Rabu, 25 Maret 2015

Potret Abnormalitas Psikologi: Skizofrenia Dalam Secangkir Sosio-kultur

tadaa! artikel mengenai psikologi abnormal karangan saya telah tibaa!! artikel ini dipersembahkan khusus untuk mata kuliah pengantar psikologi lintas budaya. dan kebetulan ane dapet materi bombastis, psikologi abnormal. fiuuuhh, sadis banget materinya kan? dan, alhamdulilah, untungnya Allah masih memberi ane pencerahan, kalo kaga, nih artikel tidak akan lahir coi.... WELL, semoga artikel ini bisa jadi salah satu referensi berguna bagi kalian ya^^ okay, tanpa banyak cang cing cong lagi, please enjoy!^^




Potret Abnormalitas Psikologi: Skizofrenia Dalam Secangkir Sosio-kultur
Oleh: Ratnawati

Skizofrenia.

            Kira-kira apa yang terlintas di pikiran kita saat mendengar kata tersebut? Penyakit? Sindrom? Atau gangguan kejiwaan? Untuk lebih jelasnya mari perhatikan contoh berikut!

Seorang pelajar di Korea Selatan bernama Suzy merupakan seorang gadis introvert. Di sekolah, ia tidak memiliki seorang teman pun. Dilihat dari kepribadiannya, ia nampak enggan berinteraksi dengan sosial di sekitarnya. Di kelas, selain terkenal sebagai seorang murid pendiam ia juga terkenal karena kepandaiannya. Walaupun begitu, dia terlihat seperti orang yang mati segan gidup tak mampu. Jika diajak berbicara dengan bibinya, gadis itu sering mengubah topik pembicaraan dalam kurun waktu beberapa detik. Sehingga menyebabkannya kesulitan berkomunikasi. Tanpa disadari, hal ini juga membuat dirinya menutup diri dari lingkungan sekitar. Kedua orang tuanya telah tiada sehingga ia pun tinggal dengan bibinya. Di rumah, gadis itu juga lebih banyak diam. Kejanggalan pun mulai nampak tatkala bibinya mendapati Suzy berbicara seorang diri di kamarnya. Gadis itu kerap menyebut nama seorang pria, Minho. Ekspresi wajah gadis itu pun 360° derajat berbeda dengan kesehariannya; senyum yang mengembang serta berkas kegembiraan terpancar jelas. Layaknya bercengkerama dengan seorang teman lama. Padahal, di dalam kamar Suzy tidak ada siapapun kecuali dirinya.

Melihat kasus di atas maka sebuah kuesioner pun muncul: apakah perilaku gadis tersebut menjurus 
pada gejala skizofrenia? Apa itu skizofrenia?

            Skizofrenia Hebefrenik adalah perilaku yang khas, regresi, primitive, afek tidak sesuai dengan karakteristik umumnya, wajah dungu, tertawa aneh, menangis dan menarik diri secara ekstrim (Mary C. Towsend dalam Novy Helena C, 1998 : 143).

Kemudian, muncul persoalan lain. Bagaimana bisa kita menghasilkan konklusi bahwa Suzy menderita skizofrenia?

            Berikut adalah tanda gejala yang terdapat pada seorang klien skizofrenia:
1.    Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya.
2.    Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau ketolol-tololan.
3.    Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
4.    Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai suatu kesatuan.
5.    Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi sebagai satu kesatuan.
6.    Gangguan proses berfikir.
7.    Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial (Dadang Hawari, 2001 :640).

            Penyebab skizofrenia berdasarkan faktor biologis merupakan mainstream dari simtom yang menjurus ke gangguan tersebut. Orang tua yang pernah menderita skizofrenia, keturunannya rentan mengidap gangguan ini juga. Kemungkinannya pun sampai ada yang mencapai lebih dari 50%. Ciri-ciri biologis lainnya adalah susunan sistem syaraf yang berbeda karena penderita skizofrenia memiliki lobus frontal (satu dari keempat bagian utama otak besar manusia; terletak di sekitar kening; mempunyai andil dalam tindakan yang disengaja, seperti: memberi penilaian, kreatifitas, merencanakan, dan meyelesaikan masalah) yang lebih kecil dari orang normal kebanyakan. (Andreasen, 1991).

            Selain sebab biologis, adapula sebab sosio-kultural yang bukan penyebab utama timbulnya skizofrenia. Kebudayaan merupakan suatu hasil dari proses pembelajaran, baik berupa sebuah nilai moral, normal, karya seni, gagasan, ide, dll. Lingkungan keluarga inti merupakan wadah pengembangan dari kebudayaan itu sendiri. Cara orang tua mengasuh anaknya dengan cara yang kaku dan otoriter sehingga hubungan antara orang tua jauh dari kata hangat menyebabkan ruang gerak si anak jadi terbatas. Kelak, jika dewasa sang anak bisa menjadi agresif atau bahkan mengalami katatonia (penarikan diri atau kecemasan yang ekstrim).

            Contoh lagi, dalam kasus Suzy di atas. Suzy merupakan anak yatim-piatu. Kedua orang tuanya telah meninggal saat ia berusia 12 tahun. Terhimpitnya ekonomi keluarga ternyata juga memengaruhi emosi dan persepsi ayah Suzy sehingga beliau pun kerap memberikan tekanan dan tindak kekerasan kepada Suzy dan ibunya. Secara empiris pun dapat dibenarkan bahwa sekarang ia menjadi seorang gadis remaja yang menarik diri dari pergaulan dan memiliki persepsi sepuluh langkah sangat jauh ke depan. Mendiang ibunya pun meninggal akibat distres dari skizofrenia yang diidapnya sedari remaja. Tekanan demi tekanan dan gila parahnya alias distorsi tak berujung yang dialaminya pun pada akhirnya merenggut nyawa sang ibu. Beranjak dari hal tersebut, kita pun dapat menaruh prasangka bahwa perilaku Suzy yang kerap berbicara tanpa lawan bicara menjurus ke simtom skizofrenia.

            Masalah golongan minoritas juga masuk ke dalam skala di atas. Tingkat persaingan remaja Korea selatan yang tinggi. Para remaja bau kencur tberlomba-lomba mengeksplorasi jati diri mereka. Otoritas dalam lingkungan sekolah pun menjadi tujuan utama. Mereka yang memiliki jabatan, otomatis derajatnya akan terangkat. Dan bagi mereka yang tidak bertitel tentu saja, sesuai dengan hukum alam, mereka akan mengalami penindasan sebagai golongan minoritas. Budaya membully pun santer merebak di kalanga sekolah menengah atas di kota besar seperti Seoul. Sehingga perasaan depresi pun mencuat dengan hebat dari tempat persemayaman hati mereka.

            Seorang yang diklaim sebagai pasien skizofrenia biasanya mengalami halusinasi; gangguan persepsi ini membuat pasien skizofrenia dapat melihat sesuatu atau mendengar suara yang tidak ada sumbernya. Halusinasi yang sering terdapat pada pasien adalah halusinasi auditorik (pendengaran). Terkadang ada juga halusinasi yang berwujud kongkret dengan kemunculan sosok asing namun memberi pengaruh besar terhadap si klien.  Dalam kasus di atas Suzy bahkan berdelusi bahwa tiap sore di kamarnya, ia dikunjungi seorang pria yang berstatus sebagai teman lamanya.

            Adapula dengan gejala sentral yang menjadi aksen dari kelompok sindrom psikologi ini. Skizofrenia sendiri dibatasi sebagai gangguan dengan adanya delusi, halusinasi, bicara yang tak jelas, perilaku yang ganjil atau tak terkontrol. Shiraev dan Levy (2012) mengklaim, sekitar satu persen dari populasi dunia dipengaruhi oleh skizofrenia, di mana gejalanya nampak universal.

Gejala peripheral atau gejala kultur merupakan gejala gangguan mental yang terkait kultur (dalam suatu budaya). Sedangkan gejala sentral adalah gejala gangguan mental yang dapat diamati hampir semua orang di dunia (dalam lintas budaya/muncul dalam budaya yang berbeda-beda). Gejala kultur skizofrenia muncul dalam bentuk-bentuk berikut: Ada tingkat pengakuan yang tinggi dalam diagnosis di Irlandia Utama. Di Amerika, kulit hitam memiliki rata-rata skizofrenia yang lebih tinggi dibanding kulit putih (Levinson & Simmon, 1992; dalam Shiraev dan Levy, 2012).Kasus Skizofrenia lebih menonjol dalam negara berkembang daripada negara maju (Sartorius, 1992;dalam Shiraev dan Levy,2012). Di seluruh dunia, Skizofrenia mayoritas ditemukan pada pria, namundi China, kebalikannya (Philip, et al, 2004; dalam Shiraev dan Levy, 2012).

            Lalu, apakah dengan menyocokkan gejala di atas dengan pola perilaku Suzy kita sudah mencapai tahap kesimpulan bahwa memang benar gadis introvert itu menderita abnormalitas psikologi – skizofrenia?

            Tentu saja tidak semudah itu. Perlu dilakukan sebuah observasi mendalam dari tim psikiater terhadap terduga klien skizofrenia. Pertama-tama, tentukan dulu daftar diagnosa keperawatan yang terjadi pada si terduga. Setelah dirunutkan, maka akan muncul beberapa diagnosa keperawatan yang terjadi pada skizofrenia. Salah satunya; kontak sosial kurang, ditandai dengan klien cenderung menarik diri dari keterlibatannya dengan dunia luar dan bergumul dengan idenya yang tidak logis. Hal itu ditandai dengan distorsi pada pola persepsi dan afek secara menyeluruh. Namun hal itu tidak mengganggu perkembangan daya pikir di klien.
Misalnya, diagnosa keperawatan skizofrenia terjadi pada diri Suzy, lalu langkah apa yang harus diambil?

            Intervensi atau penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien.

            Dalam kasus ini, anggota keluarga terdekat yang tinggal satu rumah dengan Suzy harus bisa bersifat kooperatif dalam melaksanakan metode penyembuhan terhadap Suzy. Model penyembuhan ini disebut psikoterapi, di mana sangat populer di Barat. Metodelogi berdasarkan kegiatan pengumpulan data, wawancara dengan sumber data primer – penderita – ataupun sumber data sekunder – dokter, tenaga medis, dan bibi Suzy sebagai orang terdekat dari si penderita, observasi, hingga pada tahap studi dokumentasi. Meski keraguan masih tersirat saat menggunakan metode lintas budaya ini. apakah model pemulihan yang mainstream di AS dan Barat cocok untuk gangguan mental pada budaya lain, terlebih budaya Timur? Apakah psikoterapi barat ini dapat berjalan optimal dengan kultur yang berbeda?  Well, itu semua kembali terhadap individu masing-masing. Menggunakan psikoterapi atau terapi dengan orang pribumi?

            Atau memilih sebuah terapi kongnitif-behavioral. Sebuah proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri dari seorang terapis yang kebetulan satu rumpun dengan si penderita. Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skizofrenik.

Tetapi, dalam hal ini saya tidak akan membandingkan terapi mana yang lebih efisien.

            Apabila kita melihat fakta yang berkembang, belum tentu terapis yang berlatar belakang kebudayaannya serupa dengan si pasien, proses penyembuhannya akan lebih cepat. Sesungguhnya, hal ini tergantung kepada bagaimana pola persepsi dan pola tingkah terapis yang membuat penderita skizofrenia merasa nyaman. Bagaimana seorang terapis mampu memecah ilusi menjadi kepingan kenyataan yang memengaruhi afek dan afeksi penderita dalam realitas.


            Setelah mendikte dari atas, dimulai dari tanda gejala dan etiologi (penyebab) skizofrenia, di sinilah kedudukan Psikologi Lintas Budaya. Selain mengkaji gangguan mental dengan kebudayaan, maupun gangguan mental dalam kebudayaan satu dengan lainnya (lintas budaya). Perspektif yang timbul pun digunakan untuk mencermati isu gangguan mental dalam lintas budaya. Mengetahui pemetaan afek, afeksi, emosi, persepsi, kognisi maupun daya pikir dalam orang-orang menderita skizofrenia dari bagian psikologi abnormal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar