yang sangat menginterpestasikan sosok seorang anak kecil yang sesungguhnya.

Pada zamannya, Salemba terkenal sebagai daerah pergejolakan para mahasiswa. Sebab, gedung kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memang bermarkas di sana. Dan kala itu, mahasiswa merupakan ujung tombak masyarakat dalam melawan kediktatoran pemerintah. Mungkin karena itu penyair memilih Salemba sebagai destinasi di dalam sajaknya.

Setting yang dipakai oleh penyair yakni pada waktu sore hari. /Sore itu/ maksudnya saat sore hari di mana matahari yang mulai condong ke arah timur. Menjelang terbenamnya matahari akan menimbulkan semburat warna jingga. Moment tersebut sangat lekat sekali dengan perasaan sendu yang mendalam.

Penyair pun menggunakan sudut pandang orang ketiga yang memposisikan dirinya sebagai orang yang tahu segalanya. Hal tersebutlah yang menambah kesan yang mendukung.

Pada bait kedua sekaligus menjadi yang terakhir, penyair memilih membuat semacam dialog yang diucapkan oleh salah seorang anak kecil tersebut. Berikut penggalannya,

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.

Pita hitam sendiri ialah lambang sebuah perasaan duka akibat kepergian seseorang. Penyair pun juga menyertakan keterangan kapan sang kakak meninggal. Guna mendukung kesan duka yang diciptakannya.

Dalam puisi ini, penyair memilih menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Hal ini dimaksudkan agar pesan yang ada di dalamnya tersampaikan secara utuh.

Masih mengangkat tema mengenai perlawanan terhadap pemerintah. Pada puisi Catatan Seorang Demonstran, Taufiq mencoba mengangkat gambaran para demonstran yang kala itu bergerilya menentang kediktatoran pemerintah.. Mereka digambarkan layaknya akan berperang. Hal itu jelas terdapat pada bait pertama puisi berikut.

Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan

Peperangan tanpa jenderal dan senapan melukiskan seorang yang tidak dilengkapi perbekalan yang cukup sehingga kemungkinan besar untuk kalah sangatlah tinggi. Maka dari itu, kesan lemah rakyat yang melawan pemerintah pada masa itu dituangkan ke dalam bentuk kiasan seperti itu.

Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan

Penggunaan diksi diatas sangat jelas sekali mengarah pada ketidakberdayaan masyarakat yang menentang pemerintah kala itu jika ditilik dari realitas. Pada frasa di baris ketiga, /Pada hari-hari yang mendung/ merujuk pada suatu timing kesedihan. Mendung didominasi oleh goresan mega bernuansa kelabu. Harapan untuk menang seakan tiada. Itulah mengapa perasaan ketidakadilan sangat terasa melalui pilihan kata di baris keempat darialinea pertama sajak ini.

Dalam sajak modern
banyak mengandung ironi. Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Penyair berusaha memasukkan unsur ironi dalam sajaknya, seperti pada bait berikut.


Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.

1966

Secara pribadi penulis merasakan sebuah perasaan ketidaksukaan penyair terhadap pemerintah kala itu. Dalam upaya melawan dibutuhkan power dan courage. Kekuatan dan keberanian. Penyair menyatakan secara terang-terangan bahwa melawan pemerintah layaknya menguji keberanian. Penulis dapat menangkap perasaan yang nyinyir terhadap diksi yang digunakan oleh penyair. Satu sisi ia tidak suka dengan kekuasaan tak terbatas pemerintah kala itu namun di satu sisi, ia juga merasa pesimis mengenai perlawanan para demonstran kala itu.

Keputus-asaan yang sangat menyedihkan yang sesungguhnya sangat terasa baik di alinea satu ataupun kedua seperti factor x yang dimiliki oleh sajak ini. Terlebih perasaan tersebut tergambar jelas pada diksi yang digunakan antara lain: Pada hari-hari berkabung. Di depan menghadang ribuan lawan.

Beranjak dari pusi kedua menuju ke puisi terakhir yang penulis kaji yang berjudul Depan Sekretariat Negara. Dengan kesamaan tema seperti sepasang puisi sebelumnya. Penyair kali ini mengangkat sebuah kisah duka para demonstran yang tewas akibat perlawanan dari pihak lawan. Lagi, bahasa yang lugas dan tidak terlalu KBBI-isme kembali diusut oleh Taufiq. Hal itu didukung dengan diksi yang terdapat pada larik pertama pusi tersebut:

Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan

Perasaan duka kembali menyelimuti tatkala penulis sampai pada larik kedua. Layaknya memberikan penghormatan terakhir kepada rekan sejawat yang gugur di medan perang lagu Gugur Bunga pun disenandungkan. Tokoh Kami di sini mewakilkan para rekan sejawat almarhum yang ditinggalkan. Penggunaan tokoh Kami adapun maksudnya penyair menekankan bahwa banyak orang yang merasa kegalauan sepeninggalan orang tersebut.

Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan

Depan Sekretariat Negara selain menjadi judul dari puisi yang penulis kaji, merupakan latar utama penyebab munculnya segelumit perasaan sendu kala membacanya. Di depan sekretariat Negara kala itu terjadi bentrok antara pihak kepolisian dan masyarakat yang mayoritasnya mahasiswa.

Sebagai antiklimaks, penyair pun memilih penggunaan majas personifikasi pada larik penutup berikut. Perasaan bumi berduka seakan kuat sekali tatkala penyair membawa Dwiwarna sebagai perwakilan. Hal-hal di atas benar adanya dan bisa dibuktikan. Berikut bukti penggunaan diksi dan majas, antara lain:

Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal awan.


Point terakhir, yang paling penting dari setiap karya puisi adalah amanat atau pesan. Baik itu tersirat ataupun tidak tersirat. Kesimpulan dari seluruh puisi yang memiliki kesamaan yang bersifat satu ini ialah: Setiap pengorbanan yang dilakukan pasti menghasilkan konsekuensi. Kemungkinan besar dua konsekuensi. Baik itu konsekuensi yang menyesakkan ataupun melegakan dada. Dan ada baiknya apapun kita terima sebaik-baiknya. Karena, Tuhan pun pasti telah merencanakan sesuatu di balik peristiwa itu semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar