tadaa! artikel mengenai psikologi abnormal karangan saya telah tibaa!! artikel ini dipersembahkan khusus untuk mata kuliah pengantar psikologi lintas budaya. dan kebetulan ane dapet materi bombastis, psikologi abnormal. fiuuuhh, sadis banget materinya kan? dan, alhamdulilah, untungnya Allah masih memberi ane pencerahan, kalo kaga, nih artikel tidak akan lahir coi.... WELL, semoga artikel ini bisa jadi salah satu referensi berguna bagi kalian ya^^ okay, tanpa banyak cang cing cong lagi, please enjoy!^^
Potret
Abnormalitas Psikologi: Skizofrenia Dalam Secangkir Sosio-kultur
Oleh: Ratnawati
Skizofrenia.
Kira-kira
apa yang terlintas di pikiran kita saat mendengar kata tersebut? Penyakit?
Sindrom? Atau gangguan kejiwaan? Untuk lebih jelasnya mari perhatikan contoh
berikut!
Seorang
pelajar di Korea Selatan bernama Suzy merupakan seorang gadis introvert. Di
sekolah, ia tidak memiliki seorang teman pun. Dilihat dari kepribadiannya, ia
nampak enggan berinteraksi dengan sosial di sekitarnya. Di kelas, selain
terkenal sebagai seorang murid pendiam ia juga terkenal karena kepandaiannya. Walaupun
begitu, dia terlihat seperti orang yang mati segan gidup tak mampu. Jika diajak
berbicara dengan bibinya, gadis itu sering mengubah topik pembicaraan dalam
kurun waktu beberapa detik. Sehingga menyebabkannya kesulitan berkomunikasi.
Tanpa disadari, hal ini juga membuat dirinya menutup diri dari lingkungan
sekitar. Kedua orang tuanya telah tiada sehingga ia pun tinggal dengan bibinya.
Di rumah, gadis itu juga lebih banyak diam. Kejanggalan pun mulai nampak
tatkala bibinya mendapati Suzy berbicara seorang diri di kamarnya. Gadis itu kerap
menyebut nama seorang pria, Minho. Ekspresi wajah gadis itu pun 360° derajat
berbeda dengan kesehariannya; senyum yang mengembang serta berkas kegembiraan
terpancar jelas. Layaknya bercengkerama dengan seorang teman lama. Padahal, di
dalam kamar Suzy tidak ada siapapun kecuali dirinya.
Melihat kasus di atas maka sebuah
kuesioner pun muncul: apakah perilaku gadis tersebut menjurus
pada gejala skizofrenia?
Apa itu skizofrenia?
Skizofrenia Hebefrenik adalah perilaku yang khas,
regresi, primitive, afek tidak sesuai dengan karakteristik umumnya, wajah
dungu, tertawa aneh, menangis dan menarik diri secara ekstrim (Mary C. Towsend
dalam Novy Helena C, 1998 : 143).
Kemudian, muncul persoalan lain. Bagaimana
bisa kita menghasilkan konklusi bahwa Suzy menderita skizofrenia?
Berikut
adalah tanda gejala yang terdapat pada seorang klien skizofrenia:
1. Inkoherensi
yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya.
2. Alam
perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau ketolol-tololan.
3. Perilaku
dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas diri atau senyum
yang hanya dihayati sendiri.
4. Waham
yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai suatu
kesatuan.
5. Halusinasi
yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi sebagai satu kesatuan.
6. Gangguan
proses berfikir.
7.
Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri,
menunjukkan gerakan-gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang
diulang-ulang dan cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan
sosial (Dadang Hawari, 2001 :640).
Penyebab
skizofrenia berdasarkan faktor biologis merupakan mainstream dari simtom yang menjurus ke gangguan tersebut. Orang
tua yang pernah menderita skizofrenia, keturunannya rentan mengidap gangguan
ini juga. Kemungkinannya pun sampai ada yang mencapai lebih dari 50%. Ciri-ciri
biologis lainnya adalah susunan sistem syaraf yang berbeda karena penderita
skizofrenia memiliki lobus frontal (satu dari keempat bagian utama otak besar
manusia; terletak di sekitar kening; mempunyai andil dalam tindakan yang
disengaja, seperti: memberi penilaian, kreatifitas, merencanakan, dan
meyelesaikan masalah) yang lebih kecil dari orang normal kebanyakan. (Andreasen,
1991).
Selain sebab biologis, adapula sebab sosio-kultural yang
bukan penyebab utama timbulnya skizofrenia. Kebudayaan merupakan suatu hasil
dari proses pembelajaran, baik berupa sebuah nilai moral, normal, karya seni,
gagasan, ide, dll. Lingkungan keluarga inti merupakan wadah pengembangan dari
kebudayaan itu sendiri. Cara orang tua mengasuh anaknya dengan cara yang kaku
dan otoriter sehingga hubungan antara orang tua jauh dari kata hangat
menyebabkan ruang gerak si anak jadi terbatas. Kelak, jika dewasa sang anak
bisa menjadi agresif atau bahkan mengalami katatonia (penarikan diri atau
kecemasan yang ekstrim).
Contoh
lagi, dalam kasus Suzy di atas. Suzy merupakan anak yatim-piatu. Kedua orang
tuanya telah meninggal saat ia berusia 12 tahun. Terhimpitnya ekonomi keluarga
ternyata juga memengaruhi emosi dan persepsi ayah Suzy sehingga beliau pun
kerap memberikan tekanan dan tindak kekerasan kepada Suzy dan ibunya. Secara
empiris pun dapat dibenarkan bahwa sekarang ia menjadi seorang gadis remaja
yang menarik diri dari pergaulan dan memiliki persepsi sepuluh langkah sangat
jauh ke depan. Mendiang ibunya pun meninggal akibat distres dari skizofrenia
yang diidapnya sedari remaja. Tekanan demi tekanan dan gila parahnya alias
distorsi tak berujung yang dialaminya pun pada akhirnya merenggut nyawa sang
ibu. Beranjak dari hal tersebut, kita pun dapat menaruh prasangka bahwa
perilaku Suzy yang kerap berbicara tanpa lawan bicara menjurus ke simtom
skizofrenia.
Masalah golongan minoritas juga masuk ke dalam skala di
atas. Tingkat persaingan remaja Korea selatan yang tinggi. Para remaja bau
kencur tberlomba-lomba mengeksplorasi jati diri mereka. Otoritas dalam
lingkungan sekolah pun menjadi tujuan utama. Mereka yang memiliki jabatan,
otomatis derajatnya akan terangkat. Dan bagi mereka yang tidak bertitel tentu
saja, sesuai dengan hukum alam, mereka akan mengalami penindasan sebagai
golongan minoritas. Budaya membully
pun santer merebak di kalanga sekolah menengah atas di kota besar seperti
Seoul. Sehingga perasaan depresi pun mencuat dengan hebat dari tempat
persemayaman hati mereka.
Seorang yang diklaim sebagai pasien skizofrenia biasanya
mengalami halusinasi; gangguan persepsi ini membuat pasien skizofrenia dapat
melihat sesuatu atau mendengar suara yang tidak ada sumbernya. Halusinasi yang
sering terdapat pada pasien adalah halusinasi auditorik (pendengaran).
Terkadang ada juga halusinasi yang berwujud kongkret dengan kemunculan sosok
asing namun memberi pengaruh besar terhadap si klien. Dalam kasus di atas Suzy bahkan berdelusi
bahwa tiap sore di kamarnya, ia dikunjungi seorang pria yang berstatus sebagai
teman lamanya.
Adapula
dengan gejala sentral yang menjadi aksen dari kelompok sindrom psikologi ini. Skizofrenia
sendiri dibatasi sebagai gangguan dengan adanya delusi, halusinasi, bicara yang
tak jelas, perilaku yang ganjil atau tak terkontrol. Shiraev dan Levy (2012) mengklaim,
sekitar satu persen dari populasi dunia dipengaruhi oleh skizofrenia, di mana
gejalanya nampak universal.
Gejala
peripheral atau gejala kultur merupakan gejala gangguan mental yang
terkait kultur (dalam suatu budaya). Sedangkan gejala sentral adalah gejala gangguan mental yang dapat diamati hampir
semua orang di dunia (dalam lintas budaya/muncul dalam budaya yang
berbeda-beda). Gejala kultur skizofrenia muncul dalam bentuk-bentuk berikut:
Ada tingkat pengakuan yang tinggi dalam diagnosis di Irlandia Utama. Di
Amerika, kulit hitam memiliki rata-rata skizofrenia yang lebih tinggi dibanding
kulit putih (Levinson & Simmon, 1992; dalam Shiraev dan Levy, 2012).Kasus
Skizofrenia lebih menonjol dalam negara berkembang daripada negara maju
(Sartorius, 1992;dalam Shiraev dan Levy,2012). Di seluruh dunia, Skizofrenia
mayoritas ditemukan pada pria, namundi China, kebalikannya (Philip, et al,
2004; dalam Shiraev dan Levy, 2012).
Lalu,
apakah dengan menyocokkan gejala di atas dengan pola perilaku Suzy kita sudah
mencapai tahap kesimpulan bahwa memang benar gadis introvert itu menderita
abnormalitas psikologi – skizofrenia?
Tentu
saja tidak semudah itu. Perlu dilakukan sebuah observasi mendalam dari tim
psikiater terhadap terduga klien skizofrenia. Pertama-tama, tentukan dulu
daftar diagnosa keperawatan yang terjadi pada si terduga. Setelah dirunutkan,
maka akan muncul beberapa diagnosa keperawatan yang terjadi pada skizofrenia.
Salah satunya; kontak sosial kurang, ditandai dengan klien cenderung menarik
diri dari keterlibatannya dengan dunia luar dan bergumul dengan idenya yang
tidak logis. Hal itu ditandai dengan distorsi pada pola persepsi dan afek
secara menyeluruh. Namun hal itu tidak mengganggu perkembangan daya pikir di
klien.
Misalnya, diagnosa keperawatan
skizofrenia terjadi pada diri Suzy, lalu langkah apa yang harus diambil?
Intervensi
atau penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan,
dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien.
Dalam
kasus ini, anggota keluarga terdekat yang tinggal satu rumah dengan Suzy harus
bisa bersifat kooperatif dalam melaksanakan metode penyembuhan terhadap Suzy.
Model penyembuhan ini disebut psikoterapi, di mana sangat populer di Barat. Metodelogi
berdasarkan kegiatan pengumpulan data, wawancara dengan sumber data primer –
penderita – ataupun sumber data sekunder – dokter, tenaga medis, dan bibi Suzy
sebagai orang terdekat dari si penderita, observasi, hingga pada tahap studi
dokumentasi. Meski keraguan masih tersirat saat menggunakan metode lintas
budaya ini. apakah model pemulihan yang mainstream di AS dan Barat cocok untuk
gangguan mental pada budaya lain, terlebih budaya Timur? Apakah psikoterapi
barat ini dapat berjalan optimal dengan kultur yang berbeda? Well, itu semua kembali terhadap individu
masing-masing. Menggunakan psikoterapi atau terapi dengan orang pribumi?
Atau memilih sebuah terapi kongnitif-behavioral. Sebuah
proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau
usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri dari seorang terapis yang
kebetulan satu rumpun dengan si penderita. Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak
ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada
para pasien skizofrenik.
Tetapi, dalam hal ini saya tidak akan
membandingkan terapi mana yang lebih efisien.
Apabila
kita melihat fakta yang berkembang, belum tentu terapis yang berlatar belakang
kebudayaannya serupa dengan si pasien, proses penyembuhannya akan lebih cepat.
Sesungguhnya, hal ini tergantung kepada bagaimana pola persepsi dan pola
tingkah terapis yang membuat penderita skizofrenia merasa nyaman. Bagaimana
seorang terapis mampu memecah ilusi menjadi kepingan kenyataan yang memengaruhi
afek dan afeksi penderita dalam realitas.
Setelah mendikte dari atas, dimulai dari tanda gejala dan
etiologi (penyebab) skizofrenia, di sinilah kedudukan Psikologi Lintas Budaya. Selain
mengkaji gangguan mental dengan kebudayaan, maupun gangguan mental dalam
kebudayaan satu dengan lainnya (lintas budaya). Perspektif yang timbul pun
digunakan untuk mencermati isu gangguan mental dalam lintas budaya. Mengetahui
pemetaan afek, afeksi, emosi, persepsi, kognisi maupun daya pikir dalam
orang-orang menderita skizofrenia dari bagian psikologi abnormal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar