Kamis, 11 Desember 2014

Sastra Melayu Rendah

Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa melayu, tentunya dalam perkembangan bahasa terutama sastra menggunakan bahasa melayu. Kesusastraan melayu rendah atau yang juga dikenal dengan istilah sastr melayu tionghoa pada abad ke-19 cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah sastra di Indonesia. Sastra melayu rendah cukup produktif dengan 806 nama sastrawan tionghoa yang telah menulis 3005 karya sastra. Karya sastra tertua trbit sekitar tahun 1875 yakni karya terjemahaan roman berjudul Lawah-lawah merah karya Pont Jest, pengarang perancis.


Sebelum bahasa Indonesia mulai digunakan secara masif setelah sumpah pemuda tahun 1928, Nusantara menggunakan bahasa melayu pasar sebagai lingua franca untuk berkomunikasi. Orang-orang oeranakan cina, belanda, dan pribumi menggunakan bahasa melayu pasar dalam interaksi antar etnis tersebut. Hal ini pun mempengaruhi sastra pada zaman itu, sehingga karya sastra banyak menggunakan bahasa melayu pasar (rendah).

Dari penjelasan diatas tergambar bahwa kesusastraan melayu rendah begitu produktif dalam menghasilkan karya, namun sayangnya periode ini kurang mendapat perhatian dan pengakuan. Istilah melayu tionghoa muncul sekitar tahun 1920-an. Berikut ini beberapa novel sastra melayu rendah, Lawah-lawah Merah (1875), Sjair Baba Kong Sit (1845), Tiga Tjerita (1896), Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901). Menurut Caludine Salmon, telah terkumpul sekitar 140 karya sastra syair oleh peranakan cina di Indonesia (1886 – 1942). Dalam bentuk syair kesusastraan melayu rendah terdapat syair dalam bahasa melayu cina di Indonesia dengan judul Sjair Baba Kong Sit atau Perkawinan Kapitan Tik Sing yang terbit tahun 1845 dengan aksara arab – melayu.

Keberadaan sastra melayu rendah dalam perjalanan kesusastraan Indonesia modern abad ke-20 merupakan awal dari berkembangnya karya sastra di Indonesia, banyak karya-karya lahir baik novel, syair, ataupun puisi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar