Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa melayu, tentunya dalam
perkembangan bahasa terutama sastra menggunakan bahasa melayu. Kesusastraan
melayu rendah atau yang juga dikenal dengan istilah sastr melayu tionghoa pada
abad ke-19 cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah sastra di Indonesia. Sastra
melayu rendah cukup produktif dengan 806 nama sastrawan tionghoa yang telah
menulis 3005 karya sastra. Karya sastra tertua trbit sekitar tahun 1875 yakni
karya terjemahaan roman berjudul Lawah-lawah merah karya Pont Jest, pengarang
perancis.
Sebelum bahasa Indonesia mulai digunakan secara masif
setelah sumpah pemuda tahun 1928, Nusantara menggunakan bahasa melayu pasar
sebagai lingua franca untuk berkomunikasi. Orang-orang oeranakan cina, belanda,
dan pribumi menggunakan bahasa melayu pasar dalam interaksi antar etnis
tersebut. Hal ini pun mempengaruhi sastra pada zaman itu, sehingga karya sastra
banyak menggunakan bahasa melayu pasar (rendah).
Dari penjelasan diatas tergambar bahwa kesusastraan melayu
rendah begitu produktif dalam menghasilkan karya, namun sayangnya periode ini
kurang mendapat perhatian dan pengakuan. Istilah melayu tionghoa muncul sekitar
tahun 1920-an. Berikut ini beberapa novel sastra melayu rendah, Lawah-lawah
Merah (1875), Sjair Baba Kong Sit (1845), Tiga Tjerita (1896), Lelakon Raden
Beij Soerio Retno (1901). Menurut Caludine Salmon, telah terkumpul sekitar 140
karya sastra syair oleh peranakan cina di Indonesia (1886 – 1942). Dalam bentuk
syair kesusastraan melayu rendah terdapat syair dalam bahasa melayu cina di
Indonesia dengan judul Sjair Baba Kong Sit atau Perkawinan Kapitan Tik Sing
yang terbit tahun 1845 dengan aksara arab – melayu.
Keberadaan sastra melayu rendah dalam perjalanan
kesusastraan Indonesia modern abad ke-20 merupakan awal dari berkembangnya
karya sastra di Indonesia, banyak karya-karya lahir baik novel, syair, ataupun
puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar